Kepala Badan Gizi Nasional Program – MBG Dipercepat Kejar Target Akhir Tahun 2025

Share

Saat menjadi Ketua Sekolah Tinggi Pertanian Kewirausahaan (STPK) Banau di Halmahera Barat, Dr. Ir. Dadan Hindayana mulai mengenal Prabowo Subianto yang ketika itu masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan. Pada tahun 2020, ia diminta oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional untuk bergabung sebagai tim pakar dalam program food estate.

Jadi hampir setiap minggu saya pergi ke Kementerian Pertahanan untuk menjalankan tugas sebagai tim pakar di sana,” ungkapnya.

Pada tahun 2023, ketika Prabowo mencalonkan diri sebagai presiden dan membentuk tim pakar untuk merumuskan substansi kampanye yang dituangkan dalam visi dan misi, Dadan Hindayana menjadi salah satu dari enam pakar yang terlibat langsung dalam penyusunan visi misi tersebut.

Sejak saat itu, intensitas pertemuan pun meningkat. Dalam seminggu, ia sering berdiskusi tiga hingga empat kali, termasuk membahas proyek percontohan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini dilaksanakan secara nasional.

Dari proses tersebut, hasil uji coba yang dikembangkan dianggap paling sesuai dengan gagasan mengenai ekosistem program itu. Ketika Prabowo terpilih sebagai presiden, Dadan Hindayana diminta mempersiapkan diri memimpin lembaga baru, yaitu Badan Gizi Nasional.

Sebelum pelantikan, ia telah ditugaskan membentuk kelompok kerja (Pokja) Badan Gizi Nasional agar program makan bergizi dapat segera dijalankan.

Akhirnya, ia dilantik oleh Presiden Joko Widodo pada 19 Agustus 2024 atas rekomendasi langsung dari presiden terpilih. “Jika Badan Gizi Nasional dibentuk setelah pelantikan presiden, pelaksanaan program di awal tahun tidak akan memungkinkan,” jelasnya.

Perancang Konsep
Sejak awal, Dadan Hindayana sudah membayangkan bagaimana program Makan Bergizi (MBG) akan berjalan, karena ia yang merancang konsepnya sejak awal.

Target penerima manfaat juga telah dihitung sejak tahap perencanaan, yakni sekitar 82,9 juta orang. Jumlah Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) pun telah diproyeksikan, antara 25.000 hingga 30.000 unit.

Untuk mendukung pelaksanaan, disiapkan sumber daya manusia (SDM) khusus melalui pendidikan dan pelatihan yang dimulai bahkan sebelum pelantikan Presiden Prabowo.

Salah satunya adalah program Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) yang sudah berjalan sejak Juni 2024. Saat pelantikan Presiden, tercatat 1.994 peserta telah dididik, dan jumlah itu terus bertambah sesuai kebutuhan di lapangan.

Tahap implementasi sempat mengalami penyesuaian. Awalnya, pembangunan gedung SPPG direncanakan sepenuhnya menggunakan dana APBN, dengan usulan pembangunan 5.000 unit untuk anggaran tahun 2025.

Namun, terkait efisiensi, target pembangunan disesuaikan menjadi 1.542 unit, dengan tiga gedung layanan di setiap kabupaten. Kekurangan dari target awal mendorong Dadan Hindayana menggagas pola kemitraan dengan berbagai pihak, yang ternyata menjadi solusi penyelamatan program MBG.

Hingga kini, sudah berdiri 10.561 SPPG di seluruh Indonesia, semuanya melalui skema kemitraan. “Inilah perbedaan antara konsep awal dengan implementasi sekarang. Kemitraan inilah yang akhirnya menyelamatkan program ini,” ujarnya.

Lebih Efisien
Menurut Dadan Hindayana, skema kemitraan tidak mengurangi anggaran yang telah disiapkan pemerintah. Anggaran pembangunan gedung tetap tercantum dalam APBN dan digunakan untuk membangun tiga gedung di setiap kabupaten.

Namun, pelaksanaan pembangunan dengan dana APBN ternyata lebih rumit dari yang dibayangkan. Target penyelesaian pada Agustus 2025 belum bisa tercapai karena hingga kini belum ada gedung yang berhasil dibangun.

Sebagian anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan gedung SPPG akhirnya direalokasi untuk memperkuat intervensi gizi masyarakat. Penyesuaian ini membuat fokus program bergeser dari pembangunan fisik ke percepatan manfaat langsung bagi masyarakat.

Akibatnya, target penerima program meningkat signifikan dari rencana awal. “Kalau anggaran sudah dialokasikan, tinggal kita bedakan saja peruntukannya,” ujarnya.

Melalui kemitraan, program menjadi lebih efisien. Anggaran untuk pembelian tanah yang tidak terpakai dialihkan untuk mendukung program MBG. Pendanaan kegiatan kemitraan diambil dari pagu yang ada.

Awalnya, biaya program MBG ditetapkan Rp15.000 per porsi, tapi Presiden menurunkannya menjadi Rp10.000. Dari jumlah itu, Rp10.000 digunakan untuk bahan baku, Rp3.000 untuk operasional termasuk dukungan relawan, dan Rp2.000 sebagai insentif mitra pelaksana.

“Jadi, Rp15.000 itu sudah mencakup insentif mitra,” jelasnya.

Membawa Berkah
Pada tahun 2026, anggaran besar telah disiapkan untuk program MBG. Pagu awalnya mencapai Rp268 triliun, ditambah dana cadangan sebesar Rp67 triliun, sehingga total anggaran menjadi Rp335 triliun.

Perhitungan ini berdasarkan asumsi bahwa hingga akhir 2025, program dapat menjangkau 82,9 juta penerima manfaat. Dengan cakupan tersebut, dibutuhkan anggaran sekitar Rp1,2 triliun per hari sepanjang tahun, sehingga kebutuhan total mencapai Rp300 triliun.

Namun, jika pencapaian tahun 2025 hanya sekitar 80% dari target, maka serapan anggaran 2026 mungkin tidak mencapai Rp335 triliun.

Dadan Hindayana optimis bahwa pagu Rp268 triliun akan terserap habis pada 2026. Ia menjelaskan bahwa program MBG adalah terobosan baru di Indonesia dengan dampak ekonomi yang jauh lebih luas dari perkiraan awal.

Awalnya hanya menyasar sektor pertanian dan pangan, program ini ternyata memengaruhi sektor industri dan manufaktur. Contohnya, beberapa pabrik otomotif kini memproduksi peralatan makan berbahan nikel, seperti food tray.

Penjual bahan bangunan dan pekerja konstruksi juga merasakan manfaat dari pembangunan infrastruktur mitra program. Setiap proyek layanan gizi melibatkan banyak tenaga kerja dan menggerakkan ekonomi daerah.

Dadan awalnya hanya membayangkan penerima manfaat akan bahagia karena 60% anak-anak Indonesia belum memiliki akses ke menu bergizi seimbang. Ia juga memperkirakan petani akan diuntungkan karena muncul permintaan baru dari program ini.

Namun, dalam pelaksanaannya, dampak program ternyata jauh lebih luas dan menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat.

“Program ini benar-benar membawa berkah bagi banyak pihak,” tuturnya.

Percepat SPPG
Dadan Hindayana menyatakan bahwa target pembangunan SPPG pada tahun 2025 mencapai 25.400 unit di wilayah aglomerasi dan 6.000 unit di daerah terpencil. Hingga kini, kemajuan yang dicapai cukup signifikan dengan 10.561 SPPG telah terbentuk, atau lebih dari 30 persen dari target nasional.

Keunggulan Badan Gizi Nasional terletak pada ketepatan data dan realisasi di lapangan. Bahkan Presiden pernah mempertanyakan keakuratan data tersebut,

dan dijelaskan bahwa seluruh data yang disajikan bersifat nyata serta dapat diverifikasi melalui serapan anggaran. Konsistensi data dan realisasi terlihat dari jumlah SPPG yang mencapai 30 persen serta tingkat serapan anggaran yang sama.

Dadan Hindayana menargetkan seluruh SPPG selesai dibentuk pada akhir Desember 2025. Saat ini, terdapat sekitar 29.000 mitra yang mendaftar melalui portal dan sedang dalam proses verifikasi.

Puncak pembentukan SPPG diperkirakan terjadi pada Oktober-November, dengan tambahan sekitar 12.000-13.000 unit yang segera beroperasi.

Sementara itu, pembangunan di daerah terpencil terus dipercepat melalui kerja sama dengan Satgas Pemerintah Daerah karena wilayah tersebut tidak terintegrasi dengan sistem portal mitra.

Percepatan dilakukan karena masih banyak penerima manfaat yang belum mendapatkan akses program. Target awal tahun 2025 hanya mencakup 5.000 SPPG untuk melayani 17,5 juta penerima manfaat.

Namun, tingginya permintaan dan arahan Presiden untuk mempercepat program membuat langkah percepatan dilakukan secara masif.

“Kami terus membenahi agar semuanya aman, namun percepatan tetap dijalankan. Bahkan kami akan meningkatkan kecepatan sambil menjaga keamanan,” tuturnya.

Perketat Tata Kelola Antisipasi Keracunan

Dalam perjalanannya, program MBG menghadapi berbagai masalah tak terduga, termasuk kasus-kasus keracunan yang sebenarnya telah diantisipasi sejak awal.

Oleh karena itu, saat menetapkan standar bangunan SPPG, dibuat daftar cek yang sangat ketat. Tidak hanya bangunan yang harus memiliki dua akses pintu berbeda, tetapi juga alur masuk bahan mentah dan alur keluar makanan matang wajib terpisah.

Selain itu, harus tersedia area penyimpanan basah, penyimpanan kering, serta alat pencuci yang memadai. Bahkan sendok, pisau, dan talenan pun harus dibedakan sesuai penggunaannya, baik untuk memotong daging, sayuran, maupun bahan lainnya.

“Hal-hal seperti itu sebenarnya sudah diantisipasi sejak awal, termasuk SOP untuk pemilihan bahan baku dan waktu memasak,” ujarnya. Bagi mitra yang sudah berpengalaman di bidang jasa boga, hal ini bukanlah masalah besar.

Sejak awal, program juga didukung oleh pelaku industri makanan dan minuman. Karena itu, pada tahap awal pelaksanaan, program berjalan lancar.

Namun, setelah berkembang dan menarik banyak pihak baru, muncul tantangan baru. Beberapa mitra memiliki latar belakang dan keterampilan SDM yang bervariasi, sehingga terjadi sejumlah kasus di lapangan.

“Sebenarnya pengawasan sudah cukup ketat. Saat jumlah mitra masih sekitar 2.391 pada Januari–Juli, kami rapat setiap hari, dan apa yang terjadi hari itu langsung dievaluasi,” katanya.

Namun, dalam dua bulan terakhir, jumlah SPPG melonjak pesat hingga mencapai 10.561 unit. Di sinilah diperlukan penyesuaian mekanisme kerja, terutama dalam pembagian wilayah dan koordinasi. Ia mengakui, dengan bertambahnya jumlah mitra, koordinasi menjadi jauh lebih kompleks.

“Misalnya, waktu memasak seharusnya dimulai pukul dua pagi. Mungkin mitra-mitra baru, agar tidak keteteran, memulainya lebih awal. Dari situ, banyak kejadian seperti itu muncul,” katanya.

Perketat Keamanan
Untuk mencegah terulangnya kasus keracunan, Presiden Prabowo memberikan arahan tegas untuk memperketat standar keamanan pangan di seluruh SPPG. Setiap SPPG wajib memiliki alat rapid test untuk mendeteksi zat berbahaya dalam makanan.

Semua makanan yang sudah dimasak dan siap disajikan harus diuji di laboratorium masing-masing sebelum dibagikan kepada penerima manfaat.

Presiden juga menekankan pentingnya penggunaan air bersih yang aman, terutama air galon yang tersertifikasi bebas bakteri E. coli dan zat berbahaya lainnya. Setiap SPPG diwajibkan memiliki alat sterilisasi makanan untuk memastikan makanan yang disalurkan aman dikonsumsi.

Selain itu, Presiden membuka wacana untuk mengurangi jumlah penerima manfaat di setiap SPPG. Jika saat ini satu SPPG melayani 3.000–4.000 orang, ke depan jumlahnya akan dikembalikan ke konsep awal, yaitu 1.500–2.500 penerima.

Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas layanan dan membuka peluang lebih banyak mitra untuk berpartisipasi di berbagai daerah. “Dengan begitu, kompetisi sehat antarmitra dapat mendorong peningkatan mutu pelayanan bagi masyarakat,” katanya.

Pengetatan standar keamanan ini tidak memerlukan biaya tambahan karena semua kebutuhan sudah termasuk dalam struktur pembiayaan. Dengan anggaran operasional Rp3.000 per porsi, masih ada kelebihan sekitar Rp20 juta per SPPG.

Dana tersebut akan dioptimalkan untuk memperkuat pengawasan di lapangan. Petugas sekolah, kader Posyandu, dan pihak lain yang membantu dapat memperoleh honor tambahan untuk meningkatkan intensitas dan efektivitas pengawasan.

“Jadi, biaya tidak bertambah, tetapi anggaran yang ada dioptimalkan agar kualitas dan keamanan pangan semakin terjamin,” tegasnya.

 

 

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait

Scroll to Top