Janoe Arijanto - Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I)

Janoe Arijanto (Bagian 2) – Batas Media dan Agensi Iklan Menjadi Semakin Kabur

Share

Perubahan besar terjadi dalam struktur industri periklanan. Jika sebelumnya biro iklan di Indonesia masih memiliki pangsa pasar yang cukup stabil, kini persaingan semakin terbuka. Janoe menjelaskan bahwa total belanja iklan memang terus meningkat, tetapi alokasi pendapatan kini terbagi antara platform digital global dan biro iklan konvensional.

Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah Indonesia membuka keran investasi bagi perusahaan asing di sektor periklanan. Jika sebelumnya ada pembatasan kepemilikan asing, kini investasi dari luar negeri semakin masuk. Beberapa negara seperti Korea Selatan bahkan sempat bernegosiasi untuk mengambil saham hingga 67 persen dalam industri periklanan nasional. Hal ini menandakan bahwa sektor ini telah menjadi semakin liberal, memungkinkan pemain global untuk semakin menguasai pasar Indonesia.

Perkembangan ini juga memunculkan pertanyaan mendasar tentang definisi perusahaan periklanan itu sendiri. Dengan semakin kuatnya dominasi Google, Meta, dan TikTok dalam dunia periklanan digital, batas antara media dan agensi iklan menjadi semakin kabur.

“Raksasa teknologi ini tidak hanya berfungsi sebagai penyedia platform, tetapi juga memiliki algoritma, konten, dan strategi pemasaran yang memungkinkan mereka langsung menjangkau audiens tanpa perlu perantara biro iklan tradisional,” katanya.

Dengan liberalisasi yang semakin luas, industri periklanan Indonesia kini berada dalam titik kritis. Pemain lokal harus bersaing dengan perusahaan multinasional yang memiliki sumber daya dan teknologi lebih unggul. Di sisi lain, media nasional menghadapi dilema besar, apakah mereka bisa beradaptasi dengan ekosistem digital, atau justru semakin tersisih akibat dominasi platform global.

Tren ini menunjukkan bahwa industri periklanan tidak hanya berkembang dalam hal nilai bisnis, tetapi juga mengalami transformasi struktural yang mengubah cara perusahaan, media, dan biro iklan beroperasi.

Tantangan Industri

Periklanan

Dalam era digital yang semakin mendominasi, bukan hanya media cetak dan radio yang menghadapi tantangan besar, tetapi juga industri periklanan. Biro-biro iklan yang dahulu menjadi kekuatan utama dalam industri kreatif kini harus menyesuaikan diri dengan lanskap yang terus berubah.

Menurutnya, perubahan ini berdampak langsung pada bisnis agensi iklan. Meski demikian, biro iklan masih memiliki peran yang tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh platform digital, terutama dalam aspek kreativitas, perancangan strategi, dan perencanaan kampanye. Namun, dalam hal penguasaan audiens dan distribusi iklan, dominasi tetap berada di tangan platform besar seperti Google, Meta, dan TikTok.

Alih-alih bersaing secara langsung, agensi periklanan kini justru beradaptasi dengan memanfaatkan kekuatan platform digital tersebut. Mereka tidak hanya menempatkan iklan di dalam ekosistem Google dan Meta, tetapi juga menciptakan konten yang dirancang khusus untuk platform tersebut. Dengan demikian, mereka tetap mendapatkan bagian dari kue iklan digital meskipun harus bertransaksi dengan perusahaan-perusahaan teknologi global.

Jika di masa lalu Indonesia memiliki biro iklan independen yang sangat berpengaruh, kini dominasi industri telah beralih ke kelompok-kelompok besar yang terstruktur secara global. Menurut Janoe, saat ini industri periklanan dikuasai oleh grup-grup besar seperti WPP, Dentsu, dan IPG. Di tingkat lokal, masih ada pemain seperti FCN, tetapi kecenderungannya adalah bahwa agensi-agensi besar ini sudah mendapatkan investasi dari perusahaan asing.

Salah satu faktor utama yang memperkuat dominasi perusahaan periklanan multinasional adalah kebutuhan modal yang besar dalam industri ini. Dengan meningkatnya biaya investasi di media dan platform digital, perusahaan-perusahaan yang memiliki akses ke sumber daya finansial yang kuat semakin menguasai pasar. Akibatnya, biro iklan lokal yang tidak memiliki modal besar sulit bersaing di ranah ini.

“Karena media atau channel bisnisnya naik, otomatis ini menjadi urusan modal. Akhirnya yang memiliki modal besar adalah perusahaan asing, dan mereka yang lebih mampu berinvestasi di media,” jelasnya.

Keunggulan perusahaan multinasional ini juga terletak pada kemampuannya untuk menjalin hubungan erat dengan raksasa teknologi seperti Google dan Meta. Dengan jaringan global yang mereka miliki, perusahaan-perusahaan ini dapat melakukan transaksi iklan dalam skala besar, memastikan bahwa mereka tetap relevan dan mampu bersaing di pasar yang semakin kompetitif.

Meski industri periklanan menghadapi tantangan berat, Janoe tetap optimis bahwa peran agensi periklanan masih sangat dibutuhkan. Transformasi digital telah mengubah cara kerja industri ini, tetapi bukan berarti menghilangkan peran kreativitas dan strategi. Agensi iklan yang mampu beradaptasi dengan ekosistem digital akan tetap relevan dan memiliki peluang besar untuk berkembang.

Kebijakan Longgar

Dalam lanskap bisnis global yang semakin kompetitif, industri periklanan Indonesia menghadapi tantangan besar. Meskipun Indonesia telah membuka pintu lebar-lebar bagi investasi asing di sektor periklanan, tidak semua negara menerapkan kebijakan yang sama. Negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Jepang, dan Amerika Serikat memiliki kebijakan proteksionis yang ketat terhadap industri periklanan mereka.

Sebaliknya, Indonesia justru cenderung longgar dalam melindungi industri periklanan nasional. Dengan kebijakan investasi yang terbuka luas, perusahaan multinasional kini semakin mendominasi industri ini, menguasai pangsa pasar yang semakin besar. Akibatnya, perusahaan periklanan lokal kesulitan untuk bersaing dalam skala yang lebih luas.

Janoe menyoroti bagaimana kebijakan investasi Indonesia yang terlalu terbuka justru berisiko melemahkan daya saing perusahaan periklanan nasional. Meskipun pekerja di industri ini masih memiliki peluang dan pendapatan yang stabil, dalam skala yang lebih besar, perusahaan multinasional semakin kuat menguasai bisnis periklanan di Indonesia.

Fenomena ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam perlindungan industri nasional. Jika negara-negara lain memiliki regulasi ketat untuk menjaga keberlangsungan bisnis lokal mereka, Indonesia justru membiarkan perusahaan asing masuk dengan mudah dan menguasai pangsa pasar.

“Semakin kuatnya dominasi perusahaan multinasional, industri periklanan nasional berada dalam persimpangan jalan. Maka Indonesia akan tetap mempertahankan kebijakan terbuka ini, atau malah justru mulai menerapkan kebijakan protektif seperti yang dilakukan negara-negara lain,” katanya.

Janoe menegaskan bahwa proteksi terhadap industri lokal bukan berarti menutup diri dari investasi asing, tetapi lebih kepada memastikan bahwa perusahaan periklanan nasional memiliki peluang yang sama untuk berkembang. Jika tidak ada kebijakan yang mendukung perusahaan lokal, bukan tidak mungkin industri periklanan Indonesia akan semakin dikuasai oleh pemain global, sementara perusahaan-perusahaan nasional hanya menjadi pelengkap dalam ekosistem yang mereka ciptakan.

Ke depan, tantangan bagi pemerintah adalah menemukan keseimbangan antara keterbukaan investasi dan perlindungan industri nasional. Jika tidak, bukan hanya bisnis periklanan yang akan terdampak, tetapi juga sektor ekonomi kreatif secara keseluruhan.

Membangun Kedaulatan Digital

Di tengah dominasi platform digital global, industri periklanan Indonesia menghadapi tantangan besar untuk tetap relevan dan memiliki kedaulatan dalam ekosistem digital.

P3I menyadari bahwa perubahan besar dalam industri ini membutuhkan strategi yang lebih konkret, termasuk dalam meredefinisi periklanan dan membangun kedaulatan digital nasional.

Menurut Janoe, salah satu tantangan terbesar saat ini adalah ketidakjelasan definisi periklanan di era digital. Banyak individu atau bisnis yang sebenarnya bergerak dalam bidang periklanan seperti influencer atau pemilik akun media sosial yang bekerja sama dengan brand besar tetapi tidak mengakui diri mereka sebagai bagian dari industri periklanan. Akibatnya, mereka tidak terikat oleh etika dan regulasi yang berlaku di sektor ini.

“Bisnis-bisnis ini, baik yang kecil maupun besar, secara praktik adalah periklanan, tetapi karena tidak diakui sebagai entitas periklanan, mereka berada di luar regulasi dan etika industri,” ujarnya.

P3I menekankan pentingnya redefinisi industri periklanan agar dapat mencakup berbagai entitas yang selama ini belum tersentuh oleh regulasi formal. Selain persoalan redefinisi industri, P3I juga menyoroti pentingnya kedaulatan digital.

Platform Nasional

Janoe menegaskan bahwa Indonesia tidak akan pernah memiliki kedaulatan penuh dalam dunia digital jika tidak memiliki platform nasional yang kuat. Saat ini, hampir seluruh ekosistem digital dari layanan email, data, peta, hingga distribusi konten, dikendalikan oleh platform global seperti Google, Meta, dan TikTok.

Upaya untuk mengimbangi dominasi ini sebenarnya pernah dicoba oleh Telkom melalui kerja sama dengan berbagai media nasional untuk membangun sistem data audiens yang lebih mandiri. Namun, inisiatif tersebut belum membuahkan hasil yang signifikan. Jika dapat mengimbangi platform digital dengan membangun kerja sama yang lebih luas dengan media nasional, itu akan menjadi langkah besar. Paling tidak, mempunyai alternatif untuk lebih mandiri.

Sebagai perbandingan, China telah berhasil membangun ekosistem digitalnya sendiri dengan platform seperti WeChat, Baidu, dan Alibaba yang berfungsi sebagai alternatif dari Google dan Meta. Namun, upaya tersebut membutuhkan waktu puluhan tahun dan dukungan penuh dari pemerintah.

Janoe mengakui bahwa membangun kedaulatan digital bukanlah tugas yang mudah. Mengingat Indonesia sudah sangat bergantung pada platform global, menciptakan alternatif yang kompetitif membutuhkan waktu panjang dan investasi besar.

“Bayangkan, dari mulai email, data, peta, hingga distribusi berita, semuanya sudah ada dalam ekosistem mereka. Untuk mengimbangi saja, kita membutuhkan waktu yang panjang dan usaha yang sangat besar,” ungkapnya.

Namun, jika tidak ada upaya untuk menciptakan solusi alternatif, maka industri periklanan dan media nasional akan semakin tergantung pada algoritma, tren, dan kebijakan yang ditentukan oleh perusahaan asing. Bahkan, agenda setting apa yang dikonsumsi dan dipahami oleh public akan semakin ditentukan oleh platform global, bukan oleh pelaku media lokal.

Di tengah tantangan ini, P3I berupaya menjadi bagian dari solusi dengan mendorong inisiatif yang lebih mandiri dalam industri periklanan dan media. Meski menyadari bahwa menyaingi raksasa digital global bukanlah hal yang mudah, setidaknya ada peluang bagi Indonesia untuk menciptakan solusi alternatif yang lebih berpihak pada kepentingan nasional.

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait

Scroll to Top