Selama lebih dari 15 tahun memimpin organisasi yang lahir dari krisis, Aip berhasil merekonstruksi bagaimana Gakoptindo terbentuk sebagai perlawanan kolektif terhadap sistem distribusi kedelai yang tidak adil, sekaligus menunjukkan keteguhan pengrajin kecil yang bertahan tanpa perlindungan negara.
Tahun 2008 menjadi momen penting kelahiran Gakoptindo (Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia), saat harga kedelai melonjak drastis. Para pengrajin tempe dan tahu di seluruh Indonesia melakukan aksi mogok nasional selama tiga hari.
“Waktu itu saya bukan bagian dari Kopti. Tapi saya dipilih karena dianggap mampu menyatukan,” ungkap Aip.
Resmi menjabat ketua sejak 2010, Gakoptindo kini telah menyelenggarakan tiga kali Rapat Anggota Tahunan (RAT) dan akan mengadakan yang keempat pada Juni mendatang.
Aip sendiri berencana mundur untuk memberi ruang bagi generasi muda yang lebih visioner. Masalah lain yang dihadapi adalah minimnya akses modal.
Tak Dilirik Bank
Menurut Aip, akses modal juga menjadi batu sandungan besar pengrajin tahu-tempe, skema Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dulu membantu kini terhenti akibat banyaknya kredit macet di tingkat daerah.
“Sekarang bank enggan memberikan pinjaman ke Kopti. Yang masih bertahan hanya karena utang ke agen importir,” jelasnya.
Skema ini sederhana namun penuh risiko, di mana agen importir memberikan kedelai kepada pengrajin, yang pembayarannya dilakukan setelah produk tempe atau tahu terjual dalam 3–4 hari. “Pengrajin kita seperti digantung, tanpa pegangan,” tambahnya.
Aip menyebut kebutuhan kedelai nasional mencapai 3 juta ton per tahun, namun 2,7 juta ton di antaranya masih berasal dari impor. Sisanya dipenuhi oleh produksi lokal yang tidak stabil.
Dalam nilai uang, transaksi ini setara dengan Rp 30 triliun per tahun, namun tidak pernah mendapatkan intervensi pemerintah seperti halnya beras, jagung, atau daging. Berdasarkan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, kedelai termasuk bahan pangan pokok strategis yang seharusnya dikuasai negara.
“Yang lain seperti beras, jagung, bawang, daging, semua ada kontrol negara. Tapi kedelai dibiarkan liar,” tambahnya.
Tak Jadi Prioritas
Aip Syaifudin juga mengungkapkan realitas getir yang dialami jutaan perajin tahu-tempe di Indonesia. Mereka terpinggirkan dari sistem permodalan dan hampir tidak tersentuh kebijakan negara.
Kebutuhan kedelai Indonesia sekitar 3 juta ton per tahun, tetapi 2,7 juta ton di antaranya masih impor dari Amerika, Kanada, atau Brasil. Sementara itu, kedelai lokal hanya sekitar 300 ribu ton dan itupun fluktuatif.
Nilai ekonominya sangat besar, tetapi meskipun pasar jelas dan konsumennya permanen, akses ke pembiayaan formal hampir tidak ada. Menurut Aip, dari 27 provinsi dan lebih dari 250 kabupaten/kota yang memiliki koperasi tempe-tahu (Kopti),
tidak ada satu pun yang saat ini mendapatkan dukungan Kredit Usaha Rakyat (KUR) secara menyeluruh dari bank.Dari tahun ke tahun, jumlah pengrajin tahu-tempe terus menurun drastis.
Database Kementerian Koperasi pada 2008 mencatat ada 244.000 pengrajin tempe-tahu, yang mempekerjakan 1,5 juta orang. Namun, data terbaru menunjukkan penurunan besar. “Sekarang hanya tersisa di 18 provinsi dengan sekitar 180.000 unit pengrajin,” katanya.
Gagalnya Impor Mandiri
Untuk menjaga harga kedelai tetap terjangkau bagi anggotanya, Aip pernah mengimpor langsung dari Amerika Serikat antara 2013–2016. Namun, hasilnya jauh dari harapan.
“Kami hanya mampu impor 3.000 ton lewat kontainer, sedangkan importir besar membawa kapal 50.000–60.000 ton. Modal kami kalah jauh,” katanya.
Ketika kedelai tiba dengan harga modal Rp5.500, importir besar menurunkan harga pasar dari Rp8.300 menjadi Rp5.000, bahkan Rp4.800. “Saya ikut turunkan harga, akhirnya stok saya busuk di kontainer,” keluh Aip.
Meski kedelai termasuk salah satu dari 11 bahan pangan pokok dalam UU No. 18 Tahun 2012, kedelai adalah satu-satunya komoditas pokok yang tidak dikuasai negara. “Beras, jagung, daging, minyak, semua diurus Bulog.
Tapi kedelai bebas, tidak dikendalikan. Padahal tempe dan tahu ini makanan pokok masyarakat,” kata Aip.
Janji Era Prabowo
Di era pemerintahan Prabowo Subianto yang menjanjikan reformasi ekonomi kerakyatan melalui pembentukan koperasi desa, harapan kembali muncul.
Namun, Kopti belum tersentuh. Aip menyebut pihaknya baru sampai tahap komunikasi dengan Menteri Perdagangan dan Menko Pangan Zulkifli Hasan. Belum ada langkah konkret untuk koperasi tahu-tempe secara nasional.
Ia menegaskan bahwa tempe dan tahu adalah penyelamat gizi masyarakat miskin. Dengan harga hanya 10% dari daging, tempe-tahu menjadi penopang gizi utama masyarakat berpenghasilan rendah.
“Saya percaya lebih dari 100 juta orang di Indonesia makan tempe-tahu. Tapi pengrajinnya tidak diperhatikan,” tegasnya.
Menurut Aip, kegagalan pasar diikuti dengan kegagalan sistem keuangan. Meski memiliki pasar tetap dan jumlah konsumen yang sangat besar, para pengrajin tempetahu justru tidak mendapat akses Kredit Usaha Rakyat (KUR).
Hancurnya Kopti
Salah satu masalah mendasar terletak pada sistem tata niaga impor kedelai. Di era Soeharto, hanya Bulog yang diizinkan mengimpor kedelai. Namun kini, sistem liberal memungkinkan importir swasta mendominasi pasar, menjual kedelai ke agen sebelum sampai ke pengrajin.
“Dulu Kopti bisa memiliki gudang yang luas. Sekarang banyak yang tutup,” ujarnya.
Masalah juga muncul dari mandeknya rencana swasembada kedelai akibat rendahnya produktivitas bibit lokal. Di Amerika atau Brazil, bibit kedelai hasil rekayasa genetik (GMO) mampu menghasilkan 4–5 ton per hektar, sementara di Indonesia bibit lokal hanya menghasilkan 1–1,5 ton per hektar.
“Petani kita enggan menanam kedelai lokal karena hasilnya tidak sebanding dengan padi atau jagung,” jelas Aip.
Pemerintah enggan mengizinkan penggunaan bibit GMO karena kekhawatiran kesehatan, meskipun, “Sudah lebih dari 30 tahun kita makan tempe dari kedelai GMO impor dan tidak pernah ada masalah,” tambahnya.
Kopti secara organisasi kini mengalami penurunan. Dari 27 provinsi, hanya 18 yang masih aktif. Jika kondisi ini dibiarkan, bukan hanya tempe-tahu yang terancam, tetapi juga wajah ekonomi kerakyatan.
Aip Syaifudin menyoroti berbagai persoalan mendasar yang menghimpit keberadaan Kopti dan jaringan koperasi pengrajin, seperti ketimpangan pendidikan, stagnasi undang-undang koperasi, serta kemunduran regenerasi kelembagaan.
Kemunduran Kelembagaan
Organisasi koperasi tahu tempe tingkat provinsi seperti Puskopti mulai kehilangan eksistensinya. Struktur yang dulu menjadi tulang punggung ekonomi rakyat kini perlahan runtuh.
“Ini menuju kehancuran secara perlahan tapi pasti. Saya sedih, karena jika ini dibiarkan, bukan hanya tempe-tahu yang hilang, tapi koperasi rakyat kita benar-benar akan tamat,” kata Aip.
Aip juga menyoroti stagnasi dalam perbaikan regulasi koperasi. Undang-undang yang ada tidak kunjung diperbarui, padahal semangatnya sudah usang. Padahal secara konstitusi,
Pasal 33 UUD 1945 menempatkan koperasi sebagai sistem ekonomi yang dijamin negara. Namun, tidak ada instrumen hukum progresif yang memperkuat koperasi sebagai entitas ekonomi.
“Kami masih berdiri karena semangat. Bukan karena sistem yang melindungi kami,” ujarnya.
Meski usia dan realitas di lapangan membuat banyak pemimpin menyerah, Aip tetap menyatakan komitmennya untuk bertahan dan memperjuangkan keberlangsungan Kopti. “Saya ini sudah tua, tapi saya tidak ingin mati sebelum koperasi bangkit,” katanya.