Jagad Anyar Romo Semono – Oleh Yudiono K.S.

Share

Artikel sederhana ini ditujukan kepada mahasiswa dan dosen yang menekuni masalah agama, filsafat, dan budaya dengan harapan eksistensi Jagad Anyar dikaji dan diteliti lebih mendalam sebagai sebuah filsafat atau tuntunan hidup yang berpotensi ikut serta membangun moral dan karakter bangsa.

Jagad Anyar (JA) adalah sebutan populer untuk wulangan atau tuntunan hidup dari Kanjeng Romo M. Semono Sastrohadidjojo, seorang bangsawan keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang hidup tahun 1900 sd 1981 dan dimakamkan di Gunung Damar Desa Sejiwan Kecamatan Loano Kabupaten Purworejo Jawa Tengah, lokasinya kira-kira 5 Km di utara kota Purworejo dekat jalan raya Purworejo- Magelang.

Eksistensi JA saat ini ditandai oleh banyaknya orang yang berziarah ke Makam Gunung Damar yang tampak mewah pada setiap hari Minggu Legi menuju Senin Pahing atau ikut upacara besar Pahargyan Agung Gunung Damar pada setiap 14 November. Meskipun tanpa data akurat, bisa dibayangkan pengikut JA sudah puluhan ribu yang tersebar di seluruh Jawa. Sayangnya sampai saat ini belum terbit buku atau dokumen profesional yang berbicara tentang JA. Padahal eksistensinya mungkin setara dengan sejumlah wulangan spiritual yang dibina Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME Departemen Pendidikan dan Kebudayaan seperti Paguyuban Ngesti Tunggal (Pangestu), Sapta Darma, Susila Budi Darma (Subud), Sunda Wiwitan dan lain-lain.

Sementara sumber tertulis yang ada baru sejumlah naskah garapan amatir para pengikut JA, antara lain Wedaran Romo Semono Pitulas Tahun Mijil Kunci berbahasa Jawa susunan MS di Semarang bertanggal 3 April 1998 yang disalin lagi oleh SSSS di Semarang 22 Januari 1999, tetapi tidak jelas kepanjangan singkatan MS dan SSSS. Ada juga Pedoman Hidup garapan Toet Hadi Soetjipto 55 halaman bertanggal Jember 25 Juli 1985. Ada naskah berjudul Panggugah Hanane Manungsa Himpunan Dawuh Pangandikane Romo 114 halaman garapan Herman Pratikto tanpa keterangan kapan dan di mana penggarapannya.

Naskah hasil penelitian yang sempat terjangkau hanyalah Perilaku Prososial Penghayat Ajaran Romo Semono karya Agus Siswono dari Universitas Katolik Sugiyopranoto Semarang tahun 2005. Mungkin ada juga yang lain, tetapi luput dari jangkauan penulis artikel ini. Dengan demikian masih sangat terbuka peluang siapapun untuk mengkaji atau meneliti JA secara profesional setelah menyimak sepintas JA dari aspek tokohnya, pengikutnya, dan syariat ritualnya.

Romo Semono

Dia lahir di keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dari Kanjeng Ratu Emas tahun 1900, kemudian disingkirkan oleh penguasa karena konflik politik dan campur tangan pihak Belanda, sehingga menjadi anak angkat Ki Kasandikromo, mantan abdi dalem keraton yang berasal dari Desa Sejiwan Kabupaten Purworejo. Bocah Semono dekat dengan bocah-bocah sedesanya, tetapi dianggap punya kelebihan. Setiap hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon tampak dua bayangan dirinya di bawah matahari yang garang, padahal sesama bocah hanya satu bayangan. Lantas dibilang anak genderuwo, tetapi setiap bertanya kepada ayahnya tidak terjawab tuntas.

Pada usia 14 tahun Semono nekad pergi berkelana sampai ke Goa Singo Barong di pantai Cilacap. Setelah tiga tahun bertapa lantas mendapatkan Gading Pawukir berhuruf Pallawa dan kembang Cangkok Wijayakusuma. Setelah dewasa Semono menjadi prajurit TNI-AL sampai menjabat Komandan Pangkalan TNI-AL Surabaya.

Pada Senin Pahing 14 November 1955 Pak Semono mengalami peristiwa gaib di rumah dinas Jalan Perak Barat 93 Surabaya. Dikisahkan orang bahwa malam itu diduga terjadi kebakaran di rumah dinas Pak Semono karena tampak cahaya yang cemerlang di langit. Panjang kisahnya, tapi intinya saat itulah Pak Semono dipercaya menerima wahyu atau tuntunan spiritual

dari Tuhan YME. Sejak itu Pak Semono semakin ahli memberikan pertolongan kepada banyak orang untuk pengobatan, pekerjaan, perjodohan, perdagangan, dan lain-lain.

Namun Pak Semono menegaskan tindakannya bukan ranah perdukunan atau mistik dan klenik melainkan upaya memahami hakikat kehidupan masing-masing agar menjadi manusia pilihan. Mungkin itulah sebabnya wulangan atau pelajaran Pak Semono tidak disebarkan kemana-mana, tetapi diberikan kepada siapa pun yang datang ke rumahnya setiap saat. Kata orang yang dulu sempat menghadap Pak Semono bahwa rumahnya sangat terbuka setiap saat, lebih-lebih setelah pensiun tahun 1958 dan menetap di Desa Sejiwan Purworejo dengan sebutan lengkap Kanjeng Romo M. Semono

 Sastrohamidjojo atau Kanjeng Romo Semono hingga wafat  3 Maret 1981. Menikah dengan Ibu Ngatinem sebagai istri pertama, bersambung istri kedua Ibu Tumirin yang keduanya tidak melahirkan anak kandung. Kata orang anaknya Kanjeng Romo Semono terbilang ribuan orang.

Hebatnya, Kanjeng Romo Semono selalu menggunakan bahasa Jawa ngoko kepada siapa pun. Bukan maksudnya merendahkan, tetapi justru yang  percaya terhadapnya akan tercukupi kehidupannya sendiri. 

Lima Pilar

Wulangan atau tuntunan hidup JA tampak berbeda dengan syariat agama yang bersumber pada Kitab Suci seperti Al Quran untuk agama Islam atau Injil untuk agama Kristen dan Katolik. Prinsipnya JA bukan agama, bukan klenik, bukan mistik, bukan filsafat, melainkan tuntunan hidup sehari-hari bagi siapa pun yang percaya dan bercita-cita menjadi insan bermartabat. Dengan demikian JA boleh saja dijalani siapa pun yang mengaku sudah beragama, karena prinsipnya melengkapi ajaran agama apa pun.

Sebutan Jagad Anyar bukan berarti kehidupan manusia yang benar-benar baru untuk menggantikan yang sudah ada, melainkan upaya baru bagi siapapun yang berniat menjadi pribadi unggul, mandiri, dan profesional sehingga mampu berperan aktif membangun kehidupan masyarakat yang lebih gemilang. Prinsipnya,apabila semangkin banyak orang yang menjalani JA maka boleh dibayangkan atau diharapkan semangkin unggul juga kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Prinsip JA dapat diringkas sebagai berikut. Secara filosofis JA menuntun manusia agar menyadari eksistensi atau keberadaan dirinya di dunia dan kembali ke asal-usulnya dengan sempurna apabila mampu menjalani lima pilar JA, yaitu Kunci, Paweling, Asmo, Mijil, dan Singkir.

Secara teknis JA menyadarkan manusia agar tidak lagi menyanjung-nyanjung akal pikiran atau logika ilmu pengetahuan untuk mengelola kehidupan dunia, tetapi mengimbanginya dengan kasih sayang atau katresnan. Sebab, akal pikiran dan ilmu pengetahuan tidak otomatis menyelesaikan berbagai masalah kehidupan dunia, terbukti sampai saat ini masih saja terjadi peperangan, penindasan, pelanggaran hukum dan berbagai petaka lain yang merusak dunia.

Secara pragmatis JA menjamin manusia yang percaya terhadapnya akan tercukupi kehidupannya di dunia dan akan kembali ke asal-usulnya dengan sempurna. Fakta sekilas menyatakan JA sudah dijalani ribuan orang di hampir seluruh penjuru dunia, meskipun tidak tercatat secara empiris.

Deskripsi singkat prinsip JA seperti itu memang belum menjelaskan eksistensinya di tengah masyarakat, sehingga pantas dikaji lebih lanjut.

Peluang

Masih terbuka peluang penelitian JA untuk beberapa masalah penting, karena memang belum terjangkau data yang akurat dalam buku atau dokumen resmi profesional. Pertama, riwayat hidup Kanjeng Romo Semono dapat dipandang sebagai masalah yang serius terkait ajaran atau wulangan yang terkesan revolusioner di celah berbagai wulangan Jawa.

Perlu diupayakan penerbitan buku JA yang profesional untuk konsumsi masyarakat, agar tidak terjadi semacam klaim atau pengakuan sepihak terhadap kebenaran JA seperti yang sementara ini terjadi di kalangan para pengikutnya. Penulis artikel ini sekian tahun yang lewat pernah mengusulkan dan mengusahakan penerbitan buku JA yang profesional dan akademis, ternyata masih terhalang oleh egoisme kalangan senior yang mengaku dulu berguru langsung kepada Kanjeng Romo Semono.

Perlu dikaji juga peran lembaga-lembaga hukum yang memayungi JA seperti Yayasan Gunung Damar, Yayasan Trisakti, dan Paguyuban Kapribaden agar membuka wawasan masyarakat luas yang meminati JA, sehingga tidak terjebak pada klaim atau pengakuan kebenaran pihak tertentu. Penelitian lapangan dapat dilakukan di Makam Gunung Damar Sejiwan Purworejo yang pada setiap hari Minggu Legi menuju Senin Pahing pasti diziarahi banyak orang, atau pada upacara Pahargyan Agung Gunung Damar yang pasti dilaksanakan setiap tanggal 14 November.***

Artikel Terkait