Prabowo dan Cita-cita Ekonomi Kerakyatan – Oleh Muhammad Ali

Share

Presiden Prabowo Subianto menegaskan tidak boleh lagi membiarkan kekayaan bangsa ini dinikmati segelintir orang. Ini sekaligus juga sebuah seruan untuk kembali ke akar, ke roh konstitusi, ke Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Sejak resmi menjabat Presiden Prabowo konsisten menjadikan Pasal 33 sebagai titik pijak ideologis arah kebijakan ekonominya.

Prabowo menegaskan bahwa ekonomi Indonesia harus tetap berpegang pada akar konstitusional dan mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan, seperti tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945. Pancasila dan UUD 1945 menjadi landasan utama bagi seluruh kebijakan ekonomi negara.

Dalam Sidang Kabinet Paripurna pada Mei 2025, Presiden menyatakan bahwa negara wajib melindungi petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil dari praktik pasar yang merugikan.

Pasal 33 akan digunakan untuk mengatur sektor-sektor vital demi kepentingan rakyat banyak, sekaligus memperkuat kendali negara atas sumber daya strategis nasional.

Dalam pidatonya pada peringatan Hari Lahir Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ke-27 pada 23 Juli 2025, ia menyebut Pasal 33 sebagai senjata pamungkas untuk melawan ketimpangan ekonomi.

Ia mengkritik sistem yang disebutnya “serakahnomics,” sebuah sindiran terhadap ekonomi yang hanya menguntungkan korporasi besar dan oligarki. Pasal ini hampir dihapus dalam amandemen konstitusi pascareformasi, namun tetap bertahan karena kesadaran rakyat akan nilai perjuangan.

Di tengah tekanan geopolitik, krisis pangan global, dan ketimpangan domestik, seruan untuk menegakkan Pasal 33 kembali mengemuka sebagai langkah korektif untuk arah pembangunan nasional.

Pemikiran Prabowo
Prabowo menekankan pentingnya ekonomi kerakyatan sebagai solusi atas ketimpangan dan ketergantungan ekonomi yang telah terjadi selama puluhan tahun.

Dalam Debat Capres 2024, ia menegaskan bahwa ekonomi tidak boleh sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Negara harus hadir dan, sesuai Pasal 33, mengelola kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kedaulatan bangsa sangat bergantung pada penguasaan empat pilar utama: pangan, energi, air, dan tanah. Keempat sektor ini tidak boleh didikte oleh pasar global atau kepentingan asing.

Prabowo menyatakan bahwa Indonesia harus mampu mencapai swasembada pangan, bukan hanya demi kebutuhan ekonomi, tetapi juga demi harga diri bangsa.

Konsep “dikuasai oleh negara” menurutnya bukan berarti negara mengelola semua usaha secara langsung, melainkan memiliki kontrol strategis terhadap sektor-sektor penting untuk mencegah eksploitasi oleh pihak swasta yang hanya mengejar keuntungan.

Negara harus menjadi wasit yang kuat dan adil, bukan sekadar penonton pasif dalam mekanisme pasar. Ekonomi kerakyatan yang diusung Prabowo berada di posisi menarik.

Ia tidak anti-pasar, namun juga tidak menyerahkan nasib rakyat sepenuhnya kepada invisible hand. Prabowo percaya pada peran negara yang aktif dan tegas, sambil tetap membuka ruang bagi kemitraan strategis antara BUMN, swasta nasional, dan pelaku usaha kecil-menengah.

Implementasi
Sejumlah program strategis mulai digulirkan sebagai langkah nyata untuk menafsirkan dan menjalankan amanat konstitusi. Beberapa di antaranya memberikan sinyal kuat bahwa pemerintahan Prabowo berupaya mewujudkan ekonomi yang benar-benar berpihak pada rakyat.

Salah satu program unggulan yang mencerminkan semangat Pasal 33 adalah Kopdes Merah Putih (Koperasi Desa Merah Putih). Program ini mereplikasi sistem ekonomi berbasis komunitas, yang dirancang untuk menciptakan pusat produksi, distribusi, dan konsumsi di tingkat lokal.

Dalam konsep ini, negara hadir tidak hanya sebagai regulator tetapi juga sebagai fasilitator aktif dalam membangun kemandirian ekonomi desa.

Pemerintahan Prabowo juga menggagas Holding Pangan Nasional sebagai langkah mengonsolidasikan berbagai BUMN pangan di bawah satu komando strategis.

Tujuannya tidak hanya untuk efisiensi korporasi, tetapi juga memperkuat peran negara dalam rantai produksi dan distribusi pangan nasional.

Di sektor energi, kebijakan Prabowo mulai berpihak pada energi baru dan terbarukan (EBT). Ini bukan sekadar respons terhadap isu global, melainkan bagian dari visi kemandirian energi nasional.

Program seperti pembangunan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di desa-desa tertinggal, eksplorasi panas bumi, dan insentif untuk kendaraan listrik menjadi langkah awal untuk memastikan akses energi yang lebih luas dan berkeadilan.

Selain itu, Prabowo juga menyatakan komitmennya untuk mereformasi sejumlah BUMN strategis, terutama yang mengelola sumber daya alam seperti tambang.

Energi dan infrastruktur diarahkan agar BUMN kembali pada perannya sebagai alat negara untuk menciptakan kemakmuran rakyat, bukan hanya entitas bisnis yang mengejar keuntungan semata.

Visi industrialisasi Prabowo menitikberatkan pada hilirisasi sumber daya alam. Indonesia tidak cukup hanya mengekspor bahan mentah, tetapi harus mampu mengolah nikel, bauksit, kelapa sawit, dan komoditas lain menjadi produk industri bernilai tinggi.

Hal ini sejalan dengan semangat Pasal 33 yang menolak liberalisasi sumber daya alam demi kepentingan segelintir pihak. Kelima program ini memiliki korelasi kuat dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.

Tantangan Politik
Mewujudkan semangat Pasal 33 UUD 1945 dalam ekonomi bukanlah hal mudah, menghadapi tantangan struktural, politik, dan sistemik yang kompleks. Prabowo Subianto tampaknya memahami bahwa niat baik saja tidak cukup.

Ia harus menghadapi sistem ekonomi yang telah lama menjauh dari roh konstitusi. Sejak era reformasi di akhir 1990-an, Indonesia mengadopsi arsitektur ekonomi liberal.

Privatisasi BUMN, investasi asing yang luas, dan deregulasi sektor strategis menjadi bagian reformasi ekonomi yang didorong oleh tekanan IMF dan lembaga keuangan internasional.

Logika pasar bebas dan kompetisi global lebih dominan dibandingkan prinsip “kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.”

Struktur ekonomi nasional telah lama dikuasai oligarki. Kelompok bisnis besar memiliki pengaruh kuat dalam politik dan kebijakan ekonomi, menguasai lahan, tambang, distribusi pangan, hingga akses perbankan dan media.

Globalisasi menambah tekanan tersendiri, dengan kesepakatan seperti FTA (Free Trade Agreement) atau ketentuan WTO (World Trade Organization) yang seringkali membatasi ruang gerak negara dalam ekonomi domestik.

Upaya proteksi pada sektor pangan atau energi pun kerap dikritik.,sebagai bentuk “intervensi negara yang tidak sehat.” Birokrasi kita selama ini lebih nyaman sebagai administrator proyek ketimbang motor perubahan.

Elite politik pun belum tentu sepenuhnya sejalan. Koalisi besar pemerintahan bisa menjadi kekuatan pendukung, namun juga berpotensi menjadi penghambat jika tidak memiliki pemahaman dan komitmen yang sama terhadap gagasan ekonomi kerakyatan.

Banyak program ekonomi yang digagas, seperti industrialisasi atau ketahanan pangan, membutuhkan investasi besar dan jangka panjang. Sementara itu, ruang fiskal APBN cukup sempit, terlebih dengabeban subsidi, utang, dan kewajiban lainnya.

Dari sisi hukum, seringkali kebijakan strategisterganjal oleh peraturan yang tumpang tindih,inkonsisten, atau bahkan bertentangan satu sama lain.

Analisis Ekonom
Setiap kebijakan tentu memiliki pro dan kontra, termasuk dalam penerapan Pasal 33 untuk perekonomian nasional. Perdebatan mengerucut pada dua pandangan utama:

satu mendukung semangat ekonomi kerakyatan dengan peran negara yang kuat, dan yang lain mengingatkan risiko intervensi negara yang berlebihan dalam pasar.

Kelompok ekonom nasionalis melihat semangat Prabowo sebagai koreksi historis terhadap liberalisasi ekonomi sejak era reformasi. Mereka menganggap Pasal 33 sebagai mandat sejarah Indonesia untuk memastikan kemakmuran dapat dirasakan secara adil oleh rakyat.

Sementara itu, ekonom pro pasar menekankan kehati-hatian. Menurut mereka, terlalu banyak intervensi negara dapat menciptakan inefisiensi, rente, bahkan korupsi.

Bagi mereka, yang terpenting adalah rakyat merasakan manfaat nyata, tanpa memandang siapa yang mengelola.Di tengah perdebatan ini, pengamat kebijakan publik menyoroti pentingnya detail implementasi.

Kebijakan publik bukan hanya soal arah, tetapi juga tata kelola, koordinasi lintas sektor, dan keberlanjutan jangka panjang.

Melihat negara lain yang menerapkan pendekatan serupa bisa menjadi pelajaran. Di Amerika Latin, Bolivia berhasil mengelola sumber daya gas alam untuk kesejahteraan rakyat.

Negara-negara Nordik seperti Norwegia dan Swedia menunjukkan bahwa peran negara yang kuat dalam sektor strategis tetap bisa berjalan selaras dengan efisiensi pasar, asalkan tata kelolanya baik.

Ekonomi Konstitusional
Pasal 33 UUD 1945 mencerminkan filosofi ekonomi Indonesia yang pro-rakyat, dengan negara sebagai aktor utama dalam mengelola sektor produksi penting dan sumber daya alam demi kesejahteraan rakyat.

Namun, sejak reformasi, interpretasi pasal ini mulai terkikis. Banyak kebijakan ekonomi lebih berorientasi pada prinsip pasar bebas daripada amanat konstitusi.

Langkah awal pemerintahan Prabowo seperti pembentukan holding pangan nasional menegaskan kembali peran negara dalam ketahanan energi dan air, serta memperkuat posisi desa dalam ekonomi nasional.

Kehadiran negara harus memastikan akses sumber daya ekonomi tidak dimonopoli segelintir elite, menjadi pelindung rakyat dari dampak pasar bebas, sekaligus mendorong pemerataan, keberlanjutan, dan kedaulatan ekonomi.

Partisipasi rakyat adalah kunci. Ekonomi konstitusional memerlukan keterlibatan aktif masyarakat dalam produksi, distribusi, dan konsumsi. Untuk kembali ke ekonomi konstitusional,

pemerintahan Prabowo harus berani menolak dominasi korporasi besar dan mengoreksi kebijakan yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945. ***

Artikel Terkait

Scroll to Top