Rektor Hebat Perguruan Tinggi

Banyak Rektor Hebat Di Perguruan Tinggi

Share

Selalu ada yang baru ketika mewawancari para tokoh luar biasa. Rektor adalah posisi pilihan dengan kriteria yang tidak sederhana. Sebagai pemimpin puncak sebuah lembaga pendidikan tinggi, pasti harus mempunyai kapasita dalam mengelola manusia secara ganda. Mengurus mahasiswa dengan segala dinamikanya, dan mengelola dosen yang tingkat intelegensia dan kekritisan di atas rata-rata.

Dibutuhkan prasyarat di atas rata-rata, untuk berhasil sebagai rektor. Memberi inspirasi dan menjadi teladan dalam mendorong prestasi akademis bagi dosen maupun mahasiswa pasti menjadi kriteria utama. Namun kemampuan komunikasi, termasuk dengan pemerintah, masyarakat, atau komunitas khusus diperlukan.

Memimpin perguruan tinggi swasta, menjadi lebih kompleks karena harus piawai juga mengurus finansial, menyiapkan kelengkapan fasilitas, sampai melakukan promise untuk menarik minat calon mahasiswa, jika diperlukan.

Figur Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D, yang menjadi Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani ) sejak 2020, bisa menjadi contoh. Sejak awal kepemimpinnnya, tidak hanya bidang akademik, termasuk dosen, pembukaan program studi, hingga akreditasi perguruan tinggi, yang harus dipikirkan.

Tetapi masalah infrastrukrut, baik gedung, fasilitas teknologi informasi juga harus medapat penanganan serius. Beruntung krena tanggung jawab penyiapan infrastruktur menjadi ranah Yayasan Kartika Eka Paksi, yang mengampu Unjani.

Kerja keras selama lima tahun tampak hasilnya. Yayasan harus menyiapkan anggaran yang cukup besar, sekitar Rp 1,3 triliun untuk bangunan, gedung kuliah, kantor pimpinan universitas, perpustakaan, dan sebagainya. Juga dibutuhan Rp. 209 miliar untuk fasilitas teknologi informasi.

Prof. Hikmahanto menitikberatkan misinya pada dua aspek utama dalam pengembangan Unjani. Pertama, melakukan rebranding dengan menegaskan bahwa Unjani berada di bawah naungan TNI Angkatan Darat melalui Yayasan Kartika Eka Paksi. Identitas ini diangkat karena TNI Angkatan Darat telah dikenal luas di seluruh Indonesia.

Langkah kedua adalah memperkuat keunggulan universitas, sejalan dengan visinya yang berfokus pada tiga pilar utama yaitu unggul, berwawasan kebangsaan, dan berwawasan lingkungan. Salah satu potensi yang selama ini belum sepenuhnya dimaksimalkan adalah nilai-nilai kedisiplinan dan kepemimpinan yang menjadi ciri khas TNI Angkatan Darat.

Setelah lima tahun, kedua misi berhasil. Infrastruktur senilai Rp 1,5 Triliun menjadi kenyataan. Unjadi sebagai institusi mencapai akreditasi unggul, status tertinggi bagi perguruan tinggi yang diberikan oleh Badan Akreditasi Nasional (BAN) Perguruan Tinggi.

Juga luar biasa, karena Prof. Hikmahanto tidak berniat lagi untuk mencalonkan diri sebagai rektor periode berikutnya. “Kalau terlalu lama memimpin, ide
bisa berkurang, dan tak banyak inovasi bisa dilakukan,” katanya.

Kepakaran Inspiratif
Tak kalah unik dan inspiratifnya pengalaman Prof. Dr. Suyanto, ST, M.Si alumnus S1 Teknik Informatika di Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Telkom, saat ini menjadi Telkom University, yang kemudian menjadi rektor di almamaternya.

Sejak mahasiswa cukup besar perhatiannya pada teknologi Artificial Intelligence (AI), meskipun banyak diremehkan, dianggap sebagai utopia. Suyanto tetap fokus mempelajari AI. Ia yakin suatu saat AI akan booming.

Di tahun 2030 diperkirakan akan terjadi puncak disrupsi AI, akan ada tiga teknologi besar. Pertama 4G AI, atau AI generasi 4. Kedua adalah 6 generation networks, jadi jaringan internet generasi 6 yang kemampuannya kira-kira 10.000 kali lebih cepat dari jaringan internet saat ini.

Ketiga, Quantum Computing. Telkom University saat ini sudah berstatus akreditasi unggul, targetnya sampai 2028 menuju National Excellent Entrepreneur University berbasis AI.

Dengan menggunakan AI secara masif optimasinya sangat tinggi dalam tata kelola universitas, menghasilkan risetriset berkualitas, dan diharapkan lulusannya apapun jurusannya. Dengan sentuhan teknologi AI kompetensi mereka akan lebih mendekati kebutuhan industri.

Namun Suyanto mengigatkan hadirnya teknlogi AI yang bersifat kuantitatif dan sangat mudah dihitung dengan komputasi, akan mendisrupsi bidang-bidang Sains Teknik. Sedangkan ilmu sosial humaniora yang bersifat kualitatif, tidak mudah didisrupsi oleh AI karena unsur creativity dan humanity-nya.

“Sejak 2023 saya menulis novel tentang AI, untuk menjawab tantangan apakah bisa membuktikan bahwa Ai itu tidak lebih kreatif dari manusia yang yang humanity-nya tinggi,” katanya.

Bukan hanya di bidang kepakaran akademis, ia memberikan inspirasi. Tetapi juga cara menjalani profesi akademisi yang menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan yang normal. Semula untuk hasil yang maksimal ia bekerja keras belasa jam sehari.

Namun ketika kuliah S2 di Swedia, melihat waktu kerja maksimal delapan jam sehari. Agar orang tetap punya waktu untuk keluarga dan dirinya sendiri. Bisa bermain dengan teman, ngobrol dengan tetangga, dan sebagainya.

Ketika menjadi Wakil Dekan Fakultas Informatika, kampus meningkatkan target publikasi Scorpus yang tadinya 100 menjadi hampir 200 publikasi per tahun. Uniknya, meski ada peningkatan target, Suyanto tetap berkomitmen untuk memaksimalkan jam kerja hanya 8 jam sehari, agar hasil optimal.

Targetnya tercapai, semua bahagia. Saat mengambil S3 Ilmu komputer di Fakultas MIPA UGM, tidak hanya belajar Sains Teknik terkait ilmu komputer dan AI, tapi juga sosial humaniora, sastra, dan budaya.

“Ternyata itu menyenangkan. Saya lebih banyak mengasah otak kanan dibanding otak kiri, dan sudah mulai seimbang. Kebetulan disertasi saya itu AI untuk
linguistik, jadi pengujinya itu justru profesor dari bidang sastra,” katanya.

Kompleksitas Manajerial
Pengalaman Dr. E. Nurzaman, AM, MM, M. Si, Rektor Universitas Pamulang, Banten tak kalah inspiratifnya. Ini pengalaman memimpin perguruan tinggi dengan sistem mayoritas tatap muka, terbesar di Indonesia, bahkan mungkin terbesar di dunia.

Mahasiswa ada 102 ribu, tersebar di empat kampus, dalam kompleks lahan luas dan gedung-gedung perkuliahan belasan lantai. Dosennya sekitar 2.500 orang, kalau rapat harus menggunakan aula. Mahasiswa baru yang diterima setiap tahunnya sekitar 30.000, dengan penerimaan terbagi antara semester ganjil dan genap.

Pada semester ganjil, biasanya dari sekitar 32.000 pendaftar diterima 26.000 mahasiswa. Pada semester genap, meskipun jumlah pendaftar lebih sedikit, sekitar 7.000, Unpam menerima 6.500 mahasiswa. Biasanya mereka yang mendaftar di semester ganjil, yang sudah bekerja dan ingin melanjutkan pendidikan.

Wisuda lulusan dilakukan tiap bulan, dengan ratarata 1.000 orang peserta. Manajemen keuanganya tak kalah menarik. Unpam tidak memungut uang gedung dan menetapkan biaya kuliah yang sangat terjangkau, dengan rata-rata SPP 1,2 juta per semester yang dapat diangsur 200.000 per bulan.

Tidak aneh kalau Nurzaman bercerita bahwa banyak rombangan masyarakat dari Sumatera, Jawa Tengah, dan lain lain memerlukan datang ke Unpam, hanya sekadar membuktikan bahwa kampus tersebut benarbenar ada. Mereka heran mengapa banyak warga di daerahnya yang ramai-ramai kuliah di Unpam.

“Mereka tidak menyangka kampus ini benar-benar ada, karena khawatir hanya kampus palsu,” katanya. Demikianlah, kisah para rektor yang luar biasa. Pengalamannya sanagat menginspirasi. Pasti di luar itu masih banyak rektor-rektor perguruan tinggi lain, dengan kinerja yang kalah unik, menarik, dan inspiratif.***

Artikel Terkait