Kampus Harus Melahirkan Alumni Kritis, Taktis, Skeptis – Oleh Herutjahjo Soewardojo

Share

Di tengah tingginya angka pengangguran, para lulusan perguruan tinggi seakan “mati kutu” meskipun berijasah S2 terpaksa menerima pekerjaan yang betulbetul jauh dari disiplin ilmu yang digelutinya. Miris.

Namun ada ungkapan yang menguatkan, “setiap era ada orangnya, dan setiap orang ada eranya.” Maka optimislah. Semoga semesta membuka jalan, menciptakan peluang kerja yang luas.

Ketika lapangan kerja terbuka, tentu mereka yang berkualitas akan mendapatkan tempat. Seleksi kerja akan berdasarkan sistem merit atau prestasi, bukan “ordal” alias orang dalam—itulah hukum semesta.

Dalam hal ini, menarik mencermati wawancara Rektor Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Dr. Ir. Andrey Andoko, M.Sc., dengan Majalah Kampus Indonesia.

Beliau menyebutkan bahwa semakin maju teknologi digital, termasuk AI—Artificial Intelligence atau Kecerdasan Buatan, semakin penting kualitas keterampilan manusia dan kemampuan berpikir kritis.

Pernyataan ini patut digarisbawahi, karena visi beliau menggambarkan optimisme bahwa generasi muda bangsa akan mampu membawa Indonesia menuju kemakmuran dan kemajuan.

Memang, berhadapan dengan AI bisa membuat minder. Mesin kini semakin cerdas, mampu menulis esai, menyusun laporan, bahkan memprediksi pasar atau opini publik.

Seolah-olah, mesin akan “merebut” lapangan kerja manusia. Dilema ini nyata. Namun ingatlah, satu hal yang tidak bisa digantikan oleh algoritma secanggih apa pun adalah kemanusiaan.

Mahasiswa saat ini hidup di era tanpa batas ruang dan waktu, di mana semuanya ada di ujung jari. Namun, justru karena itu, tugas kampus menjadi semakin berat.

Tidak cukup hanya mengajar, tetapi juga mendidik. Tidak cukup hanya mencerdaskan, tetapi juga memanusiakan. Mahasiswa harus terus diasah untuk berpikir kritis, tidak sekadar menerima informasi, tetapi juga mempertanyaka dan mengujinya.

Mereka juga perlu bersikap taktis, yaitu mampu mengubah gagasan menjadi tindakan nyata, solusi atas persoalan nyata. Dan yang tak kalah penting, mahasiswa harus skeptis, bukan mudah percaya begitu saja pada otoritas, data, atau sistem yang terlihat mapan tapi belum tentu adil.

Tanpa pendidikan yang membangkitkan nalar dan nurani, kita hanya akan mencetak lulusan yang canggih secara teknis, tetapi tumpul secara etis. Indonesia tidak membutuhkan robot dengan toga,

melainkan manusia merdeka yang berpikir dan bertindak demi kebaikan bersama. Mereka harus memiliki empati terhadap ketimpangan ekonomi, ketidakadilan hukum, serta suara rakyat kecil yang sering terabaikan oleh negara.

Kampus adalah tempat untuk membangun solidaritas, bukan sekadar ajang kompetisi. Mahasiswa perlu hadir di tengah masyarakat, bukan menjauh darinya. Mereka harus menjadi bagian dari solusi, bukan hanya menjadi penonton perubahan.

Di tengah tantangan dunia saat ini—dari krisis energi, konflik geopolitik, hingga disrupsi pekerjaan akibat teknologi—Indonesia membutuhkan generasi tangguh yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki kompas moral.

Inilah makna sebenarnya dari “bibit unggul bangsa.” Unggul bukan berarti elitis; justru mahasiswa yang unggul adalah mereka yang mendengar jeritan buruh tani, menjaga lingkungan, dan membela kaum yang dimarginalkan.

Seperti kata jurnalis senior, “Kampus dan mahasiswa harus mengingatkan yang mapan dan menghibur yang papa.”

Sejak awal, perlu disadari bahwa AI hanyalah alat, bukan arah. Kecanggihan tidak boleh menggantikan kebijaksanaan, kearifan, dan adab. Tugas kampus dan tanggung jawab mahasiswa adalah menjadikan ilmu sebagai jalan untuk memanusiakan manusia, bukan sekadar menaklukkan dunia.

Indonesia masa depan memerlukan bukan hanya teknokrat, tetapi juga pemikir; bukan hanya profesional, tetapi juga pemimpin yang berhati nurani. Kampus berperan sebagai jembatan antara ilmu dan nilai, antara kemajuan dan kemanusiaan.

Selama Kampus Indonesia terus berpikir, merasakan, dan bergerak dengan denyut nurani rakyat, harapan itu tidak akan pernah padam ***

Artikel Terkait