Para pimpinan PTS di Yogya memberikan informasi bahwa tiga tahun terakhir, animo pendaftar di PTS menurun. Kemudian di awal tahun 2025 ini informasi ada data dari Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) DIY, dibanding 2-3 tahun sebelumnya, jumlah mahasiswa tinggal 70 %. Kalau tahun 2024 masih 80 %. Jadi antara 2024-2025, penurunannya sampai 10%.
Analisis penyebab penurunan itu juga cukup menarik. Antara lain massifnya penambahan kuota mahasiswa baru yang diterima oleh perguruan tinggi negeri, apalagi yang sudah Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH). Juga aktifnya perguruan tinggi kedinasan menawarkan berbagai fasilitas.
Ada juga dugaan karena makin ketatnya persaingan antara perguruan tinggi swasta, dan daya dukung ekonomi yang menurun, menyebabkan masyarakat menunda pembiayaan untuk studi di perguruan tinggi. Bisa juga karena lulusan perguruan tinggi tidak menjanjikan lapangan pekerjaan,
banyak yang berpikir untuk langsung mencari pekerjaan atau berwiraswasta, kuliah bisa dilakukan di kemudian hari.
Masifnya PTN
Perguruan tinggi negeri, apalagi PTNBH berusaha untuk menambah keleluasaan finansialnya. Salah satu cara yang paling mudah dan cepat adalah memperbanyak mahasiswa. Bukan saja dengan memperbanyak program studi yang berarti meningkatkan daya tampung, tetapi juga metode rekrutmen dengan berbagai skema, dan dalam waktu yang panjang.
Karenanya menurut Prof. Setyobudi, sebaiknya PTN jangan melakukan rekrutmen mahasiswa baru sampai lewat Bulan Mei. Agar PTS mempunya waktu yang agak longgar, karena agenda perkuliahan harus sudah mulai Bulan Agustus atau September.
Keluhan lain karena tawaran menjadi mahasiswa perguruan tinggi kedinasan, yang didukung oleh berbagai kementerian, badan, atau bahkan BUMN lebih atraktif. Pertama karena kuliah banyak yang dilakukan secara gratis, masih ada berbagai fasilitas seperti asrama, dan sebagainya. Kedua bisa mendapat beasiswa untuk jaminan biaya hidup selama kuliah. Masih ditambah lagi jaminan lapangan kerja setelah lulus.
Belum lagi peran Universitas Terbuka, yang makin massif dengan bantuan teknologi digital menyerap mahasiswa barunya. Ratusan ribu mahasiswa diterima setiap tahun, dengan jumlah total mahasiswa satu juta lebih.
Persaingan PTS
Jumlah mahasiswa yang terus menurun, kemungkinan juga dampak dari persaingan antara PTS sendiri. Jumlah perguruan di Indonesia lebih dari 4.000 (datanya berubah- ubah), sekitar 10 persen PTN, perguruan tinggi kedinasan, dan perguruan tinggi keagamaan yang dikelola Kementerian Agama.
Banyak model persaingan terbuka maupun tertutup. Misalnya mempersaingkan kualitas akademis dengan menonjolkan akreditasi masing-masing, baik dari dalam negeri maupun secara internasional. Akreditasi yang diberikan oleh Badan Akreditasi Nasional
(BAN) PT dianggap belum sempurna.
Harus ditingkatkan lagi menjadi akreditasi internasional. Persaingan lain misalnya dengan menawarkan biaya yang relatif murah. Metode ini ternyata berhasil, ada universitas yang berhasil merekrut mahasiswa baru puluhan ribu tiap tahun, sehingga jumlah total mahasiswanya lebih dari 100 ribu. Yang penting bisa kuliah, lulus sarjana, kualitas dan kredibilitasnya nomor dua.
Pertimbangan biaya, dikaitkan dengan kondisi ekonomi saat ini, dianggap juga sebagai salah satu penyebab menurunnya mahasiswa baru di PTS. Gejala ini menurut Prof. Setyobudi teramati sejak pandemic covid 19, saat ekonomi tumbuh minus, dan menyebabkan banyak mahasiswa drop-out. Di sisi lain angka kepesertaan studi di pendidikan tinggi masih tergolong rendah.
Mencari Solusi
Keadaan penurunan mahasiswa PTS, harus diverifikasi, terutama oleh pemerintah, kementerian Pendidikan Tinggi, dan asosiasi PTS maupun organisasi yayasan penyelenggara PTS. Harus dipastikan berapa jumlah PTS yang ada di Indonesia, berapa jumlah total mahasiswa, beserta tren turun naiknya sampai saat ini.
Kalau jumlah yang ada dianggap tidak memadai untuk menjamin tersedianya SDM yang andal untuk menyongsong masa depan, Khususnya era Indonesia Emas 2045, harus menjadi pertimbangan yang serius.
Perlakuan yang adil bagi PTN dan PTS harus didasarkan pada kebijakan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang efektif, efisien dan produktif.
Lepas ada yang mempunyai motif bisnis, pada umumnya para penyelenggara pendidikan tinggi swasta adalah pejuang untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Fakta pemerintah hanya bisa menyelenggarakan PTN dan perguruan tinggi kedinasan dengan daya tampung sekitar 10-20 persen, apalagi untuk daerah-daerah pelosok dan terpencil, membuktikan strategisnya PTS.
Misalnya ada kebijakan umum, PTN dan PT kedinasan diarahkan untuk menjaga kualitas dan mengambil posisi pionir, yang tidak bisa dilakukan oleh PTS. Karena PTN juga mendapat anggaran dari pemerintah, bisa diarahkan untuk mengambil porsi misalnya program studi yang memerlukan teknologi atau kelengkapan yang PTS belum bisa mengadakan. Atau lebih fokus pada pendidikan lanjut, misalnya magister, doktor, bahkan paska doktoral. Karena perguruan tinggi kedinasan juga menggunakan anggaran negara, lebih baik program-program studi yang memungkinkan, dialihkan atau dikerjasamakan dengan PTS.
Sementara kalangan PTS membenahi kembali misi awalnya dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi. Dengan manajemen yang baik dan kreatif, bisa saja lembaga pendidikan tinggi swasta berkembang sehat secara finansial, juga terjaga misi idealismenya. Namun mendirikan yayasan yang memang misinya sosial, dengan motivasi mencari keuntungan kelompok maupun pribadi, pasti tidak sehat.
Angka-angka penurunan mahasiswa ini, bisa menjadi pelajaran semua pihak.