Isu ini muncul dalam rapat kerja yang berlangsung di Jakarta pada Kamis, 3 Juli 2025. Anggota Komisi XI DPR RI, Melchias Markus Mekeng, secara tegas mengkritik ketimpangan tersebut.
Ia menyebutkan bahwa anggaran pendidikan untuk sekolah, termasuk perguruan tinggi kedinasan, mencapai Rp104,5 triliun, tetapi hanya dialokasikan untuk sekitar 13 ribu peserta didik.
Sementara itu, anggaran untuk pendidikan formal dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi hanya sebesar Rp91,2 triliun, meskipun harus mencakup 62 juta siswa di seluruh Indonesia.
“Bayangkan, Rp104,5 triliun untuk 13 ribu orang. Sedangkan Rp91,2 triliun dibagi untuk 62 juta siswa. Ini jelas tidak adil dan tidak mencerminkan prinsip pemerataan pendidikan,” ujar Mekeng.
Ia menegaskan bahwa prioritas dana pendidikan seharusnya diberikan kepada jenjang yang lebih mendasar untuk membangun fondasi generasi masa depan yang berkualitas.
Oleh karena itu, Mekeng menyarankan agar alokasi anggaran untuk sekolah kedinasan—khususnya yang setingkat perguruan tinggi—dikurangi dan dialihkan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar hingga menengah.
Anggaran Meningkat
Dalam lima tahun terakhir, anggaran pendidikan nasional mengalami peningkatan yang signifikan. Pada tahun 2020, anggaran pendidikan mencapai Rp547,9 triliun dan melonjak menjadi Rp724,2 triliun pada tahun 2025.
Namun, peningkatan ini ternyata belum mampu menjamin pemerataan dan keadilan dalam akses pendidikan di seluruh Indonesia.
Sebagian besar dana justru terserap oleh institusi tertentu yang bersifat eksklusif, seperti sekolah kedinasan, alih-alih menyentuh kebutuhan dasar pendidikan masyarakat luas. P
adahal, kebutuhan mendesak saat ini berada di jenjang sekolah dasar dan menengah, termasuk renovasi gedung sekolah yang rusak serta peningkatan kualitas guru di berbagai wilayah.
Pemerintah merencanakan renovasi terhadap 10.440 sekolah pada tahun 2025, tetapi angka ini masih jauh dari memadai dibandingkan jumlah sekolah rusak yang tersebar di pelosok negeri. Ribuan sekolah di berbagai daerah masih mengalami kerusakan berat dan belum tersentuh program renovasi.
Ketimpangan alokasi anggaran semakin terlihat jelas. Sekolah kedinasan dengan jumlah peserta didik yang terbatas mendapatkan alokasi anggaran besar, sementara sekolah formal yang menampung jutaan siswa harus berjuang dengan fasilitas yang terbatas.
Landasan Hukum
Melchias Markus Mekeng mengingatkan bahwa dasar hukum alokasi anggaran pendidikan sudah sangat jelas. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2022 menyatakan bahwa anggaran pendidikan untuk sekolah kedinasan tidak boleh diambil dari dana pendidikan dalam APBN.
Dana sekolah kedinasan seharusnya berasal dari kementerian atau lembaga terkait, bukan dari anggaran pendidikan nasional yang diperuntukkan bagi masyarakat umum.
Mekeng juga menyinggung Pasal 31 Ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 yang mewajibkan negara untuk mengalokasikan minimal 20 persen dari APBN dan APBD untuk pendidikan.
Ketentuan ini diperkuat oleh Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa dana pendidikan tidak termasuk untuk gaji pendidik dan tidak pula untuk membiayai pendidikan kedinasan.
Menurut Mekeng, aturan-aturan hukum ini kerap kali diabaikan dalam praktik. Ia menyebut bahwa masih banyak dana pendidikan yang justru digunakan untuk membiayai sekolah kedinasan—bahkan dalam jumlah yang menurutnya tidak masuk akal.
Tanggapan Kementerian
Menanggapi isu anggaran sekolah kedinasan, Menteri Keuangan saat itu, Sri Mulyani menegaskan bahwa dana untuk sekolah kedinasan tidak termasuk dalam alokasi dana pendidikan nasional sebesar Rp 724,2 triliun.
Ia menjelaskan bahwa anggaran tersebut berasal dari kementerian atau lembaga yang menaungi sekolah kedinasan masing-masing. Pernyataan ini memunculkan keraguan dari berbagai pihak.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menyebut pemerintah kurang transparan dan jujur dalam penggunaan dana pendidikan.
Ia bahkan menuding bahwa anggaran sekolah kedinasan dan program Makan Bergizi Gratis (MBG) sering mengambil porsi dari dana pendidikan nasional.
“Temuan tentang penyalahgunaan dana pendidikan ini sudah lama. Dalam pembahasan Panja Pembiayaan Pendidikan di Komisi X DPR RI, persoalan ini sudah disampaikan. Program MBG saja menyedot anggaran hingga Rp56 triliun,” kata Ubaid.
Sementara itu, laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa dari total anggaran pendidikan sebesar Rp722,6 triliun dalam APBN 2025, sekitar 10 persen atau Rp71 triliun digunakan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Jumlah ini bahkan lebih besar dibandingkan alokasi dana Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, yang hanya mendapat Rp35,49 triliun.
Menurut Ubaid, situasi ini menunjukkan pemerintah belum maksimal melindungi hak anak atas pendidikan. Ia menegaskan masih banyak anak-anak di Indonesia yang belum mendapat akses pendidikan dasar yang layak.
Hal ini diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan Statistik Pendidikan 2024, yang menunjukkan mayoritas penduduk Indonesia hanya menyelesaikan pendidikan hingga tingkat menengah.
Sebanyak 63,84 persen penduduk usia 15 tahun ke atas tercatat hanya lulus SMP hingga SMA, sementara lulusan perguruan tinggi hanya mencapai 10,20 persen. Masih ada 2,88 persen penduduk usia 15 tahun ke atas yang belum pernah mengenyam pendidikan sama sekali.
Ketimpangan akses pendidikan juga terlihat jelas antara wilayah kota dan desa. Di perkotaan, persentase penduduk lulusan SMA ke atas mencapai 50,24 persen. Sebaliknya, di wilayah pedesaan, mayoritas penduduk hanya lulusan sekolah dasar, atau bahkan tidak pernah bersekolah sama sekali.
“Sudah saatnya kita kembali pada amanat UUD 1945. Pendidikan harus gratis, dan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN/APBD harus benarbenar digunakan untuk kebutuhan pendidikan masyarakat umum,” tegas Ubaid.
Akses Pendidikan Tinggi
Kepala Bidang Litbang Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Feriyansyah, menilai bahwa akses pendidikan tinggi di Indonesia masih sulit dijangkau oleh masyarakat kelas bawah. Ia menyoroti ketimpangan anggaran antara kampus negeri dan sekolah kedinasan, meskipun keduanya memiliki jurusan yang serupa.
“Sekolah kedinasan seakan-akan mendapatkan privilese lebih. Padahal outcome-nya menjadi ASN, dan sekarang ASN direkrut secara terbuka dan setara,” ujar Feriyansyah.
Ia menjelaskan bahwa pendidikan kedinasan sejak awal dibentuk untuk mencetak SDM siap kerja di kementerian atau lembaga negara. Namun, dengan sistem rekrutmen ASN yang kini terbuka dan kompetitif, justifikasi anggaran besar untuk sekolah kedinasan perlu dikaji ulang.
Selain akses dan anggaran, Feriyansyah juga menyoroti masalah lain yang tak kalah penting, yaitu belum optimalnya pengembangan karier dosen dan pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Hal ini menunjukkan bahwa alokasi anggaran pendidikan tinggi selama ini masih belum adil dan belum menyentuh akar persoalan secara menyeluruh.
Pendidikan Berkeadilan
Jika pemerintah benar-benar ingin menciptakan sistem pendidikan yang merata, berkualitas, dan adil, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah merombak alokasi anggaran pendidikan. Sudah saatnya pendidikan tidak lagi menjadi sesuatu yang eksklusif dan hanya dinikmati oleh segelintir pihak.
Kesenjangan akses pendidikan ini tidak hanya memengaruhi kemampuan individu untuk mendapatkan hak belajarnya, tetapi juga berdampak langsung pada ketimpangan sosial dan ekonomi dalam jangka panjang. Tanpa pemerataan pendidikan, mimpi besar menuju Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi slogan kosong tanpa makna.
Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan anggaran pendidikan secara menyeluruh dan memastikan setiap rupiah yang dialokasikan benar-benar memberikan manfaat maksimal bagi mayoritas rakyat Indonesia.
Perhatian khusus harus diberikan kepada mereka yang masih berjuang mendapatkan akses pendidikan dasar dan menengah yang layak.