(image: NNC Netralnews)

Danantara, Bank Emas dan Pertumbuhan 8 %

Share

Ketika Presiden Prabowo Subianto mencanangkan pertumbuhan ekonomi 8 persen, pasti banyak yang berharap, tetapi juga tidak sedikit yang meragukan. Bagi yang meragukan, sebagian berdasarkan basis keberangkatannya. Sampai awal tahun 2025, mempertahankan angka pertumbuhan lima persen saja, memerlukan usaha habis-habisan

Apalagi melihat geopolitik dan geoekonomi dunia yang tidak cukup kondusif. Ketegangan relasi Rusia dengan Eropa karena faktor Ukraina belum pulih. Konflik Timur Tengah antara Palestina-Israel masih menyisakan bom waktu, yang bisa meledak kapan saja.

Perang Dagang Amerika-Cina, akan meluas ke banyak negara, karena kehadiran Presiden Donald Trump. Namun target tetap harus dipancangkan, untuk membangun motivasi tim pemerintahan yang menjadi harapan 180 juta rakyat Indonesia.

Dengan pertumbuhan 8 persen bisa dibayangkan, dampaknya pada tumbuhnya industri dan pembukaan lapangan kerja baru. Pangan dan energi yang cukup, serta tingkat kesejahteraan yang meningkat.

Perubahan tidak akan terjadi, jika tidak ada perencanaan langkah yang konkret dalam memberi nilai tambah dari capaian yang sudah ada, bahkan kalau perlu dengan mempercepatnya.

Modal yang sudah didapat Kabinet Merah Putih dari pemerintahan sebelumnya, antara lain infrastruktur yang sudah ada seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, sarana komunikasi digital, dan sebagainya.

Kebijakan hilirisasi untuk memberi nilai tambah pendapatan nasional, dari produk industri yang sebelumnya diekspor dalam bentuk bahan mentah.

Pembentukan Danantara
Kehadiran Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara, atuu Danantara Indonesia, adalah salah satau jawaban sebagai jalan untuk menjadikan pertumbuhan ekonomi bukan sekadar basa basi belaka.

Pertumbuhan ekonomi membutuhkan modal untuk menggerakkan seluruh sektor yang produktif. Selama ini hanya dikenal jurus tunggal dalam menghimpun investasi. Tergantung pada peran negara lain untuk menanamkan modalnya, atau lembaga internasional untuk memijamkan dananya.

Pola badan pengelola investasi yang mulai digerakkan ini menggambarkan sebuah pola baru, walaupun sebenarnya sudah banyak dipraktekkan di banyak negara. Menghimpun aset, yang bisa dijadikan jaminan untuk mendapatkan modal pembangunan.

Selama ini bukan saja banyak asset, terutama yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak terkoordinasi dan termanfaatkan secara makasimal, bahkan bisa jadi memberi beban perawatan yang tidak kecil.

Intinya, membangun berdasarkan modal sendiri, dan tidak hanya bersandar pada belas kasihan asing, menjadi basis strategis kehadiran Danantara.

Dengan modal yang besar, jika digerakkan dengan mekanisme bisnis, bukan dalam tata kelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), potensinya menjadi berlipat-lipat untuk menggerakkan pembangunan, meningkatan pendapatan dan daya beli nasional.

Tidak aneh kalau Presiden Prabowo meyakini kehadiran Danantara ini, sebagai salah satu instrumen strategis dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sampai 8 persen selama lima tahun mendatang.

Bank Emas
Kehadiran Bank Emas, juga menjadi petunjuk bahwa target pertumbuhan ekonomi 8 persen, tidak sekadar cita cita, tetapi target yang akan dicapai dengan berbagai langkah yang nyata.

Bank Emas akan menjadi wahana akumulasi modal, yang selama ini tersimpan secara tradisional, sebagai kekayaan yang tidak tergerkkan untuk kegiatan produktif. Bank Emas akan menjadi potensi tambahan modal yang cukup signifikan untuk membiayai kegiatan perekonomian dna industri.

Para investor emas tidak harus menjual atau menyimpan di bank asing, karena bisa medapatkan tempat investasi, yang lain mempunyai motif ekonomis juga ada nilai tambah kebanggaan patriotis, lembaga ekonomi nasional.

Bank Emas juga menggambarkan lahirnya langkah strategis untuk memperkuat modal pembangunan yang berbasis kekuatan sendiri, tidak tergantung dan tidak bisa dikendalikan oleh pihak asing.

Faktor lain, karena potensi tambang emas Indonesia yang cukup besar, selama ini mayoritas dilarikan ke luar negeri. Bank Emas bisa menjadi kepanjangan dari kebijakan hilirisasi, dengam menampung hasil pengolahan smelter emas, yang biasanya dilakukan di negara lain. Lebih efisien, karena bisa langsung ditampung di dalam negeri.

Beberapa Catatan
Harapan bisa melambung tinggi, karena kebijakan pembentukan Danantara dan Bank Emas. Potensi dan peluang yang besar, dukungan totalitas pemerintah, hanya bisa menjadi kenyataan jika dikelola dengan kecakapan yang tinggi, dengan motivasi dan integritas prima, serta keterbukaan dan pengawasan maksimal.

Masyarakat selain berharap, juga khawatir, karena makin tinggi potensi, risiko juga semakin besar. Berbagai praktek pengelolaan bisnis negara jumbo, juga bisa menyebabkan risiko, antara lain korupsi dengan ukuran yang super.

Korupsi PT Pertamina, PT Timah, dan banyak BUMN yang lain, tidak bisa disalahkan jika juga membayang-bayangi kehadiran lembaga strategis lembaga ekonomi baru seperti Danantara dan Bank Emas ini.

Namun ketakutan dengan bayang-bayang, tidak berarti harus meghentikan ikhtiar. Karena takut gagal, lalu tidak perlu berbuat apa-apa. Langkah dan usaha pemerintah untuk membangun lembaga Danantara dan Bank Emas, bisa diapresiasi sebagai pilihan yang strategis, bahkan belum pernah terjadi selama ini.

Harapan yang baru, tidak bisa dicapai dengan cara yang lama. Namun pesan masyarakat untuk menjalankan polihan strategis ini secara prudent, juga tidka boleh dianggap sepi.

Tugas pemerintah yang dipimpin Presiden Prabowo, tidak cukup melahirkan pilihan kebijakan yang tepat untuk menjawab tantang yang ada. Tetapi sekaligus juga harus membuktikan bahwa pilihan kebijakan itu benar, produktif, dan tidak menyisakan efek negatif. Bukan saja sekarang, tetapi juga di masa depan.***

Artikel Terkait

Scroll to Top