Prof. Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc. Agr - Dekan Fakultas Pertanian IPB University

Dekan Fakultas Pertanian IPB University – Stok Beras Bulog 4 Juta Ton Bukan Ukuran Swasembada

Share

Indonesia baru saja mencatatkan rekor cadangan beras nasional yang mencapai 4 juta ton di gudang Bulog. Sebuah capaian yang disambut positif oleh banyak pihak, terutama dalam konteks ketahanan pangan. Namun, menurut Prof. Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc. Agr., capaian itu tak bisa langsung diartikan sebagai bukti produksi beras nasional yang tinggi. Perlu dianalisis lebih dalam untuk menilai dampaknya terhadap keberlanjutan produksi.

Stok Bulog merupakan akumulasi cadangan yang tidak sepenuhnya mencerminkan hasil produksi tahun ini,” tegasnya. Ia menjelaskan bahwa perhitungan total produksi beras nasional tidak bisa hanya mengandalkan angka cadangan Bulog,

terutama karena pengumpulan cadangan dilakukan dalam situasi khusus dan melalui kebijakan pembelian any quality.

Ia juga menekankan bahwa data tersebut dirilis pada bulan Juni, sementara panen raya belum selesai sepenuhnya. Di Indonesia, panen raya biasanya terjadi pada bulan Maret hingga April, diikuti panen raya kedua sekitar bulan Juli.

Oleh karena itu, evaluasi produksi nasional yang lebih akurat baru bisa dilakukan pada bulan Oktober, ketika sekitar 90%-95% total luas tanam telah dipanen. “Masih terlalu dini untuk menyebut produksi beras tahun ini melonjak,” tambahnya.

Megacu pada proyeksi USDA (United States Department of Agriculture), produksi beras Indonesia tahun ini diperkirakan mencapai sekitar 35 juta ton. Jika angka tersebut tercapai, ini akan menjadi produksi terbesar dalam sejarah.

Peningkatan produksi
Menurut Prof. Suryo, tidak serta-merta berarti produktivitas lahan meningkat signifikan. Faktor utama yang mendorong peningkatan produksi adalah kenaikan indeks penanaman (IP), yakni frekuensi tanam pada lahan yang sama dalam satu tahun.

“Saya kira produktivitas di lapangan belum naik signifikan. Yang lebih menentukan adalah peningkatan indeks penanaman,” katanya.

Indeks penanaman nasional sebelumnya berada di angka 1,54, yang berarti rata-rata satu hektare lahan ditanami lebih dari satu kali dalam setahun. Peningkatan IP memberikan dampak besar terhadap total hasil panen nasional, meskipun hasil per musim tanam relatif tetap.

Menurutnya, ada dua faktor utama yang mendorong peningkatan indeks penanaman tahun ini, Pertama, musim kemarau basah yang memungkinkan petani mempercepat siklus tanam.

Kedua, upaya pemerintah dalam optimalisasi lahan melalui penyediaan irigasi, pompa air, dan alat mesin pertanian. “Dulu hanya bisa tanam sekali, sekarang bisa dua kali. Jika dirata-rata, dampaknya luar biasa,” katanya.

Dia juga menambahkan bahwa peningkatan IP adalah bentuk intensifikasi pertanian yang nyata. Bukan melalui perluasan lahan (ekstensifikasi), tetapi melalui peningkatan pemanfaatan lahan yang sudah ada. Namun, peningkatan ini tidak serta-merta berarti produktivitas lahan meningkat.

“Produktivitas per hektare, menurut saya, masih tetap. Jadi, peningkatan volume produksi itu bukan karena hasil per hektare lebih tinggi, melainkan karena frekuensi tanamnya lebih sering,” ujarnya.

Meningkatkan Subsentra
Sentra produksi utama seperti Subang, Indramayu, Karawang, Sragen, hingga Lamongan adalah daerah dengan ekosistem bisnis pertanian yang sudah mapan. Produktivitasnya tinggi, sarana dan prasarana memadai, dan alur distribusinya sudah terbentuk.

“Tantangannya bukan lagi menaikkan produksi, tetapi menjaga agar tanah tetap subur dan ekosistemnya tetap sehat,” jelasnya.

Sebaliknya, daerah subsentra seperti Bogor, Sukabumi, Cianjur, dan sebagian besar wilayah lainnya justru memiliki potensi besar untuk ditingkatkan. Produktivitasnya masih sekitar 4 ton per hektare, jauh di bawah rata-rata sentra.

Menurutnya, peningkatan dari 4 ton ke 5 atau 6 ton jauh lebih realistis dan berdampak besar secara nasional.

“Daerah subsentra ini mungkin mencakup sekitar 60% dari total luas lahan padi di Indonesia. Di sinilah lompatan produksi bisa dicapai dengan biaya lebih rendah,” ungkapnya.

Namun, tantangan utama di subsentra bukan hanya soal pertanian on-farm. Keterbatasan jumlah dan kualitas penggilingan, minimnya teknologi pengeringan, serta kesulitan distribusi gabah menjadi penghambat peningkatan produktivitas. Ekosistem bisnis di daerah-daerah ini harus diperkuat secara bersamaan.

Potensi Luar Jawa
Prof. Suryo menilai bahwa pembukaan lahan baru, seperti di Kalimantan, memang diperlukan tetapi harus dilakukan dengan hati-hati. Ia mengingatkan bahwa lahan rawa memiliki kompleksitas biofisik tinggi, seperti lapisan pirit yang bisa menghasilkan racun bila teroksidasi, masalah irigasi, dan minimnya tenaga kerja.

“Di Kalimantan, tantangannya bukan hanya teknis tetapi juga kultural. Petani sedikit, dan indeks tanamnya masih rendah, hanya satu kali setahun,” ujarnya.

Dari ribuan hektare lahan di proyek strategis nasional (PSN), hanya sekitar 30.000 hektare yang benar-benar efektif, sehingga pemetaan detail dan uji coba lapangan menjadi sangat penting. Teknologi terbaik dan praktik terbaik harus diterapkan secara bertahap dan penuh kesabaran.

Berbeda dengan Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Sumatera Selatan masuk kategori sentra yang harus dipertahankan. Wilayah-wilayah ini telah menjadi tulang punggung produksi beras nasional selama beberapa dekade meskipun menghadapi tantangan tersendiri.

Padi Gogo
Prof. Suryo juga menyampaikan bahwa selain ekspansi ke luar Jawa, peningkatan produksi bisa dilakukan dari dalam Jawa. Berdasarkan survei IPB, sekitar 500.000 hektare lahan terlantar di Pulau Jawa bisa ditanami padi gogo.

Meski agronominya cukup menantang, terutama di Sumatera yang tanahnya berbeda, hasil uji coba awal menjanjikan.

“Di Blora, Gunung Kidul, dan Bantul, padi gogo mampu menghasilkan 3–4 ton per hektare. Ini angka yang layak untuk dikembangkan lebih luas,” katanya.

Namun, keberhasilan tetap bergantung pada pendekatan berbasis detail, karena tidak semua lahan cocok untuk padi dan tidak semua teknologi bisa langsung diadopsi.

“Keberhasilan tergantung pada ketepatan teknologi, lokasi, dan waktu,” katanya.

Tantangan Pasca Panen
Masalah pasca panen menjadi tantangan utama dalam sektor pertanian, terutama untuk padi. Salah satu kebijakan yang diterapkan saat ini adalah pembelian gabah oleh Bulog dengan sistem “any quality” atau tanpa memperhatikan kualitas.

Kebijakan ini bertujuan untuk memastikan ketersediaan stok, tetapi dalam jangka panjang dapat menimbulkan masalah, baik bagi keberlanjutan produksi maupun anggaran negara.

Sistem ini menyebabkan campuran kualitas dalam satu gudang yang menyulitkan pengelolaan lebih lanjut. Selain itu, kapasitas penyimpanan menjadi masalah serius. Gudang Bulog yang terbatas sering kali tidak mampu menampung seluruh hasil panen, sementara beras memiliki umur simpan yang pendek.

“Beras tidak bisa disimpan lebih dari empat hingga lima bulan. Sistem FIFO (First In, First Out) harus diterapkan. Ini butuh perencanaan, bukan sekadar respons instan,” ujarnya.

Peran Tengkulak
Dalam sistem pertanian, tengkulak memiliki peran penting sebagai perantara yang menghubungkan petani kecil dengan pasar. Di daerah subsentra seperti Bogor dan Sukabumi, petani dengan lahan sempit, sekitar 1.000-2.000 m2, sangat bergantung pada tengkulak untuk mengumpulkan hasil panen mereka.

Namun, persepsi negatif sering kali melekat pada peran tengkulak, yang dianggap merugikan petani. Padahal, dengan pendekatan yang tepat, tengkulak dapat diberdayakan menjadi agregator berkualitas dengan sistem harga yang adil dan transparan.

Dengan begitu, distribusi hasil panen bisa lebih efisien tanpa meninggalkan petani kecil. Mereka juga bisa dilatih untuk meningkatkan kualitas hasil panen sebelum dijual ke pasar.

“Jangan kita musuhi tengkulak, karena jasanya penting bagi petani kecil. Mereka hanya perlu pembinaan yang baik,” ujarnya.

Ia mencontohkan petani-petani di Bogor yang rata-rata skala usahanya kecil sehingga mereka sangat bergantung pada pihak ketiga untuk mendistribusikan hasil panen.

“Mereka tidak bisa langsung menjual ke pasar, melainkan harus melalui tengkulak,” katanya.

Namun, fasilitas penggilingan di daerah tersebut masih didominasi penggilingan kecil dengan peralatan yang sudah usang. Mesin-mesin itu tidak mampu menghasilkan beras dengan rendemen optimal.

Rata-rata hanya menghasilkan rendemen 55%, jauh di bawah standar nasional versi BPS sebesar 62,3%. Akibatnya, petani kehilangan sekitar 7% nilai produk hanya karena keterbatasan alat.

“Mencari penggilingan yang bagus di daerah-daerah seperti itu sangat sulit, dan itu menjadi masalah struktural yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan menaikkan produksi,” tegasnya.

Mengelola Stok
Prof. Suryo menekankan pentingnya merancang sirkulasi stok beras secara sistematis setelah masuk ke gudang Bulog. Sebagian besar pasokan digunakan untuk berbagai program pemerintah seperti bantuan sosial hingga penanggulangan bencana.

Namun, jika stok terlalu tinggi, penyaluran menjadi tidak efektif dan memerlukan intervensi lewat operasi pasar yang tidak selalu efisien. Solusi jangka panjang, menurutnya, adalah membangun kerja sama yang terencana antara pemerintah dan industri pangan.

Dengan begitu, distribusi dapat dibagi secara proporsional: sebagian untuk kebutuhan industri, sebagian untuk program bantuan, dan sebagian lainnya sebagai cadangan nasional. Pola ini tidak hanya mempercepat perputaran stok, tetapi juga menjaga kualitas beras serta kestabilan harga pasar.

“Ini bukan sekadar hitungan volume, tapi soal manajemen. Di sinilah letak seni perencanaannya,” ujarnya.

Sukses Swasembada Beras Bisa Ditiru Komoditas Lain

Keberhasilan dalam pengelolaan beras, menurut Prof. Suryo, seharusnya menjadi pemicu semangat untuk membenahi komoditas pangan lainnya.

Indonesia selama ini cenderung terlalu fokus pada beras, padahal diversifikasi pangan dan pertanian hortikultura memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

“Untuk kesejahteraan petani, hortikultura itu penting. Petani bukan hanya penghasil, tapi juga subjek yang harus disejahterakan,” tegasnya.

Dengan tata kelola yang baik, produksi jagung, sayur, buah, dan komoditas lainnya bisa dikembangkan secara simultan. Namun, ini membutuhkan pembenahan menyeluruh dari onfarm hingga hilir dengan melibatkan semua pemangku kepentingan.

Dibandingkan swasembada 1984, Prof. Suryo menilai tantangan saat ini lebih besar. Penduduk meningkat dua kali lipat, sementara luas lahan menyusut. Meski begitu, indeks penanaman dan teknologi telah berhasil meningkatkan produktivitas.

“Produksi kita semakin baik sekarang, tetapi tantangannya juga jauh lebih besar,” ujarnya. Saat ini Indonesia tercatat sebagai produsen beras terbesar keempat di dunia setelah India, China, dan Bangladesh. Prestasi ini patut diapresiasi, namun tidak boleh membuat kita lengah.

“Kita belum selesai. Keberlanjutan adalah kunci. Jangan sampai produksi hari ini hanya menjadi nostalgia esok hari,” tambahnya.

Peran Pendidikan Tinggi
Kontribusi Dikti terutama fakultas-fakultas pertanian, memegang peran penting dalam mendukung program swasembada pangan. Prof. Suryo menegaskan bahwa universitas tidak hanya bertugas mencetak lulusan,

tetapi juga menjadi pusat inovasi teknologi yang relevan dan aplikatif. Salah satu bentuk nyata kontribusi ini adalah pengembangan teknologi yang disesuaikan dengan kebutuhan spesifik di setiap lokasi.

Prof. Suryo menjelaskan bahwa tantangan pertanian di Karawang tentu berbeda dengan Bogor, Bojonegoro, atau daerah rawa dan lahan kering. Oleh sebab itu, IPB telah mengembangkan lebih dari 15 varietas padi unggul yang dirancang khusus untuk menghadapi kondisi lokal, baik untuk lahan kering, rawa, hingga varietas tahan hama, salinitas, dan kekeringan.

IPB juga memproduksi dan mengembangkan teknologi mikroba pertanian yang berfungsi sebagai imunisasi tanaman terhadap penyakit dan gangguan lingkungan. Teknologi ini menjadi alternatif ramah lingkungan dan mendukung praktik pertanian berkelanjutan, yang semakin dibutuhkan dalam konteks perubahan iklim global.

Selain inovasi teknologi, peningkatan kapasitas petani menjadi agenda utama. IPB menginisiasi program Rumah Belajar Petani di berbagai daerah, seperti Indramayu, Tegal, dan Subang.

Program ini bertujuan meningkatkan literasi petani terhadap hal-hal penting seperti pengendalian hama, manajemen iklim, dan penerapan teknologi tepat guna.

“Kami membangun hubungan dua arah dengan petani, bukan hanya transfer ilmu dari kampus ke desa, tapi juga belajar praktik lapangan untuk memperkaya riset dan kurikulum kami,” jelasnya.

Model Pertanian
Universitas memiliki peran penting dalam menciptakan model pertanian yang dapat diterapkan secara luas. IPB telah mengembangkan berbagai model yang sukses meningkatkan produktivitas dan efisiensi di daerah seperti Subang, Indramayu, Tegal, hingga Yogyakarta.

Salah satu inovasi unggulan adalah Automatic Weather Station (AWS) berbasis komunitas, hasil kolaborasi Fakultas Pertanian dan FMIPA IPB. Teknologi ini telah dipasang di lebih dari 80 lokasi di Indonesia, menyediakan data iklim dan prakiraan cuaca 10 hari ke depan yang sangat membantu petani dalam merencanakan pemupukan, penyemprotan, hingga panen.

Regenerasi Petani
Di sisi lain, Salah satu tantangan besar yang dihadapi dunia pertanian adalah minimnya regenerasi petani. Prof. Suryo mengakui bahwa program studi pertanian kurang diminati dibandingkan bidang lain seperti kedokteran atau teknik, karena citra pertanian yang masih dianggap tradisional.

Namun, Ia menyadari bahwa persoalan ini bukan hanya soal selera, tetapi juga terkait citra.

“Anak muda masih membayangkan pertanian sebagai pekerjaan yang identik dengan lumpur, panas, dan kerja fisik. Padahal, pertanian modern kini sudah sangat berbasis teknologi,” ujarnya.

Untuk menjawab tantangan tersebut, IPB telah membuka program studi Smart Agriculture yang kini memasuki tahun kedua. Program ini mengajarkan konsep pertanian digital, teknologi IoT, analisis data, dan pertanian presisi.

Selain itu, program studi klasik seperti Proteksi Tanaman, Ilmu Tanah, dan Agronomi juga terus dimodernisasi agar tetap relevan dan menarik bagi generasi muda.

Menurutnya, kunci untuk menarik minat anak muda adalah menjadikan pertanian sebagai bidang yang menarik, canggih, dan menguntungkan.

“Anak muda akan tertarik jika mereka tahu bahwa pertanian dapat memberikan kesejahteraan, bukan sekadar untuk bertahan hidup,” katanya.

Artikel Terkait

Scroll to Top