Sejak reformasi 1998, koperasi ditinggalkan begitu saja. Pemerintah tidak lagi hadir sebagai pembina, dan semuanya diserahkan ke mekanisme pasar. KUD tidak siap menghadapi perubahan ini.
KUD yang sebelumnya menjadi penyalur pupuk, benih, dan pestisida dari pemerintah ke petani tiba-tiba harus bersaing di pasar bebas. Mereka kehilangan peran, sumber daya, dan arah.
Dalam kondisi terpuruk, banyak KUD beralih ke sektor simpan pinjam tanpa memiliki keahlian dalam manajemen risiko keuangan, yang akhirnya menyebabkan banyak pinjaman macet dan koperasi semakin lesu.
INKUD menyadari bahwa revitalisasi adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan KUD saat ini. Dari sisi kelembagaan, mereka sedang mendorong pembaruan badan hukum sesuai regulasi terkini serta pelaksanaan Rapat Anggota Tahunan (RAT) untuk menegakkan prinsip demokrasi koperasi.
Dari sisi usaha, Portasius menekankan pentingnya stimulus baru, kolaborasi dengan mitra, serta fokus kembali ke sektor riil seperti pertanian, perikanan, dan peternakan. KUD membutuhkan penyegaran, bukan hanya dari sisi legalitas, tetapi juga dari sisi mentalitas dan model bisnis. Kami butuh dukungan,
bukan ditinggalkan kembali,” katanya.
Harapan Baru
Menurut Portasius, kemunculan Koperasi Desa Merah Putih (KMP) sebagai program unggulan Presiden Prabowo Subianto membawa harapan baru. Namun, ia mengingatkan bahwa koperasi ini harus belajar dari sejarah.
“Kopdes Merah Putih jangan menjadi reinkarnasi KUD yang gagal. Mereka harus belajar dari yang bertahan dan memahami mengapa banyak yang tumbang,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa KMP bukanlah ancaman bagi KUD, melainkan mitra strategis. KUD yang memiliki gudang, infrastruktur, dan jaringan di tingkat kecamatan dapat bersinergi dengan Kopdes yang bekerja langsung di desa.
Portasius menyebutkan tiga akar masalah yang menyebabkan KUD terpuruk. Pertama, ketidaksiapan SDM, di mana banyak KUD beralih ke usaha simpan pinjam tanpa kapasitas teknis.
Proses verifikasi pinjaman dilakukan sembarangan tanpa pemahaman manajemen risiko, sehingga terjadi kegagalan masif dalam pengembalian modal. Kedua, hilangnya fungsi pembinaan karena reformasi yang menghapus peran pemerintah sebagai pembina koperasi.
KUD yang belum mandiri kehilangan arah tanpa dukungan dinas terkait. Ketiga, ketimpangan pasar, di mana KUD harus bersaing langsung dengan swasta yang lebih unggul dalam modal, akses, dan pengalaman.
Tantangan Baru
Portasius menjelaskan bahwa total aset koperasi nasional pada 2025 diperkirakan Rp182 triliun, jauh di bawah BUMN Rp5.000 triliun dan swasta Rp10.000 triliun.
Ketimpangan ini menjadi alasan kuat Presiden Prabowo mengusung kebijakan swasembada desa melalui Kopdes Merah Putih dengan fokus pada pangan, energi, dan air.
“Ekonomi kita terlalu bertumpu di kota. Desa harus bangkit lewat koperasi,” katanya.
Ia juga menyoroti pentingnya membedakan KUD yang mandiri dan tidak mandiri serta indikator utama keberhasilan KMP. yang tengah dirancang pemerintah.
Ketimpangan kualitas antar-KUD adalah kenyataan yang tidak bisa dihindari.
Beberapa KUD berkembang menjadi entitas ekonomi mandiri, sementara yang lainnya stagnan atau bahkan lumpuh. “Parameter KUD mandiri itu jelas: organisasi dan usaha berjalan baik, keuangan sehat, organisasi sehat, dan hubungan dengan anggota pun sehat,” ungkapnya.
Sebaliknya, KUD yang tidak mandiri menunjukkan gejala seperti menurunnya partisipasi anggota, lemahnya tata kelola organisasi, hingga pergeseran fungsi dari koperasi sektor riil ke dominasi kegiatan simpan pinjam tanpa kesiapan sumber daya manusia.
“Dalam banyak kasus, mereka tidak siap. Ketika usaha pertanian beralih ke simpan pinjam, yang muncul justru krisis SDM, dan itu fatal,” tambahnya.
Wajah Baru
Keberadaan KMP sebagai wajah baru koperasi di desa, menurut Portasius, dapat belajar dari keberhasilan dan kegagalan KUD. Ia menilai penting adanya kategori yang jelas antara koperasi yang mandiri dan tidak, dengan indikator kualitatif dan kuantitatif yang terukur.
Beberapa indikator keberhasilan koperasi desa mencakup kesehatan keuangan, di mana neraca keuangan harus mencerminkan likuiditas, akuntabilitas, dan keberlanjutan.
Selain itu, kesehatan organisasi seperti rapat anggota tahunan, transparansi laporan keuangan, dan rotasi kepemimpinan yang sehat juga menjadi faktor penting. Partisipasi anggota pun harus aktif, karena tanpa keterlibatan mereka, koperasi kehilangan esensinya.
Konsistensi dan Ketrgantungan
Portasius juga menyoroti bahwa salah satu akar masalah ketidakmandirian koperasi di masa lalu adalah kurangnya konsistensi. terjadi pergantian rezim, banyak koperasi kehilangan pijakan karena berubahnya arah dukungan dan regulasi.
“Konsistensi kebijakan sangat penting. Jangan sampai setiap kali ganti pemerintah, arah dukungan juga ikut berubah. Koperasi memerlukan jaminan keberlanjutan,” ujarnya.
Namun, ia menegaskan bahwa kemandirian koperasi bukan berarti negara absen. Pemerintah tetap harus hadir sebagai fasilitator dan pengarah, terutama dalam penguatan SDM dan digitalisasi koperasi. Keberhasilan koperasi tidak ditentukan hanya oleh konsep, struktur, atau anggaran, tetapi oleh mereka yang menjalankannya.
“Jika SDM-nya tidak kuat, program sebesar apa pun tidak akan berjalan,” tegasnya. Menurutnya, refleksi terbaik dapat diambil dari pengalaman era Orde Baru, saat pelatihan koperasi menjadi rutinitas di tiap kabupaten.
Pemerintah memiliki program diklat koperasi yang sistematis dan berjenjang, melatih pengurus KUD dalam bidang keuangan, manajemen, organisasi, hingga operasional usaha.
“Orang-orang KUD yang masih ada hingga sekarang kuat karena dulu mereka dilatih dengan disiplin,” ungkapnya.
Bisa Jadi Bencana
Salah satu program KMP adalah pemberian pinjaman modal kerja hingga Rp3 miliar per koperasi. Portasius memperingatkan bahwa tanpa SDM keuangan yang andal, kebijakan ini bisa gagal total.
“Itu bukan dana hibah, itu pinjaman. Jika tidak siap, bisa menjadi bom waktu. SDM keuangannya harus kuat, manajemen usahanya harus disiplin,” katanya.
Ia menyebut tidak semua Kopdes akan siap langsung. Bahkan, menurutnya, jika 1% dari Kopdes dapat berjalan optimal sejak awal, itu sudah menjadi capaian realistis. Sisanya memerlukan proses pelatihan, bimbingan, dan penguatan secara bertahap.
Portasius mengusulkan pendekatan kolaboratif, melibatkan koperasi yang telah eksis dan mandiri selama puluhan tahun untuk membina dan berbagi pengalaman kepada pengurus Kopdes Merah Putih.
“Kami memiliki pengalaman 50 tahun, baik saat sukses maupun gagal. Itu adalah modal pengetahuan yang tidak bisa dibeli,” ujarnya. KUD bisa berperan sebagai mentor lapangan yang mendampingi Kopdes di fase awal operasional, baik dari distribusi barang, pencatatan, keuangan hingga penyusunan laporan.
Sukses dan Gagal KUD Bisa Menjadi Pelajaran
Salah satu tugas KMP adalah distribusi kebutuhan pokok seperti LPG, pupuk, dan beras. Namun di sinilah tantangan pengawasan muncul. Portasius menawarkan model sederhana namun efektif yang pernah diterapkan di era keemasan KUD seperti melibatkan tiga institusi kunci yakni Dinas Koperasi, Dinas Pertanian, dan Bulog, memantau distribusi secara bersama.
Pertemuan rutin dua kali sebulan dilakukan untuk evaluasi stok awal, distribusi aktual, dan pelaporan berdasarkan RDKK (Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok). Satu data vertikal dari tingkat desa hingga pusat menjadi dasar pengambilan keputusan nasional.
“Dulu Pak Harmoko bisa menyampaikan stok beras nasional secara presisi karena datanya satu dan jelas,” katanya.
Menurut Portasius, kepercayaan masyarakat terhadap koperasi, terutama di tingkat desa, belum berada pada titik ideal. Keraguan ini muncul akibat banyaknya kasus penyimpangan, khususnya pada koperasi simpan pinjam.
“Selama ini banyak koperasi hadir, tetapi tidak menjawab kebutuhan masyarakat. Bahkan, banyak yang malah menipu atas nama koperasi,” jelasnya.
Fenomena koperasi abal-abal yang menyaru sebagai lembaga keuangan telah merusak citra koperasi sejati. Padahal, masalah ini hanya terjadi pada koperasi simpan pinjam, bukan koperasi produksi yang selama ini berperan penting di desa-desa.
Portasius menekankan bahwa kunci membangun kepercayaan bukanlah melalui kampanye, melainkan manfaat nyata. Masyarakat desa, katanya, adalah masyarakat sederhana: mereka akan percaya jika langsung merasakan manfaat keberadaan koperasi.
“Tujuan koperasi adalah untuk menyejahterakan anggota, bukan pengurus. Kalau manfaatnya dirasakan langsung, trust itu
akan tumbuh dengan sendirinya,” tegasnya.
Kembali ke Anggota
Dalam sistem koperasi yang ideal, seluruh keuntungan akan kembali kepada anggota dalam bentuk Sisa Hasil Usaha (SHU). Transparansi dan demokrasi menjadi prinsip operasional yang tidak bisa ditawar.
Kemunculan Kopdes Merah Putih menjadi tanda positif, karena negara kembali hadir di desa melalui koperasi. Namun, program besar ini tidak boleh terjebak dalam perebutan “kue” pembangunan, terutama antara KUD yang sudah ada dan Kopdes yang baru dirintis.
“Pemerintah jangan hanya menciptakan Kopdes sebagai program baru. KUD yang sudah ada dan berpengalaman harus dilibatkan agar pembangunan tidak menjadi ajang perebutan peran,” ujarnya.
Saling Bersinergi
Portasius menekankan pentingnya kolaborasi antara KUD dan Kopdes Merah Putih. KUD memiliki infrastruktur, pengalaman, dan jaringan yang sudah terbukti, sementara Kopdes membawa semangat baru dan kebijakan segar.
Jika keduanya bersinergi, mereka dapat memperkuat ekosistem koperasi desa.“Kami di KUD siap berkolaborasi, berbagi pengalaman, dan memastikan program Kopdes berjalan dengan sukses,” ujarnya.
Ia juga mendukung sepenuhnya transformasi desa menjadi pusat pertumbuhan ekonomi nasional, menggantikan dominasi urbanisasi yang selama ini terlalu sentralistik.
Dengan membangun koperasi yang transparan, akuntabel, dan partisipatif, Kopdes Merah Putih dapat menghapus trauma masa lalu dan menjadi ikon kebangkitan ekonomi desa. Namun, hal ini hanya mungkin jika kepercayaan dibangun melalui kinerja nyata, bukan sekadar janji.
Kopdes Merah Putih tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan programatik. Koperasi ini harus didasarkan pada pemahaman mendalam terhadap akar masalah koperasi di desa.
“Ini bukan sekadar soal branding baru, tetapi membangun fondasi baru. Jika fondasinya tetap rapuh, tidak ada branding yang dapat menyelamatkan koperasi dari kehancuran,” tegasnya.
Dengan mengadopsi indikator objektif seperti yang dijelaskan oleh INKUD serta memastikan kesinambungan antara dukungan pemerintah dan partisipasi aktif anggota, koperasi desa yang mandiri dan produktif bukan lagi sekadar mimpi.
Ke depan, menurut Portasius, penguatan koperasi harus menjadi isu strategis, bukan sekadar proyek anggaran. Koperasi Merah Putih harus menjadi solusi atas stagnasi koperasi lama, bukan duplikasi dengan nama baru.
Ia juga mengingatkan bahwa koperasi tidak cukup hanya dijalankan. Harapan pada koperasi desa tetap besar, tetapi tanpa keberanian untuk membaca sejarah secara jujur, masa depan hanya akan menjadi pengulangan masa lalu yang lebih mahal.
“Koperasi tidak bisa berdiri sendiri. Ia membutuhkan dukungan negara, anggota yang aktif, dan sistem yang berpihak,” tambahnya.