NTB adalah setiap tindakan yang dilakukan oleh suatu negara untuk menghalangi impor atau ekspor barang atau jasa, yang bukan berupa tarif atau bea
cukai.
NTB bertujuan untuk melindungi industri domestik atau mencapai tujuan ekonomi lainnya tanpa menggunakan tarif. NTB merupakan kebijakan yang langsung maupun tidak langsung,
misalnya yang disorot adalah penggunaan sistem pembayaran QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) merupakan standar kode QR Nasional untuk memfasilitasi pembayaran kode di Indonesia yang diluncurkan oleh Bank Indonesia dan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) pada 17 Agustus 2019.
Juga yang dipersoalkan misalnya Gerbang Pembayaran Nasional (GPN). Sebuah sistem jaringan antarbank di Indonesia yang diinisiasi oleh Bank Indonesia.
GPN merupakan sistem yang terdiri atas standar, switching, dan services yang dibangun melalui seperangkat aturan dan mekanisme (arrangement) untuk mengintegrasikan berbagai instrumen dan kanal pembayaran secara nasional.
TKDN atau Tingkat Komponen Dalam Negeri, juga menjadi perbicangan dalam negosiasi tersebut. TKDN merupakan persentase penggunaan produk lokal dalam suatu barang atau jasa.
TKDN merupakan standar yang digunakan dalam proses pengadaan barang dan jasa, baik oleh pemerintah maupun sektor swasta. Ada lagi permintaan agar praktek Bisnis to Bisnis diutamakan, karena Indonesia sering menggunakan Bulog satu-satunya yang diberi otoritas untuk impor di bidang pangan.
Memang agak aneh, bagaimana negara lain, dalam hal ini Amerika mencampuri terlalu jauh kebijakan dalam negeri Indonesia. Melindungi industri dan pasar dalam negeri adalah hal yang penting, tetapi memperhatikan kepentingan mitra dagang, jangan hal yang tak kalah penting.
Indonesia harus pandai-pandai menghitung juga secara bisnis. Asal masih menguntungkan, berbagai permintaan layak dipertimbangkan, tanpa harus mengorbankan kepentingan nasional kita sendiri.
Biaya Tinggi Lain
Indonesia tidak hanya membutuhkan pasar untuk impor, tetapi juga investasi untuk menggerakaan perekonomian dalam negeri, termasuk dari AS. Barbagai saran dan keluhan dari investor asing, tidak hanya berait dengan kebijakan negara, namun lebih banyak pada praktek bisnis di lapangan.
Ini berkaitan dengan ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang menunjukkan besarnya tambahan investasi (kapital) yang dibutuhkan untuk meningkatkan satu unit output dalam perekonomian.
Dengan kata lain, ICOR mengukur seberapa efisien suatu negara atau wilayah dalam memanfaatkan investasi untuk menghasilkan output. Dalam strategi untuk meningkatan daya tarik investor, memang ada beberap hal yang layak di perhatikan.
Sebagian sudah sering diwacanakan seperti isu perizinan, banyaknya pungutan liar, premanisme, smapai masalah peradilan yang berbiaya tinggi. Masalah perizinan dalam kegiatan usaha sebenarnya bisa dikendalikan melalaui sistem dan regulasi yang ketat.
Namun di lapangan para pelaksana, bisa saja memanfaatka dengan ungkapan “kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah”. Pengutuan liar (pungli) terjadi di mana saja, di kantor maupun di jalan, di pasar, dan sebagainya.
Bukan hanya oleh aparat pemerintah, namun juga kalangan masyarakat sendiri. Terakhir yang banyak muncul adalah wacana premanisme, yang sampai menganggu industri.
Preman tidak hanya meminta “uang keamanan” di pasar, warung-waring, atau pengemudi truk di jalan, namun juga sampai mendatangi pabrikpabrik, dengan meminta “Tunjangan Hari Raya”.
Sampai Dunia Peradilan
Ternyata praktek ekonomi biaya tinggi, juga membayangi kalau ada sengketa bisnis yang sampai menjadi sengketa hukum di peradilan. Praktek mafia peradilan, yang membutuhkan tambahan biaya untuk menyuap para penegak hukum, menjadi tambahan beban tersendiri.
Belum lagi kalau membutuhkan waktu panjang, terkatung-katung, tanpa ada kepastian hukum. Sementara bisnis tetap harus berlangsung. Penyelesaian perkara perdata dan bisnis,
memang bisa melalui lembaga perdamaian, dengan pendekatan win-win solution, yang bisa menghamat waktu. Namun rupanya hal ini juga belum menjadi praktek hukum yang bisa diahalalkan.
Guru Besar Fakultas Hukum UNS, Prof. Adi Sulistiyono yang sering menjadi mediator di pengadilan, menyebut tingkat keberhasilan secama umum di Indonesia, di bawah 10 persen.
Artinya masih banyak kendala, yang menyebab ICOR Indonesia rendah, dibandingkan dnegan beberapa negara lain, termasuk di Asia Tenggara. Ini menyebabkan Indonesia menjadi pilihan terakhir sebagai negara tujuan investasi.
Banyak pekerjaan rumah harus diselesaikan pemerintah dan masyarakat bisnis sendiri. Lingkungan juga harus banyak membantu. Hanya dengan perekonomian yang kondusif, bisnis tumbuh, dan pendapatan serta kesejahteraan bisa ditingkatkan. Tidak hanya soal tarif, yang membutuhkan perhatian dan penanganan.
***