Di Jepang, misalnya, Undang-Undang Koperasi Pertanian yang diberlakukan sejak 1947 memberikan kerangka hukum yang jelas dan konsisten, sehingga koperasi dapat beroperasi dengan kepastian hukum dan perlindungan yang memadai.
Demikian pula di Jerman, Undang-Undang Genossenschaft yang telah ada sejak 1889 dan terus direvisi hingga 2020, memastikan koperasi memiliki landasan hukum yang kuat dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Regulasi yang stabil ini memungkinkan koperasi untuk merencanakan jangka panjang dan membangun kepercayaan anggota serta mitra bisnisnya.
Dalam konteks permodalan, disarankan pembentukan lembaga keuangan khusus yang dapat memberikan pinjaman dengan bunga rendah dan persyaratan yang fleksibel.
Hal ini dianggap krusial untuk mengatasi kendala modal yang selama ini menjadi penghambat utama perkembangan koperasi, terutama di daerah pedesaan. Akses ke sistem permodalan khusus yang dirancang untuk koperasi sangat menentukan keberlangsungan dan ekspansi usaha.
Korea Selatan memiliki Bank Koperasi Nasional yang menyediakan pembiayaan khusus dengan bunga rendah dan persyaratan yang mudah bagi koperasi pertanian dan nelayan.
Di Amerika Serikat, sistem Farm Credit memberikan contoh bagaimana lembaga keuangan khusus dapat mendukung koperasi dalam memperoleh modal kerja dan investasi.
Akses permodalan yang memadai memungkinkan koperasi untuk meningkatkan kapasitas produksi, memperluas pasar, dan berinovasi dalam layanan.
Selain itu, integrasi vertikal dengan industri strategis menjadi keunggulan kompetitif yang signifikan. Contohnya, koperasi pertanian di Jepang (Nokyo) tidak hanya berperan sebagai pengelola hasil panen, tetapi juga menguasai distribusi pupuk dan pemasaran beras secara nasional.
Di Jerman, koperasi menguasai sekitar 55 persen pemasaran hasil pertanian, sehingga mereka memiliki posisi tawar yang kuat dalam rantai pasok. I
ntegrasi ini memungkinkan koperasi mengendalikan kualitas produk efisiensi distribusi, dan harga pasar, sehingga memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar bagi anggotanya.
Riset dan Teknologi
Adanya dukungan riset dan teknologi kolektif menjadi pendorong inovasi dan peningkatan produktivitas. Korea Selatan, misalnya, menyediakan akses teknologi budidaya ikan secara gratis bagi koperasi nelayan, yang meningkatkan hasil tangkapan dan keberlanjutan sumber daya laut.
Pendekatan ini menunjukkan pentingnya kerja sama antara institusi riset, pemerintah, dan koperasi untuk menciptakan solusi teknologi yang efektif dan mudah diakses. Pendidikan serta pelatihan profesional yang berjenjang juga menjadi kunci pengembangan sumber daya manusia koperasi.
Di Jerman, Akademie Deutscher Genossenschaften menyediakan program pendidikan manajemen koperasi yang sistematis dan berkelanjutan, sementara di Jepang, pelatihan manajemen koperasi yang terstruktur dilakukan melalui Japan Agricultural Cooperatives (JA).
Program pendidikan ini tidak hanya meningkatkan kapasitas manajerial, tetapi juga menanamkan nilai-nilai koperasi yang kuat kepada pengurus dan anggota.
Jaringan pemasaran terintegrasi secara nasional memperkuat posisi koperasi dalam menghadapi persaingan pasar. Contohnya, Korea Selatan dengan Hanaro Club,
yang menghubungkan 5.700 koperasi konsumen, menunjukkan bagaimana jaringan yang luas dan terorganisir dapat meningkatkan daya tawar serta efisiensi pemasaran produk koperasi.
Selain itu, tata kelola demokratis yang adaptif menjadi fondasi keberlanjutan koperasi. Jepang, misalnya, menerapkan rotasi kepemimpinan setiap lima tahun untuk mencegah stagnasi dan memastikan regenerasi kepemimpinan yang dinamis.
Tata kelola yang transparan dan partisipatif ini memperkuat kepercayaan anggota serta meningkatkan akuntabilitas pengurus. Aliansi strategis dengan pemerintah daerah dan sektor swasta juga memperluas dukungan dan sumber daya bagi koperasi.
Di Amerika Serikat, koperasi listrik pedesaan berkembang pesat berkat kemitraan erat dengan pemerintah federal dan lokal. Sementara itu, di Jerman, Volksbanken berperan penting dalam program inklusi keuangan yang didukung pemerintah, sehingga memperluas akses layanan keuangan bagi masyarakat.
Inovasi model bisnis digital menjadi tren utama dalam pengembangan koperasi modern. Pengembangan platform digital dan e-commerce memungkinkan koperasi menjangkau pasar lebih luas, meningkatkan efisiensi operasional, dan memberikan layanan yang lebih responsif kepada anggota.
Budaya gotong-royong modern atau neomutualism menjadi identitas yang memperkuat solidaritas dan komitmen kolektif dalam koperasi. Penguatan nilai-nilai kolektif ini penting untuk menjaga keberlanjutan koperasi di tengah perubahan sosial dan ekonomi yang terus berlangsung.
Faktor-faktor keberhasilan ini memberikan gambaran menyeluruh tentang bagaimana koperasi dapat tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan.
Adaptasi faktor-faktor tersebut di Indonesia harus mempertimbangkan karakteristik sosial, ekonomi, dan budaya lokal agar koperasi dapat berperan optimal sebagai motor penggerak ekonomi inklusif dan berkelanjutan.
Kopdes Merah Putih
Ada tantangan dan peluang bagi koperasi di Indonesia, terutama terkait inisiatif pemerintah dalam membentuk Koperasi Desa Merah Putih. Koperasi Unit Desa (KUD) yang ada saat ini berawal dari Instruksi Presiden (Inpres) tahun 1973 sebagai Badan Usaha Desa dan dilanjutkan pembentukan KUD pada era 1980-an.
Pada masa itu, teknologi seperti smartphone dan internet belum ada, sehingga kontrol menjadi sulit dan pola yang berkembang bersifat sentralistik. Berbeda dengan kondisi sekarang yang didukung kemajuan teknologi.
Jepang membangun koperasi dengan pendekatan top-down yang didukung Jenderal Douglas MacArthur, menciptakan sistem mulai dari lubang tanam hingga bibit, sehingga koperasi berkembang secara terstruktur dan terlindungi oleh undang-undang anti-monopoli.
Koperasi harus dilindungi karena banyak tantangannya. Sayangnya, di Indonesia pendekatan serupa dalam KUD kurang diterapkan, terutama dalam pelaksanaan reforma agraria (land reform) yang menjadi fondasi kuat koperasi Jepang.
Disana, setelah redistribusi tanah, struktur koperasi seperti pohon yang kuat dengan akar yang kokoh, sehingga mampu menguasai 80-90 persen pasar beras dan terigu.
KUD mengalami kemunduran sejak krisis ekonomi tahun 1998. Koperasi kehilangan pijakan karena International Monetary Fund (IMF) mendorong liberalisasi, sehingga koperasi tidak mendapat perlindungan dalam kebijakan ekonomi.
Inisiatif Presiden Prabowo
Inisiatif Presiden Prabowo dalam kebangkitan koperasi adalah peluang besar, namun keberhasilannya sangat bergantung pada kolaborasi semua pihak. Pembentukan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) dapat dilihat dari sisi desain dan perencanaan.
Keberhasilan koperasi di negara maju tidak hanya bergantung pada anggaran dasar, tetapi juga pada pembangunan modal sosial dan spiritual yang kuat.
Semangat koperasi sejalan dengan semangat kemerdekaan Indonesia, melawan penjajahan ekonomi akibat revolusi industri. “Collective action, bukan modal action,” menegaskan bahwa koperasi adalah aksi bersama,
bukan hanya soal modal finansial. KUD menjadi lemah karena kurangnya partisipasi dari anggota, sehingga struktur organisasi melemah. KDMP perlu menghidupkan “akar” partisipasi agar koperasi bisa tumbuh subur.
Peran negara dalam gerakan koperasi yang diinisiasi Presiden, didukung kementerian, pemerintah daerah, dan lembaga keuangan, menunjukkan keterlibatan negara yang besar dan harus dijaga.
Spirit koperasi lahir dari perjuangan kemerdekaan, kemiskinan, dan ketertinggalan. Undang-Undang Koperasi yang baru harus mencerminkan semangat dekolonialisasi dan menghapus diskriminasi dari sistem ekonomi dualistik Indonesia.
Pendidikan juga menjadi fondasi utama dalam gerakan koperasi, mengacu pada sejarah kongres koperasi pertama di Tasikmalaya tahun 1947 dan berdirinya Akademi Koperasi (AKOP), yang menunjukkan bahwa pemikiran koperasi telah lama menempatkan pendidikan sebagai kunci melawan penjajahan ekonomi.
Mengenai Undang-Undang Koperasi yang selama ini menjadi persoalan, proses penyusunannya belum melibatkan perguruan tinggi sebagai basis ilmu pengetahuan. Saat ini, untuk mempercepat lahirnya Undang-Undang Koperasi baru, teknologi seperti Zoom dan AI akan sangat membantu.
Setiap regulasi pasti memiliki pihak yang diuntungkan dan dirugikan, sehingga yang utama adalah memastikan kepentingan rakyat tidak dikalahkan.
Nilai fundamental dalam membangun koperasi yang sehat dan berkelanjutan adalah kepercayaan. Kepercayaan dan kejujuran menjadi akar informasi yang tidak terdistorsi dan bebas korupsi. Namun, tantangan terbesar adalah sulitnya menanamkan nilai-nilai tersebut dalam masyarakat.
Bung Hatta pernah mengatakan bahwa kejujuran adalah bagian dari public good yang paling sulit diajarkan. Oleh karena itu, langkah awal yang harus diambil adalah membangun kepercayaan melalui teknologi.
Misalnya, transaksi tidak boleh dilakukan secara tunai tetapi melalui prosedur keuangan, karena transaksi tunai membuka peluang korupsi. Dengan sistem non-tunai yang dapat dilacak, transparansi dan akuntabilitas koperasi bisa terjamin.
Seleksi ketat terhadap pengurus koperasi juga menjadi kunci utama. Meski banyak orang pintar, kejujuran harus diutamakan. Pengurus dengan rekam jejak jujur dan dapat dipercaya akan menjadi pondasi kokoh bagi perkembangan koperasi.
Sistem kelembagaan yang kuat dengan aturan jelas dan sanksi tegas juga diperlukan agar prinsip koperasi berjalan baik. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga harus menjadi public goods, sehingga semua anggota dapat memantau kegiatan badan koperasi dengan transparan.
Belum Jadi Subyek Ilmu Perlu Fondasi Pendidikan
Ada teori trilogi koperasi yang menjadi kerangka berpikir dalam membangun koperasi yang efektif. Pertama adalah ekspektasi rasional, anggota koperasi membangun harapan berdasarkan informasi yang mereka terima. Jika tidak ada ekspektasi yang jelas atau contoh yang baik, maka koperasi akan gagal.
Kedua, nilai kebersamaan menjadi perekat sosial antaranggota. Nilai ini diwujudkan melalui kelembagaan yang kokoh sebagai perangkat utama organisasi, yang mengatur mekanisme insentif dan sanksi.
Ketiga, kelembagaan koperasi harus mampu menjalankan fungsi pengawasan dan transparansi agar semua anggota dapat memantau jalannya organisasi. Dengan kemajuan teknologi saat ini, membangun sistem semacam ini sudah sangat terjangkau dan mudah, asalkan ada kemauan yang kuat dari semua pihak.
Salah satu tantangan yang sering muncul adalah sulitnya membangun budaya koperasi yang solid serta menemukan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan jujur untuk mengelola koperasi.
Ini adalah kondisi yang tidak bisa dihindari dan menjadi syarat mutlak keberhasilan koperasi. Keberhasilan Credit Union di Kalimantan Barat, misalnya, didukung oleh adat istiadat dan kearifan lokal.
Oleh karena itu, tokoh-tokoh lokal yang memiliki rekam jejak jujur dan dapat dipercaya sangat penting dalam pengembangan koperasi.
Pendidikan menjadi pondasi utama untuk pengembangan koperasi. Program besar pemerintah dalam pengembangan koperasi harus disertai dengan persiapan SDM, seperti pendidikan dan beasiswa khusus koperasi.
Subyek Ilmu
Indonesia masih menghadapi kendala besar karena koperasi belum diakui sebagai subjek ilmu dalam sistem pendidikan tinggi. Survei kecil menunjukkan bahwa kaum intelektual Indonesia kurang menyukai koperasi, yang tercermin dari kebijakan perundangan yang kurang mendukung.
Hal ini berbeda dengan negara lain seperti Korea, Jepang, dan Amerika yang mengizinkan koperasi memiliki bank sendiri. Ia menegaskan bahwa Sistem pendidikan tinggi di Indonesia belum mengakui koperasi sebagai subject of science, makanya tidak punya sarjana koperasi, yang ada adalah sarjana ekonomi belajar koperasi, sarjana manajemen belajar koperasi, padahal koperasi itu suatu subjek bukan disiplin, bisa dipelajari dari semua ilmu.
Ketidaktersediaan pendidikan koperasi yang memadai menjadi salah satu alasan utama mengapa koperasi di Indonesia belum berkembang secara optimal.
Dalam menyikapi program besar koperasi Merah Putih yang sedang digalakkan pemerintah, Ikopin University mengambil langkah strategis untuk mempercepat penyediaan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten dan siap pakai.
Menunggu lulusan sarjana koperasi dalam waktu lama bukanlah solusi praktis saat ini. Oleh karena itu, universitas ini tengah merancang beberapa program pelatihan dan sertifikasi profesi koperasi yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat, yaitu antara enam bulan hingga satu tahun.
Ada beberapa desain pengembangan SDM yang disiapkan. Pertama, pelatihan atau penambahan ilmu keprofesian. Misalnya, sarjana hukum menjadi advokat harus kuliah lagi, atau sarjana kesehatan menjadi dokter juga memerlukan pendidikan tambahan.
Begitu pula untuk sertifikat profesi koperasi, diperlukan waktu 6 bulan hingga 1 tahun. Dengan sertifikasi ini, mereka diharapkan bisa langsung terjun membantu pengelolaan koperasi, terutama dalam aspek pembukuan, manajemen, dan akuntansi.
Hal ini sangat penting mengingat rencana pembentukan sekitar 80.000 koperasi baru dalam program Merah Putih, yang membutuhkan tenaga ahli untuk mendukung operasional koperasi secara profesional dan transparan.
Selain pelatihan singkat dan sertifikasi, Ikopin University juga tengah menyiapkan program studi (prodi) koperasi yang lebih formal dan terstruktur. Pengembangan prodi ini membutuhkan waktu dan proses yang tidak singkat karena harus melalui berbagai tahapan persetujuan dari Kementerian dan pihak-pihak terkait lainnya.
Program studi ini diharapkan menjadi wadah pendidikan tinggi yang fokus pada pengembangan ilmu dan praktik koperasi secara mendalam, sehingga menghasilkan lulusan yang benar-benar menguasai bidang koperasi dan siap menjadi penggerak utama dalam pembangunan koperasi nasional.
Ikopin University juga memberikan perhatian khusus pada pengembangan pendidikan tinggi di tingkat magister (S2) dan doktoral (S3) yang fokus pada koperasi.
Program ini ditujukan untuk melahirkan pemikir dan peneliti yang mampu menggali dan mengembangkan teori-teori koperasi serta melakukan penelitian empiris yang mendalam.
Tiga Fondasi Utama
Ada tiga pendekatan ilmiah dan pemikiran mendalam untuk mengembangkan koperasi di Indonesia yang menjadi fondasi utama kajian dan pengembangan koperasi. Pertama, fondasi yang bersumber dari pasal 33 UUD 1945 harus terus dikembangkan menjadi ilmu pengetahuan yang aplikatif.
Kedua, teori-teori koperasi peraih Nobel seperti “Jones Cooperative Equilibrium” yang lebih unggul dibanding teori nonkooperatif, karena menciptakan kondisi kemenangan bersama (win-win) berbeda dengan kompetisi yang sering menghasilkan pihak kalah, perlu dikaji lebih serius.
Ketiga, dibutuhkan bukti empiris yang kuat untuk menjelaskan mengapa koperasi sukses di negara lain tetapi tidak di Indonesia. Pengembangan koperasi tidak hanya soal regulasi, tetapi juga memerlukan kajian ilmiah mendalam, baik teori maupun data empiris sebagai pijakan strategis.
Pembiayaan Pendidikan
Salah satu tantangan besar meningkatkan jumlah sarjana koperasi di Indonesia adalah biaya pendidikan yang mahal. Tingkat kelulusan sarjana di Indonesia hanya sekitar 16 persen, jauh di bawah Korea (70 persen) dan Malaysia (lebih dari 30 persen).
Ikopin University mencoba menurunkan biaya pendidikan dengan pendekatan kooperatif dan collective action. Misalnya, biaya per semester sekitar Rp6 juta hingga Rp7 juta bisa turun setengahnya jika jumlah mahasiswa meningkat dari 2.000 menjadi 4.000 orang, dengan menyediakan beasiswa untuk 2.000 hingga 4.000 mahasiswa.
Ikopin juga dapat mengembangkan model student credit union, di mana mahasiswa sudah berkoperasi sejak awal untuk membiayai pendidikan mereka sekaligus mendapatkan pengalaman praktis dalam pengelolaan koperasi.
Model ini diharapkan dapat menjadi solusi pembiayaan pendidikan yang berkelanjutan dan memberdayakan mahasiswa secara langsung.
Ikopin University telah siap menjadi garda terdepan dalam mendukung program besar koperasi Merah Putih, memastikan bahwa SDM yang dihasilkan tidak hanya cepat tersedia tetapi juga kompeten dan profesional dalam mengelola koperasi di Indonesia.