Anggaran Kendala Akreditasi, Tren Turun Mahasiswa PTS

Share

Direktur Dewan Eksekutif Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc, mengatakan tengah menghadapi fase paling menantang dalam sejarah akreditasi perguruan tinggi di Indonesia. Masa transisi kebijakan dan efisiensi anggaran terjadi secara bersamaan.

Perubahan dalam peraturan dan deadline yang semakin mendekat membuat masalah akreditasi unggul menjadi perhatian utama. Masih belum jelas berapa banyak perguruan tinggi yang dapat memperoleh akreditasi unggul sebelum batas waktu 31 Desember 2025.

Kebijakan akreditasi unggul untuk institusi pendidikan tinggi terlihat seperti langkah yang tidak konsisten. Status akreditasi unggul bagi perguruan tinggi memiliki dua makna;

selain berfungsi untuk menilai kualitas akademis suatu lembaga pendidikan tinggi, juga memberikan pengakuan tertinggi kepada perguruan tinggi yang mampu memenuhi standar yang ditetapkan.

Tujuannya tidak terdefinisi dengan baik, hingga akhirnya diputuskan untuk dibatalkan. Ini berarti tidak ada perkiraan tentang berapa banyak dari sekitar 4. 500 perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta di Indonesia, yang mungkin berhasil meraih akreditasi unggul.

Hingga akhir 2024, sekitar 160 perguruan tinggi diharapkan dapat berhasil mendapatkan akreditasi unggul. Mereka diberikan waktu hingga akhir 2024 untuk mengajukan, dan prosesnya akan berlangsung hingga akhir 2025.

Diperkirakan bahwa menjelang akhir 2025, hanya 200 perguruan tinggi yang dapat memenuhi syarat untuk akreditasi unggul, berdasarkan 5 persen dari total yang ada.

Target akreditasi nasional terhambat lebih lanjut akibat keterbatasan dana, sehingga dari total perguruan tinggi yang telah mengajukan akreditasi hingga akhir 2025, diharapkan hanya 50 persen yang dapat diproses.

Anggaran tidak hanya mempengaruhi institut Kemendikti Saintek, tetapi juga masing-masing perguruan tinggi. Terlebih bagi mereka yang berusaha untuk mendapatkan akreditasi dan peringkat global.

Hal ini bukan hanya berkaitan dengan kepentingan individual perguruan tinggi, namun juga menyangkut kebanggaan nasional.

Biaya untuk akreditasi nasional, apalagi yang berskala internasional, pastinya tidak sedikit. Bahkan perguruan tinggi negeri pun harus mencari dana sendiri untuk berbagai keperluan, termasuk akreditasi. Dan sumber dana yang paling mudah diakses adalah melalui mahasiswa.

Penurunan Jumlah Mahasiswa di PTS
Terkait dengan penurunan jumlah mahasiswa baru di PTS selama sepuluh tahun terakhir, Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Pusat, Prof. Dr. Ir. HM Budi Djatmiko, M. Si. , MEI. menjelaskan bahwa penyebab utama dari masalah ini adalah situasi ekonomi nasional yang tidak berkembang dan cenderung menurun.

Ia menyatakan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia berkisar antara 5-6 persen, bahkan menunjukkan penurunan, yang mengakibatkan daya beli masyarakat untuk pendidikan tinggi, yang merupakan kebutuhan sekunder, menjadi terbatas.

Berkurangnya minat untuk mendaftar di PTS dari tahun ke tahun harus diperhatikan oleh pemerintah sebagai momentum untuk mengubah arah pengembangan pendidikan tinggi di Indonesia, terutama peran perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) dalam menghadapi tantangan di masa depan.

Menurut Budi Djatmiko, tanggung jawab utama PTN adalah untuk bersaing di tingkat internasional dengan penekanan pada inovasi dan kualitas riset, bukan sekadar mengejar jumlah mahasiswa.

Ia menekankan pentingnya PTN membatasi jumlah mahasiswa yang diterima, misalnya dari puluhan ribu menjadi sekitar 3. 000 mahasiswa yang benar-benar berkualitas dan cerdas, dengan dukungan dana pemerintah yang memadai.

Hal ini sangat penting agar PTN dapat mencapai peringkat dunia yang lebih baik, mengingat saat ini Indonesia masih berada di posisi sekitar 300 besar World Class University, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Jika ke depannya tidak ada pembagian yang jelas antara PTN dan PTS dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia, dua tujuan besar tidak dapat tercapai.

Impian untuk memiliki perguruan tinggi yang setara dengan standar dunia tidak akan terwujud karena pemerintah tidak menyediakan anggaran khusus untuk perguruan tinggi yang dipersiapkan untuk itu.

Bahkan, perguruan tinggi negeri terbaik yang berstatus PTNBH harus berjuang sendiri dalam mencari tambahan anggaran dengan berbagai inovasi.

PTS semakin tertekan oleh pertumbuhan PTN yang terus menambah jumlah mahasiswa baru melalui berbagai cara, dan semakin berkurangnya jumlah mahasiswa baru di PTS, sehingga pada suatu titik, break even point sebagai institusi yang sehat tidak dapat tercapai.

Akibatnya, dalam jangka panjang, hal ini akan mengurangi kontribusi PTS dalam meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia yang masih sangat rendah, yaitu sekitar 31 persen.

Artinya, dari 100 lulusan SMA dan SMK, hanya 31 persen yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Angka ini jelas jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara seperti Singapura, Korea, Jepang, dan Malaysia yang memiliki APK di atas 50 persen bahkan mendekati 90 persen.

Artikel Terkait