Suasana seketika menjadi hening, hanya suara lantang Prabowo yang menggema di ruangan saat ia berbicara tentang Palestina, keadilan global, krisis pangan, energi, hingga tantangan perubahan iklim.
Sorot kamera televisi internasional menangkap setiap gerak-geriknya, dari tatapan matanya yang tajam hingga intonasi suaranya yang penuh emosi. Pidato tersebut tidak hanya didengar, tetapi juga dirasakan, menyentuh sisi moral banyak delegasi.
Tepuk tangan bergemuruh, bukan hanya sekali, tetapi berulang kali mengiringi setiap penekanan kalimat penting yang disampaikannya. Usai turun dari podium,
sejumlah kepala pemerintahan mendekat untuk menyalami dan berbincang singkat dengannya, sebuah penghormatan yang menunjukkan pengakuan atas eksistensi Indonesia di panggung dunia.
Momentum itu menghadirkan kebanggaan tersendiri, tidak hanya bagi Presiden, tetapi juga seluruh rakyat Indonesia yang menyaksikan dari kejauhan.
Pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB ke-80 bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Sejak awal berdirinya republik ini, Indonesia telah memiliki tradisi panjang berbicara di forum dunia
. Pada tahun 1960, Presiden Soekarno pernah menyampaikan pidato legendaris berjudul “To Build the World Anew” yang menggema di ruang sidang PBB, mengingatkan dunia akan bahaya imperialisme dan pentingnya menciptakan tatanan global yang lebih adil.
Momentum Penting
Kini giliran Prabowo Subianto berdiri di podium yang sama dengan para presiden Indonesia sebelumnya. Momen ini begitu penting, bukan hanya karena ia baru dilantik sebagai presiden,
tetapi juga karena dunia sedang menghadapi ketidakpastian global—dari perang yang belum usai, krisis energi, kelangkaan pangan, hingga ketegangan geopolitik yang mengancam stabilitas kawasan.
Di tengah situasi ini, posisi strategis Indonesia semakin menjadi sorotan. Dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, anggota G20, pemimpin utama ASEAN, dan negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia sering dianggap sebagai “jembatan” antara Utara dan Selatan, Timur dan Barat.
Prabowo memikul beban sejarah sekaligus peluang besar: bagaimana membuat suara Indonesia lebih terdengar, tidak hanya sebagai negara berkembang tetapi juga sebagai kekuatan moral dan politik yang berpengaruh.
Dukungan terhadap Palestina menjadi inti pidato Prabowo. Dengan nada tegas, ia menyatakan bahwa penderitaan rakyat Palestina adalah luka kemanusiaan yang tidak bisa dibiarkan.
“Indonesia tidak akan pernah meninggalkan Palestina. Selama darah mengalir di tubuh bangsa Indonesia, selama itu pula kami berdiri bersama Palestina,” ujarnya lantang.
Pernyataan itu disambut tepuk tangan panjang dari delegasi, terutama negara-negara Arab dan blok negara berkembang. Prabowo menambahkan dimensi baru dengan mendukung solusi dua negara (two-state solution).
Ia menegaskan bahwa Indonesia mendukung kemerdekaan Palestina, tetapi juga penting untuk menjamin keamanan Israel.
“Kita harus punya Palestina merdeka, tapi kita juga harus menghormati dan menjamin keamanan Israel,” katanya.
Misi Perdamaian
Pernyataan mengejutkan muncul ketika Prabowo menyatakan bahwa Indonesia siap mengirimkan hingga 20.000 personel atau lebih untuk misi perdamaian PBB jika diperlukan. Dengan tegas, ia menekankan bahwa Indonesia tidak hanya berbicara, tetapi ingin berkontribusi nyata dalam menjaga perdamaian dunia.
Pernyataan ini langsung menjadi headline di berbagai media internasional. Selain membahas isu Palestina, ia juga menyoroti tantangan global lintas batas seperti krisis pangan, energi, dan perubahan iklim yang ia sebut sebagai “musuh bersama umat manusia” yang hanya bisa diselesaikan melalui kerja sama kolektif.
Ia memperingatkan bahwa egoisme negara besar yang hanya memikirkan kepentingan domestik jangka pendek dapat memicu bencana global jangka panjang.
Prabowo juga menggarisbawahi pentingnya solidaritas kemanusiaan dan persaudaraan universal. Ia mengingatkan bahwa meskipun terdapat perbedaan bangsa, agama, dan budaya, umat manusia tetap satu keluarga besar.
Solidaritas ini, menurutnya, harus menjadi dasar perdamaian dunia, bukan dominasi ekonomi atau militer. Poin ini mendapat sambutan hangat, terutama dari delegasi negara-negara Asia dan Afrika.
Selain itu, Prabowo menyinggung ketidakadilan global yang masih terjadi. Ia mengingatkan dunia akan kesenjangan akses teknologi dan lemahnya dukungan finansial bagi negara-negara berkembang dalam menghadapi krisis iklim.
Menurutnya, tatanan global baru hanya akan adil jika negara-negara berkembang tidak lagi menjadi penonton, tetapi menjadi aktor utama yang suaranya didengar dalam pengambilan keputusan.
Pidato Presiden Prabowo pun memancing beragam reaksi internasional, mulai dari ruang sidang New York hingga meja redaksi media internasional.
Ucapannya dikutip, dianalisis, dan diperdebatkan, ada yang menganggapnya pidato tersebbut sebagai langkah berani Indonesia, sementara yang lain menilai lebih sebagai retorika yang harus diuji konsistensinya dalam tindakan nyata.
Banyak media internasional menyoroti janji Prabowo untuk mengirim hingga 20.000 pasukan penjaga perdamaian PBB. South China Morning Post menulis, “Indonesia emerges with not just words, but with boots on the ground” (Indonesia tampil bukan hanya dengan kata-kata,
tetapi juga dengan aksi nyata di lapangan). Media Israel, seperti Jerusalem Post, memberi judul artikelnya: “Indonesia is ready to send 20,000 troops to Gaza to defend peace” (Indonesia siap mengirim 20.000 pasukan ke Gaza untuk membela perdamaian).
Isu ini dianggap kontroversial mengingat Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Sementara itu, media Arab seperti Middle East Monitor memberikan apresiasi,
namun menyelipkan catatan kritis. Mereka menilai seruan “two-state solution” sudah menjadi jargon diplomatik lama yang jarang membuahkan hasil nyata, tetapi janji Prabowo mengirim pasukan penjaga perdamaian dianggap sebagai langkah praktis yang membedakan pidatonya dari retorika pemimpin lain.
Beberapa pemimpin dunia juga memberikan apresiasi. Raja Yordania Abdullah II dan Presiden Brasil Lula da Silva dilaporkan langsung menghampiri Prabowo usai pidato untuk memberikan ucapan selamat.
Hal ini menunjukkan pidato Prabowo tidak hanya mendapat tepuk tangan formal, tetapi juga membuka peluang interaksi politik lebih erat dengan pemimpin negara lain.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump juga merespons pidato tersebut. Dalam sebuah pertemuan multilateral tentang Timur Tengah di sela sidang PBB, Trump menyapa Prabowo dan memuji gaya pidatonya dengan berkata, “You too, my friend. A great speech.
You did a great job banging on that table. You did a great job. Thank you very much” (Kamu juga, temanku. Pidato yang luar biasa. Kamu melakukan pekerjaan yang hebat dengan mengetuk meja itu. Kamu benar-benar hebat. Terima kasih).
Trump bahkan menyebut ketukan meja yang dilakukan Prabowo sebagai simbol keberanian dalam menyuarakan keadilan di panggung internasional. Menanggapi hal itu, Prabowo bersikap santai.
Ia menyebut Trump sebagai sosok humoris, sambil mengakui bahwa dirinya tidak sepenuhnya sadar telah mengetuk meja saat berpidato.
Beberapa pengamat internasional mengingatkan bahwa pidato lantang di forum dunia lebih mudah daripada mewujudkan perdamaian di lapangan. “Strong words, but can Jakarta deliver? (Kata-kata yang tegas, tapi bisakah Jakarta mewujudkannya?),” tulis The New York Times.
The Guardian menulis, “Indonesia emerges as a moral voice from the Global South.” (Indonesia muncul sebagai suara moral dari Dunia Selatan). Media Inggris itu mengingatkan bahwa Indonesia perlu membuktikan kepemimpinannya melalui diplomasi aktif, bantuan kemanusiaan berkelanjutan, dan keberanian mengambil sikap konsisten dalam forum internasional.
Tanggapan Nasional
Dino Patti Djalal, mantan Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat sekaligus pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), menyebut pidato Prabowo sebagai momen penting yang memperkuat tradisi diplomasi Indonesia.
Menurutnya, keberanian Prabowo menawarkan solusi konkret, seperti kesiapan mengirim puluhan ribu pasukan penjaga perdamaian, adalah “langkah maju” yang memperkuat citra Indonesia sebagai aktor global.
Menteri Luar Negeri Sugiono, dalam konferensi pers yang diunggah ke YouTube, menyatakan bahwa pidato Prabowo mendapat apresiasi dari banyak pemimpin dunia. Ia menekankan bahwa pesan utama pidato tersebut adalah konsistensi Indonesia dalam mendukung Palestina dan memperjuangkan perdamaian global.
Apresiasi juga datang dari parlemen. Ketua DPR RI, Puan Maharani, menilai pidato itu bukan hanya simbol dukungan pada Palestina, tetapi juga sebuah kehormatan karena Indonesia mendapat giliran berbicara di urutan ketiga, sebuah posisi langka yang mencerminkan penghormatan besar dunia pada Indonesia.
PDIP menyebut pidato itu kuat secara historis dan ideologis, sejalan dengan tradisi politik luar negeri Indonesia sejak era Bung Karno dalam membela Palestina.
Muhaimin Iskandar bahkan membandingkan gaya pidato Prabowo dengan Bung Karno, menyebut adanya “semangat yang sama” dalam membawa suara bangsa Indonesia ke panggung dunia.
Probo Darono Yakti, dosen Hubungan Internasional dari Universitas Airlangga, menyatakan bahwa pidato Prabowo meningkatkan political leverage Indonesia.
Kehadiran langsung seorang presiden—setelah satu dekade sebelumnya sering diwakili menteri—menambah bobot pada pesan yang disampaikan. Hal ini menunjukkan upaya Indonesia untuk memperkuat diplomasi presiden (presidential diplomacy) sebagai instrumen penting di era multipolar.
Resonansi Politik Global Indonesia Diperhitungkan
Pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB ke-80 tidak berhenti sebagai tontonan diplomasi, tetapi menjadi bahan diskusi yang bergema di berbagai belahan dunia. Dari Washington hingga Riyadh, dari Brussel hingga Nairobi, beragam reaksi muncul yang mencerminkan bagaimana dunia membaca arah baru politik luar negeri Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo.
Di dunia Barat, pidato tersebut disambut dengan campuran apresiasi dan skeptisisme, terutama mengenai pernyataan Prabowo yang menawarkan 20.000 pasukan perdamaian PBB.
Hal ini dianggap sebagai langkah ambisius yang jarang datang dari negara berkembang. Namun, beberapa pengamat Barat meragukan kapasitas Indonesia untuk benar-benar merealisasikan komitmen tersebut.
Uni Eropa menganggap pidato itu sebagai tanda bahwa Indonesia ingin mengambil peran lebih besar di panggung global. Isu Palestina, yang menjadi fokus utama Prabowo, mendapat simpati luas.
Meski begitu, beberapa diplomat Eropa menekankan pentingnya mengiringi dukungan moral dengan diplomasi konkret di meja perundingan.
Sementara itu, di Timur Tengah dan negara-negara Global South, pidato Prabowo mendapat sambutan positif. Media Al Jazeera, misalnya, menyoroti dukungan Indonesia terhadap Palestina di headline mereka,
menyebutnya sebagai “suara solidaritas yang menggema dari Asia Tenggara.” Beberapa pemimpin Arab bahkan secara langsung menemui Prabowo setelah pidato untuk menyampaikan terima kasih dan apresiasi.
Negara-negara di Afrika dan Amerika Latin juga melihat pidato tersebut sebagai representasi suara Global South. Prabowo dinilai berhasil membawa narasi keadilan global ke panggung utama, menekankan pentingnya partisipasi negara berkembang dalam mencari solusi atas krisis global.
Dengan demikian, posisi Indonesia semakin kuat sebagai penghubung antara Utara dan Selatan, sebuah peran yang telah lama menjadi ciri khas politik luar negeri RI.
Resonansi pidato tersebut juga terasa di forum-forum internasional yang lebih kecil. Di ASEAN, keberanian Prabowo dinilai memperkuat peran Indonesia sebagai pemimpin informal kawasan.
Di G20, pidato tersebut menunjukkan bahwa Indonesia hadir bukan hanya sebagai peserta, tetapi juga sebagai suara yang membawa agenda moral global. Di OKI, pidato itu menegaskan Indonesia sebagai motor penggerak solidaritas untuk Palestina.
Dari sudut pandang pasar keuangan internasional, pidato Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB mungkin tidak langsung memengaruhi bursa saham, nilai tukar, atau harga komoditas dunia.
Namun, dampak tidak langsung terlihat dalam aspek yang lebih halus, seperti citra Indonesia sebagai negara dengan kepemimpinan stabil dan visi global.
Kepastian Politik
Bagi investor, kepastian politik dan konsistensi arah kebijakan adalah faktor penting dalam menilai prospek ekonomi suatu negara.
Pidato Prabowo, dengan penekanan pada kolaborasi global menghadapi krisis pangan, energi, dan iklim, dianggap sebagai sinyal bahwa Indonesia serius menjaga perannya sebagai kekuatan stabil di tengah ketidakpastian global.
Beberapa analis menilai gaya tegas Prabowo di PBB juga menjadi pesan kepada investor bahwa kepemimpinan Indonesia tidak hanya reaktif, tetapi juga proaktif dalam menghadapi tantangan dunia.
Resonansi pidato itu semakin kuat karena Prabowo menyinggung isu-isu relevan dengan ekonomi global, terutama pangan dan energi. Krisis pangan yang menghantui banyak negara berkembang membuka peluang bagi Indonesia untuk tampil sebagai mitra strategis dalam diplomasi pangan,
mengingat posisinya sebagai salah satu produsen utama beras, sawit, dan komoditas tropis. Begitu pula dengan energi: transisi energi dan potensi energi terbarukan menjadi peluang besar bagi Indonesia dan bisa menjadi pintu masuk kerja sama ekonomi dengan berbagai negara.
Pidato Prabowo yang menyoroti keadilan global memberi ruang bagi penguatan kerja sama Selatan– Selatan (South–South Cooperation). Banyak negara berkembang menilai,
diplomasi ekonomi di masa depan tidak bisa hanya bergantung pada jalur tradisional Utara–Selatan, tetapi juga harus diperkuat dengan solidaritas antar-negara berkembang.
Indonesia, dengan populasi besar, posisi strategis di G20, serta kapasitas industri yang berkembang, bisa memainkan peran sentral dalam pola kerja sama baru
ini.
Dimensi Domestik
Pidato Prabowo tidak hanya menarik perhatian komunitas internasional, tetapi juga mendapatkan sorotan dari rakyat Indonesia. Dari podium global, ia menunjukkan bahwa kepemimpinan nasional yang baru telah meraih posisi terhormat di panggung dunia.
Bagi masyarakat dalam negeri, momen ini menjadi simbol kebanggaan bersama: Indonesia kini bukan hanya didengar, tetapi juga dihormati oleh negara-negara lain.
Bagi Prabowo sendiri, pidato ini mencerminkan transformasi pribadi. Dari seorang jenderal yang dikenal sebagai figur nasionalis di dalam negeri, ia kini tampil sebagai diplomat dunia yang berbicara tentang solidaritas, kemanusiaan, dan keadilan global.
Transformasi ini menciptakan citra baru: seorang pemimpin yang tak lagi hanya fokus pada politik domestik, tetapi juga mampu menyuarakan aspirasi negara berkembang di tingkat internasional.
Namun, sejumlah pihak menilai bahwa pernyataan tegas di PBB perlu dibarengi dengan konsistensi dalam kebijakan luar negeri. Indonesia harus bisa menerjemahkan retorika solidaritas global menjadi langkah konkret, baik melalui diplomasi multilateral maupun kebijakan bilateral.
Tantangan berikutnya adalah menjaga keseimbangan hubungan antara Barat dan Global South. Misalnya, dukungan tegas terhadap Palestina dapat memperkuat solidaritas dengan negara-negara Arab dan Afrika,
namun juga berisiko menimbulkan sensitivitas diplomatik dengan Amerika Serikat atau Uni Eropa. Begitu pula dengan usulan pengiriman pasukan perdamaian dalam jumlah besar, yang memerlukan kalkulasi politik, militer, dan ekonomi yang cermat.
Aspek ekonomi juga menjadi pertimbangan penting. Pernyataan yang terlalu tajam terhadap negara tertentu dapat memengaruhi hubungan dagang atau investasi.
Di era globalisasi, diplomasi bukan hanya soal citra moral, tetapi juga berkaitan langsung dengan stabilitas pasar, rantai pasok, dan peluang kerja sama ekonomi.















