Sektor-sektor padat karya yang dulu menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja kini terlihat goyah. Sementara itu, sektor digital yang sebelumnya menjanjikan stabilitas juga tidak lepas dari badai efisiensi.
Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan RI, hingga akhir Juni 2025 tercatat 42.385 orang terkena PHK, meningkat sekitar 32 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Hal ini mencerminkan tekanan serius pada industri nasional, terutama di sektor padat karya seperti tekstil, alas kaki, dan manufaktur elektronik ringan.
Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) memperkirakan jumlah pekerja yang terdampak PHK bisa mencapai sekitar 150.000 orang, termasuk data tidak resmi dari perusahaan kecil-menengah, sektor informal, dan start-up yang tidak selalu melaporkan kasus PHK.
Secara geografis, Jawa Tengah mencatat PHK terbanyak dengan 10.995 kasus, diikuti oleh DKI Jakarta, Kepulauan Riau, dan Jawa Barat. Tingginya angka di Jawa Tengah berkaitan dengan konsentrasi industri tekstil dan garmen, yang sejak awal tahun merampingkan tenaga kerja akibat penurunan permintaan ekspor dan naiknya biaya operasional.
Industri Terdampak
PHK yang terjadi sepanjang paruh pertama 2025 terkonsentrasi pada sektor industri tertentu yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Data Kemenaker menunjukkan lebih dari 22.000 pekerja sektor manufaktur kehilangan pekerjaan.
PHK ini disebabkan oleh penurunan pesanan, perpindahan investasi, efisiensi berbasis otomatisasi, dan lemahnya permintaan luar negeri. Pabrik-pabrik di kawasan industri besar seperti Cikarang, Karawang, dan Semarang menghadapi pengurangan operasional atau bahkan penutupan total.
Sektor ritel dan pertambangan juga mengalami tekanan. Di bidang ritel, peralihan besar-besaran ke platform digital dan e-commerce mempercepat penurunan toko fisik, menyebabkan banyak pekerja kasir, staf gudang, hingga manajer toko kehilangan pekerjaan.
Sementara itu, sektor pertambangan menghadapi tekanan dari fluktuasi harga komoditas global, terutama pada komoditas strategis seperti nikel.
Industri nikel dan baterai kendaraan listrik (EV battery), yang sebelumnya menjadi primadona investasi di kawasan Morowali, kini mengalami gejolak. Penurunan tajam harga nikel global membuat beberapa pabrik smelter melakukan penyesuaian produksi.
Industri furnitur ekspor, yang banyak berpusat di Jepara dan sekitarnya, juga terkena dampak PHK besar-besaran. Daya saing mereka terganggu oleh lonjakan tarif masuk dari Amerika Serikat dan mahalnya bahan baku impor seperti lem kayu dan bahan pelapis.
Sektor tekstil dan garmen menjadi salah satu yang paling mengkhawatirkan. Federasi buruh seperti KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) dan KSPN (Konfederasi Serikat Pekerja Nasional) memperingatkan ancaman PHK massal jika pemerintah tidak segera memberikan insentif dan perlindungan kepada industri ini.
Peta PHK lintas sektor ini menunjukkan bahwa bukan hanya buruh kasar yang terdampak, tetapi juga pekerja terampil, teknisi, hingga tenaga menengah yang sebelumnya dianggap relatif aman.
Penyebab Lonjakan
Penyebab terjadinya lonjakan PHK ini disebabkan oleh penurunan permintaan global dan domestik. Sektor ekspor seperti furnitur, tekstil, dan komponen elektronik mengalami penurunan pesanan yang signifikan akibat melemahnya daya beli di negara-negara mitra dagang utama.
Di sisi lain, konsumsi domestik pun tidak cukup kuat untuk menopang daya tahan sektor industri, terutama manufaktur dan ritel.
Kedua dampak efisiensi dan digitalisasi. Transformasi digital yang dipercepat sejak pandemi ternyata juga menjadi faktor pemicu PHK. Sejumlah perusahaan melakukan efisiensi operasional dengan menggantikan tenaga kerja manual menggunakan otomatisasi atau sistem digital.
Sektor ritel menjadi contoh nyata: kehadiran e-commerce dan teknologi checkout mandiri membuat banyak toko fisik mengurangi jumlah pegawai. Sektor keuangan dan logistik juga mengikuti tren serupa dengan mendorong efisiensi berbasis teknologi, yang berdampak pada perampingan tenaga kerja.
Ketiga, regulasi pemerintah yang bertujuan menata ulang sistem perdagangan dan investasi justru memberikan dampak tidak langsung terhadap iklim usaha.
Permendag No. 8 Tahun 2024 yang mengatur tata niaga impor bahan baku industri secara lebih ketat dinilai menambah beban administrasi dan memperlambat rantai pasok produksi. PP No. 28 Tahun 2024 tentang Perubahan Tarif PPN juga memperberat beban biaya bagi pelaku usaha manufaktur dan perdagangan.
Suku bunga acuan yang tinggi sebagai respons terhadap tekanan inflasi dan nilai tukar turut mempersulit akses pembiayaan bagi UMKM maupun korporasi.
Keempat, gelombang impor murah dari Tiongkok. Masuknya produk-produk murah seperti tekstil, furnitur, hingga komponen elektronik menjadi tantangan besar bagi industri lokal. Banyak pelaku usaha mengeluhkan bahwa barang impor tidak hanya lebih murah tetapi juga lebih mudah masuk akibat lemahnya pengawasan.
Kelima, tarif tinggi dari negara mitra dagang. Langkah proteksionis dari negara mitra dagang juga berkontribusi terhadap PHK. Amerika Serikat, misalnya, memberlakukan tarif tinggi terhadap ekspor furnitur dari Indonesia sebagai bagian dari kebijakan perdagangan baru mereka.
Keluhan Banyak Pihak
Federasi serikat pekerja merupakan kelompok yang paling vokal dalam menyuarakan keresahan para pekerja. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, memperingatkan potensi tsunami PHK di industri tekstil. KSPI mencatat ancaman terhadap lebih dari 120.000 tenaga kerja di sektor ini.
Bahkan, Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) memperkirakan hingga tiga juta pekerja di sektor padat karya terancam kehilangan pekerjaan jika tidak ada langkah strategis dari pemerintah.
Kemnaker merespons dengan membentuk Satuan Tugas Nasional Penanganan PHK yang bertugas memantau dinamika ketenagakerjaan, menengahi konflik perburuhan, dan memberikan pelatihan vokasi bagi pekerja terdampak.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) fokus pada industri padat karya dan sektor yang bergantung pada bahan baku impor. Sementara itu, Kementerian Sosial (Kemensos) mengaktifkan skema perlindungan seperti Bantuan Sosial Tunai (BST) dan program pelatihan kerja terpadu untuk pekerja korban PHK,
terutama di sentra industri seperti Karawang, Semarang, dan Batam. Proyeksi resmi dari Kemnaker menunjukkan angka PHK nasional bisa mencapai 280.000 orang pada akhir 2025 jika tren saat ini tidak segera dibendung.
Para pelaku usaha mendesak adanya stimulus fiskal yang lebih konkret, seperti relaksasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) untuk meringankan beban produksi, serta kredit berbunga rendah bagi industri yang terdampak pelemahan ekspor dan lesunya konsumsi domestik.
Para ekonom memperingatkan bahwa gelombang PHK dapat memicu efek domino terhadap daya beli masyarakat, tingkat konsumsi rumah tangga, dan pertumbuhan ekonomi nasional. Penurunan daya beli akan memperlambat roda ekonomi, menciptakan lingkaran setan yang mengancam stabilitas ekonomi.
Lembaga keuangan dan regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga menyampaikan bahwa melemahnya pasar tenaga kerja dapat menurunkan indeks kepercayaan konsumen dan investor, yang dalam jangka panjang dapat berdampak pada risiko kredit perbankan dan kesehatan sistem keuangan secara keseluruhan.
Tantangan dan Peluang
Selain berbagai kesulitan, krisis ini juga membuka peluang untuk reformasi pasar kerja berbasis data. Dengan sistem pelaporan PHK, kebutuhan tenaga kerja, dan skill-gap secara real time, pemerintah dapat mengembangkan program pelatihan ulang (reskilling) dan kebijakan ketenagakerjaan yang lebih adaptif.
Transformasi industri berbasis green jobs dan digitalisasi juga menjadi peluang besar, seperti di sektor energi terbarukan, logistik digital, dan industri kreatif, yang berpotensi menyerap tenaga kerja terdampak jika didukung insentif dan pelatihan yang tepat.
Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), yang masih dalam tahap pengembangan, dapat menjadi landasan penting menuju sistem jaminan sosial yang lebih adaptif dan inklusif.
Namun, cakupan dan efektivitasnya perlu ditingkatkan, terutama untuk pekerja sektor informal dan outsourcing yang sering kali luput tidak terlindungi secara formal.
Di sisi lain, integrasi antara program JKP, bantuan sosial tunai (BST), dan pelatihan kerja harus dikawal agar tidak tumpang tindih, serta benar-benar menjangkau kelompok paling rentan — termasuk perempuan, disabilitas, dan pekerja usia lanjut.
Rekomendasi Solusi
Negara membutuhkan penanganan yang lebih komprehensif, berbasis data solid, serta berlandaskan semangat keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi.
Pertama, sinkronisasi data PHK dari berbagai lembaga seperti BPJS Ketenagakerjaan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan federasi serikat pekerja sangat penting. Tanpa data akurat dan real-time, kebijakan yang tepat sasaran sulit dicapai.
Kedua, pemerintah perlu mempertimbangkan moratorium kebijakan pro-impor di sektor padat karya hingga daya saing industri dalam negeri cukup kuat. Regulasi seperti Permendag 8/2024 dan PP 28/2024 sebaiknya dikaji ulang dengan melibatkan pekerja, pelaku usaha, dan akademisi secara transparan.
Ketiga, prioritas nasional harus diarahkan pada pengembangan industri berbasis nilai tambah domestik. Indonesia perlu mempercepat industri hilir yang mengandalkan inovasi, energi hijau, dan produk ramah lingkungan, daripada bergantung pada ekspor komoditas mentah atau menjadi pabrik upahan.
Keempat, penggunaan APBN harus lebih strategis untuk menyerap tenaga kerja terdampak. Ini bisa dilakukan melalui proyek padat karya nasional, insentif bagi UKM untuk mempekerjakan eks-pekerja industri besar, serta perluasan program pelatihan ulang berbasis permintaan pasar.