Serius ini? Rp25.000 sebutir?” tanyanya setengah berteriak. Pedagang hanya mengangguk pasrah. Sang ibu pun meletakkan kelapa itu kembali. Dulu, kelapa adalah pilihan murah meriah untuk memasak. Kini, ia mulai beralih ke santan instan.
Pemandangan semacam itu bukan kisah tunggal. Dalam beberapa bulan terakhir, lonjakan harga kelapa—baik di pasar tradisional maupun modern mengagetkan banyak pihak.
Dari harga normal sekitar Rp8.000–Rp10.000 per butir, kini di banyak tempat melonjak hingga Rp25.000, bahkan lebih. Tak hanya ibu-ibu rumah tangga, para pengusaha kuliner kecil dan menengah pun mulai mengeluhkan mahalnya bahan baku utama ini.
Apa yang sebenarnya terjadi dengan komoditas ini? Mengapa harga kelapa bisa melonjak drastis padahal Indonesia dikenal sebagai produsen kelapa terbesar di dunia? Siapa yang paling diuntungkan, dan siapa yang paling dirugikan? Di mana peran negara?
Tren Kenaikan
Dalam kurun waktu awal 2024 hingga pertengahan 2025, harga kelapa menunjukkan tren kenaikan yang cukup signifikan dan merata di berbagai wilayah Indonesia.
Fenomena ini tidak hanya menjadi perbincangan di kalangan ibu rumah tangga dan pelaku UMKM, tetapi juga menjadi perhatian di tingkat pemerintahan daerah dan nasional.
Kelangkaan pasokan di beberapa pasar, lonjakan permintaan industri, dan minimnya stok dari petani menjadi pemicu awal dari lonjakan harga tersebut. Menurut pemantauan dari berbagai daerah oleh Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), harga kelapa butir yang biasanya berkisar Rp8.000–Rp10.000 per butir pada akhir 2023.
Lonjakan Kenaikan Harga Kelapa di Lima Kota Besar :
(Kota/Provinsi), (Harga Kelapa Butir (Rp/butir), (Kenaikan (%)
Jakarta, 22.000 – 25.000, 120–150%
Surabaya 20.000 – 24.000, 110–130%
Medan 18.000 – 22.000, 90–120%
Makassar 20.000 – 23.000, 100–125%
Jayapura 25.000 – 28.000, 130–150%
Penyebab Kenaikan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kenaikan harga kelapa, antara lain jumlah produksi kelapa yang semakin menurun, permintaan ekspor produk
turunan kelapa yang semakin meningkat, dan struktur rantai distribusi yang semakin panjang.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa produksi kelapa Indonesia mengalami pasang surut. Berikut perbandingan data:
(Tahun), (Produksi Nasional(Ton), (Catatan)
2021 – 2.951.550 – Stabil
2022 – 2.978.123 – Sedikit naik
2023 – 2.922.237 – Turun 1,9%
2024* – 2.885.000 (estimasi) – Tren menurun
Penurunan produksi ini dipicu oleh beberapa faktor. Cuaca ekstrem dan perubahan iklim, yang mengganggu siklus panen kelapa. Usia pohon kelapa yang sudah tua di banyak sentra produksi (di atas 25 tahun).
Minimnya peremajaan pohon kelapa, karena keterbatasan program pemerintah maupun akses pembiayaan petani. Alih fungsi lahan di beberapa provinsi penghasil utama.
Kondisi ini diperparah oleh meningkatnya permintaan ekspor produk turunan kelapa. Indonesia adalah salah satu eksportir kelapa dan produk turunannya.
Kalau permintaan dari luar negeri meningkat (misalnya untuk bahan baku santan, minyak kelapa, atau briket arang), stok di pasar lokal bisa menipis dan harganya ikut naik.
Pada tahun 2023, ekspor kelapa setara kopra diperkirakan mencapai 2,12 juta ton, dengan proyeksi meningkat menjadi 2,25 juta ton pada tahun 2027. Sementara ketersediaan kelapa untuk konsumsi domestik sebesar 798 ribu ton pada tahun 2023, dengan tren penurunan rata-rata 3,80% per tahun hingga 2027.
Filipina dan Indonesia bersaing ketat dalam ekspor kelapa dan turunannya. Tahun 2023, ekspor minyak kelapa dan santan Indonesia naik sekitar 18% dibandingkan tahun sebelumnya, menurut data Trade Map ITC (International Trade Centre).
Lonjakan Permintaan
Beberapa produk turunan kelapa yang mengalami lonjakan permintaan global adalah: Virgin Coconut Oil (VCO), santan kelapa kemasan, kelapa parut kering (desiccated coconut), arang tempurung kelapa (coconut shell charcoal).
Permintaan tinggi dari negara-negara seperti AS, Belanda, Jepang, dan Korea Selatan membuat sebagian besar kelapa diserap oleh industri pengolahan dan ekspor, sehingga pasokan di pasar domestik menipis.
Permintaan kelapa dari Tiongkok juga meningkat tajam, terutama untuk diolah menjadi santan sebagai pengganti susu dalam minuman seperti kopi. Data
menunjukkan bahwa sepanjang Januari–Februari 2025, Indonesia mengekspor 71.077 ton kelapa bulat, dengan 68.065 ton di antaranya dikirim ke Tiongkok .
Hal ini menyebabkan pasokan kelapa di dalam negeri menipis, mendorong harga naik. Struktur rantai distribusi kelapa dari petani hingga konsumen akhir memperpanjang jalur dan meningkatkan harga secara bertahap.
Banyak petani tidak menjual langsung ke pasar, melainkan melalui: Pengepul – Tengkulak – Distributor – Pasar / Pedagang – Konsumen
Akibatnya, harga kelapa di tingkat petani tetap rendah (Rp3.000–Rp5.000 per butir), sementara di pasar bisa mencapai lima kali lipatnya. Minimnya
koperasi petani atau sistem distribusi langsung memperburuk ketimpangan harga tersebut.
Penghasil Terbesar
Indonesia selama ini dikenal sebagai negara penghasil kelapa terbesar di dunia. Namun ironi mencuat ketika negara dengan produksi kelapa tertinggi justru mengalami kelangkaan pasokan dan lonjakan harga di pasar domestik.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: benarkah kita adalah “raja kelapa dunia”, ataukah hanya menjadi tukang panen bagi pasar global? Menurut data dari Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2023, lima besar negara produsen kelapa dunia adalah sebagai berikut:
(Negara) – (Produksi (Ton/Tahun)
Indonesia – 17,1 juta
Filipina – 14,7 juta
India – 13,2 juta
Sri Lanka – 2,4 juta
Vietnam – 1,7 juta
Dengan lahan kelapa sekitar 3,4 juta hektare, Indonesia menyumbang lebih dari 30% produksi kelapa global. Data yang ditampilkan FAO itu memperlihatkan bahwa Indonesia adalah negara penghasil terbesar kelapa di dunia dengan hasil produksi 17,1 juta ton per tahun.
Data ini dihitung dengan cara mengukur seluruh hasil buah kelapa (baik untuk konsumsi maupun industri), sementara data dari Kementerian Pertanian RI menunjukkan bahwa hanya sekitar 2,9 juta ton yang masuk kategori produksi kering (siap konsumsi atau olah).
Perbedaan data ini menunjukkan belum optimalnya data domestik dan potensi kelapa Indonesia masih banyak yang belum terolah secara maksimal. Data dari Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian menunjukkan 10 provinsi sentra penghasil kelapa terbesar di Indonesia adalah sebagai berikut:
10 Provinsi Penghasil Kelapa
(Provinsi) – (Produksi (Ton, 2023)
Sulawesi Utara – 340.000
Jawa Tengah – 312.000
Lampung – 298.000
Sumatera Utara – 290.000
Maluku Utara – 278.000
Kalimantan Barat – 243.000
Riau – 235.000
Sulawesi Tenggara – 210.000
Papua Barat – 190.000
Nusa Tenggara Timur – 175.000
Meski tersebar luas, sebagian besar petani kelapa merupakan petani kecil dengan kepemilikan lahan di bawah 1 hektare, tanpa dukungan modal dan teknologi pengolahan.
Pemanfaatan kelapa di Indonesia sebagian besar masih dalam bentuk tradisional Untuk antan segar untuk rumah tangga dan industri kuliner; minyak kelapa tradisional (minyak kampung); bahan baku kerajinan dan arang tempurung; serta kelapa muda untuk minuman.
Belum banyak pengembangan industri hilir berbasis teknologi tinggi seperti VCO (Virgin Coconut Oil); minyak kelapa murni untuk kosmetik, serta produk farmasi dan nutrisi berbasis kelapa.***
Kasus Kenaikan Harga Kelapa Lemahnya Peran Pemerintah
Meski harga melonjak dan produksi turun, intervensi pemerintah relatif minim. Beberapa catatan kritis, belum ada data kebutuhan nasional kelapa yang akurat.
Tidak diketahui pasti berapa kebutuhan kelapa nasional untuk konsumsi rumah tangga, industri, dan ekspor. Ini menyulitkan perumusan kebijakan pasokan.
Program peremajaan pohon kelapa mandek.Menurut data Ditjenbun, lebih dari 48% pohon kelapa di Indonesia berusia di atas 25 tahun, sementara peremajaan
hanya menyentuh 10% dari kebutuhan tahunan.
Kebijakan ekspor tidak berbasis kuota domestik.Tidak ada regulasi ketat yang membatasi ekspor ketika harga domestik melonjak, berbeda dengan minyak goreng sawit yang sempat diatur dengan DMO (Domestic Market Obligation). Distribusi tidak terkonsolidasi.
Kurangnya BUMDes atau koperasi petani kelapa yang memotong rantai tengkulak menyebabkan harga tidak terkendali.Lonjakan harga tidak serta-merta menguntungkan petani. Rantai pasok yang panjang dan minimnya akses langsung ke pasar membuat margin keuntungan dinikmati di tengah jalur, bukan oleh petani di hulu atau konsumen di hilir.
“Harga di pasar naik, tapi kami tetap jual ke pengepul Rp 3.500 per butir. Kami tidak tahu ke mana harus jual sendiri,” ujar Rahmat, petani kelapa di Bolaang
Mongondow, Sulut yang sudah menanam kelapa sejak 1995.
Pemecahan Masalah
Diperlukan solusi bagi ketahanan komoditas kelapa, jangan sampai nasib kelapa seperti beras dan minyak goreng. Indonesia pernah mengalami kegaduhan pangan akibat minyak goreng dan beras yang langka dan mahal.
Belajar dari krisis tersebut, kelapa sebagai komoditas strategis rakyat perlu dikelola secara lebih serius dan sistematis. Jangan sampai kelapa, yang selama ini dianggap “murah meriah dan tersedia di mana-mana”, menjadi simbol baru dari rapuhnya ketahanan pangan dan kebun rakyat kita.
Langkah pertama adalah memperbaiki basis data nasional terkait yang meliputi produksi aktual per provinsi; kebutuhan domestik (rumah tangga, industri,
ekspor); jumlah pohon dan usia produktif, serta rantai distribusi dan harga di setiap level.
Tanpa data akurat, mustahil membuat kebijakan yang presisi. Pemerintah bisa mencontoh sistem e-SKP (Sistem Komoditas Pangan) yang kini dikembangkan untuk beras dan jagung, lalu diperluas ke kelapa.
Langkah kedua, peremajaan dan diversifikasi tanaman. Lebih dari 48% pohon kelapa di Indonesia telah memasuki usia tua dan tak produktif lagi.
Solusinya program replanting massal berbasis koperasi atau BUMDes; skema insentif petani yang mau mengganti tanaman tua dengan varietas unggul; pengembangan kelapa genjah (varietas cepat panen, produktif dalam 3–4 tahun); serta pola tumpangsari kelapa dengan tanaman lain (kopi, kakao, vanili) agar lahan lebih produktif.
Komposisi usia pohon kelapa nasional adalah sebagai berikut: Usia <10 tahun: 25%, usia 10–25 tahun: 27%, usia >25 tahun: 48%. (sumber: Ditjenbun 2023)
Langkah ketiga adalah: industrialisasi produk turunan. Nilai tambah terbesar dari kelapa bukan pada buahnya, melainkan produk olahannya.
Untuk itu, pemerintah dan swasta perlu mendorong adanya pusat pengolahan kelapa skala desa (pengeringan, pengepakan santan, minyak kelapa, VCOVirgin Coconut Oil).elatihan petani menjadi produsen mikro (BMT/ UMKM berbasis kelapa).
Harus ada Investasi di sektor VCO, santan UHT, kelapa parut kemasan, dan briket tempurung kelapa. UHT (Ultra High Temperature – suhu sangat tinggi) adalah metode sterilisasi pangan, khususnya produk cair seperti santan dan susu , dengaan cara memanaskan hingga suhu sangat tinggi (sekitar 135-150 derajat C) dalam waktu singkat (2-5 detik), lalu langsung didinginkan dan dikemas dalam wadah steril.
Kabupaten Indragiri Hilir, Riau, sukses mengembangkan koperasi kelapa dan VCO yang mampu menembus pasar ekspor Asia Timur dan Eropa. Langkah kempat adalah pemotongan rantai distribusi. Harga melambung karena rantai distribusi terlalu panjang.
Solusinya koperasi petani kelapa sebagai agregator dan penjual langsung ke pasar industri atau konsumen kota; BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) yang bisa menyerap kelapa langsung dari petani dan menjualnya dalam bentuk produk siap pakai serta Pasar online berbasis desa untuk produk kelapa segar dan olahan.
Misalnya di Kabupaten Banyuwangi, dengan program Petani Milenial yang menghubungkan petani langsung ke konsumen melalui marketplace lokal yang dimotori pemda.
Langkah kelima, seperti halnya minyak goreng dan beras, kelapa juga butuh regulasi berbasis ketahanan nasional. Diperlukan DMO (Domestic Market Obligation) untuk industri kelapa dan ekspor.
Misalnya, 30% dari hasil harus dijual untuk pasar dalam negeri saat harga melonjak. Harus ada Pembentukan cadangan kelapa nasional di bawah Bulog atau
BUMN pangan, untuk stabilisasi harga dan stok saat panen gagal atau permintaan ekspor meningkat tajam.
Juga moratorium ekspor temporer, apabila terjadi anomali harga ekstrem di pasar rakyat. Perlu belajar dari Filipina dan India. Filipina memiliki Philippine Coconut Authority (PCA), lembaga khusus negara yang mengatur seluruh rantai nilai kelapa dari produksi, harga, distribusi hingga ekspor.
India membentuk Coconut Development Board, mengatur produksi kelapa genjah dan mengembangkan pasar kelapa murni domestik yang besar.
Rekomendasi Strategis
Rekomendasi yang bisa diajukan antara lain usun peta jalan ketahanan kelapa nasional.; integrasikan data, produksi, distribusi, dan kebutuhan ke dalam satu platform nasional; fokus pada desa sebagai sentra produksi dan pengolahan; kelapa harus dikelola di sumbernya, bukan sekadar dijual mentah; batasi ekspor saat harga melonjak.
Kemudianp rioritaskan rakyat dalam negeri sebagai konsumen utama kelapa.; orong industrialisasi berbasis UMKM dan koperasi; dan kelapa harus jadi produk bernilai tinggi, bukan hanya bahan baku ekspor murah.
Komoditas Rakyat
Kenaikan harga kelapa dari Rp 10.000 menjadi Rp 25.000 per butir bukan sekadar kabar mengejutkan dari pasar tradisional, melainkan pertanda gentingnya ketahanan komoditas rakyat yang selama ini luput dari perhatian kebijakan nasional.
Kelapa bukan hanya buah tropis biasa. Ia adalah penghidupan bagi jutaan petani, bahan baku industri pangan, penyambung ekonomi keluarga miskin, dan simbol budaya agraris yang telah hidup ratusan tahun di Nusantara.
Ketika kelapa menjadi mahal dan langka di pasar rakyat, yang terdampak pertama adalah warung nasi pinggir jalan, pedagang kue basah, penjual dawet, ibu rumah tangga yang menggantungkan rasa masakan pada santan kelapa.
Pada skala lebih besar, kelangkaan ini dapat mengganggu industri makanan, farmasi, kosmetik, bahkan energi (briket tempurung kelapa). Artinya, kelapa adalah simpul strategis antara rakyat kecil dan industri nasional.
Pemerintah harus mengambil posisi tegas: memperlakukan kelapa sebagai komoditas strategis nasional yang harus dijaga dari spekulasi, ketidakefisienan distribusi, serta ketergantungan ekspor.
Ini bisa dimulai dari hal mendasar: data yang rapi, insentif produksi yang merata, investasi hilirisasi di desa, hingga perlindungan harga bagi petani dan konsumen.
Jika negara gagal mengurus kelapa—yang selama ini tumbuh tanpa banyak bantuan negara— maka kita perlu cemas. Karena bisa jadi, komoditas-komoditas rakyat lain seperti singkong, pisang, hingga ikan asin, akan menyusul mengalami nasib serupa: mahal karena salah urus.
Dan bila itu terjadi, maka kita bukan hanya menghadapi krisis harga, tapi krisis identitas pangan dan budaya rakyat itu sendiri.***