Banyak riset S2, S3, baik dari dalam maupun luar negeri, belum masuk ke narasi utama sejarah kita,” tegasnya. Ia menyebut program ini sebagai gayung bersambut.
Para akademisi butuh kanal kebijakan, sementara Kementeriaan Kebudayaan melalui Direktorat Sejarah yang diaktifkan kembali, membuka jalan untuk itu.
Setiap generasi berhak menulis sejarahnya sendiri.
Sejarah Nasional Indonesia edisi terdahulu yang pernah menjadi rujukan utama pendidikan sejarah, disusun oleh Prof. Sartono Kartodirdjo bersama Prof. Nugroho Notosusanto dan Prof. Marwati Djoened Poesponegoro, menghasilkan enam jilid Sejarah Nasional Indonesia.
Kemudian hadir generasi kedua dengan karya Indonesia dalam Arus Sejarah, disusun oleh Prof. Taufik Abdullah. “Itu disusun saat saya menjadi direktur sejarah,” ujar Susanto.
Kini, dengan jeda lebih dari 20 tahun sejak edisi terakhir, Prof. Susanto Bersama timnya merupakan generasi ketiga, dengan semangat baru, pendekatan baru, dan sumber yang lebih lengkap.
“Kalau kita tidak menulis ulang, maka sejarah kita akan terus terjebak dalam narasi lama yang tidak mencerminkan kompleksitas bangsa,” katanya.
Sejarah Sebagai Refleksi
Menurut Prof. Susanto, sejarah bukan sekadar hafalan masa lalu. Ia adalah ruang kearifan yang harus diolah untuk menyusun masa depan. Sejarah itu seharusnya dipakai untuk memaknai masa kini. Penulisan ulang ini bukan sekadar pemutakhiran isi, melainkan rekonstruksi kerangka konseptual sejarah bangsa.
Narasi sejarah bukan lagi tumpukan peristiwa, melainkan jalinan perspektif yang hidup dan dipengaruhi oleh dinamika sosial, politik, dan intelektual masa kini. Penulisan ulang ini tidak hanya memuat tambahan fakta atau kronologi baru, tapi merombak bangunan naratif yang selama ini dominan.
Proyek ini menjadi penanda pergeseran paradigma, sejarah sebagai produk elite akademik, menuju sejarah sebagai refleksi kolektif lintas generasi. Penulisan buki ini akan melibatkan lebih dari 120 pakar dari Aceh hingga Papua. Dari arkeolog, antropolog, hingga sosiolog.
“Kami ambil dari berbagai karya disertasi, riset lapangan, dan publikasi akademik yang sudah ada. Jadi kami tidak mulai dari nol,” ujarnya.
Dengan target rampung pada Agustus 2025, proyek ini ditulis dalam 10 jilid, melampaui karya pendahulunya (6 jilid oleh Sartono Kartodirdjo dan 8 jilid oleh Taufik Abdullah).
Menariknya, setiap bab bisa mencapai 500–600 halaman, yang artinya total karya ini akan mencapai hampir 6.000 halaman“Dari nekad menjadi tekad,” katanya.
Menenun Identitas Bangsa
Misi penulisan ulang sejarah ini juga untuk menemukan kembali jati diri bangsa. Bagi Prof. Susanto, sejarah bukan hanya mengenang, tetapi mengarahkan, mempertemukan masa lalu, masa kini, dan masa depan dalam satu narasi kebangsaan yang utuh.
“Sejarah selalu dipengaruhi kekinian. Kita tidak bisa menjawab tantangan perang dagang, krisis global, atau isu peradaban hari ini, dengan narasi sejarah yang stagnan,” jelasnya.
Dalam konteks ini, pembaruan sejarah menjadi bagian dari rekonstruksi nasionalisme. Bukan nasionalisme yang kaku, melainkan yang dinamis, reflektif, dan berbasis pada kebanggaan akan peradaban nenek moyang yang sudah 50.000 tahun membentuk Indonesia sebagai bangsa bahari.
Penulisan ulang ini juga bagian dari koreksi fundamental terhadap praktik historis yang selama ini sekadar menjejalkan kronologi baru ke dalam kerangka lama.
Ia menekankan bahwa sejarah tidak bisa dipisahkan dari kekinian; narasi lama yang tidak direvisi secara struktural hanya akan menjadi fosil intelektual. Tidak mampu menjawab pertanyaan mendasar siapa sebenarnya bangsa Indonesia hari ini?
Kekuatan proyek ini terletak pada keberaniannya menjadikan karya ilmiah yang tersebar sebagai bahan baku narasi besar bangsa. Misalnya ada disertasi sejarah IPTEK, bisa diambil saja.
Strategi ini menandai efisiensi epistemik: sejarah ditulis bukan semata-mata dari nol, tapi dengan menyusun ulang kepingan temuan riset menjadi satu arsitektur narasi nasional yang utuh dan relevan.
Meski awalnya skeptis terhadap tenggat waktu Agustus 2025, Prof. Susanto mengakui bahwa keberlimpahan karya dan data justru memudahkan eksekusi.
Perekat Bangsa
Menurut Prof. Susanto sejarah harus membantu menemukan kembali jatidiri kita sebagai bangsa. Bukan dalam kerangka mitos, tetapi dalam fondasi rasional yang dikonstruksi dari jejak budaya, geografi, dan pergulatan global.
Dengan kembali menggali sejarah bahari 50.000 tahun lalu hingga dinamika geopolitik kontemporer seperti perang dagang AS–Tiongkok, proyek ini secara terang membingkai sejarah sebagai medan tempur peradaban dan kekuatan bangsa.
Prof.Susanto menyatakan tidak selalu benar kalau sejarah ditulis oleh rezim. Banyaknya pakar yang terlibat dalam penulisan ulang ini, menjadi salah satu jaminannya.
Misinya semua fakta sejarah ditampilkan untuk membangun kebanggaan dna perekat kebangsaan, selain bisa memberikan pendikan politik.
“Kalau bikin sejarah akan merusak, ya jangan. Tapi sejarah harus menjadi perekat bangsa,” ujar Prof. Susanto, mengutip pandangan Prof. Sartono Kartodirdjo.
Pernyataan itu menggambarkan dilema mendasar: bagaimana menuliskan sejarah yang utuh tanpa mengoyak luka lama. Prof. Susanto lebih mengajak menempatkan sejarah sebagai pendidikan politik kolektif, bukan alat politik balas dendam.
Tujuannya bukan mencari kambing hitam, tetapi mempersatukan kembali bangsa dalam narasi yang jujur, inklusif, namun tetap menghindari provokasi destruktif.
Evaluasi Kolektif
Menyadari potensi kegaduhan sosial akibat penulisan sejarah, Susanto menyambut baik saran adanya mekanisme koreksi bersama
ebelum publikasi. Ia menyebut skema uji petik di tiga wilayah (barat, tengah, timur), dan bahkan membuka ruang evaluasi pascaterbit.
“Di antara kami pun para penulis itu saling mengkritik. Pandangan kami juga berbeda,” ungkapnya.
Ini menandakan bahwa proyek ini bukan produk tunggal, tetapi hasil dialektika dari ratusan akademisi dengan latar dan pendekatan beragam. Pendekatan ini bisa dibaca sebagai komitmen atas transparansi epistemic, bahwa sejarah bukan milik siapa-siapa, tetapi milik kita semua, dan karenanya harus bisa diuji bersama.
Penulisan sejarah nasional baru ini bukan hanya kerja dokumentasi, melainkan kerja kepercayaan. Tantangannya bukan hanya menulis apa yang terjadi, tetapi
menyatukan kembali apa yang selama ini tercerai dalam persepsi dan tafsir politik.
Proyek ini adalah langkah berani untuk menjadikan sejarah sebagai arena bersama, bukan ajang perpecahan. Sejarah tak bisa menyenangkan semua orang, tapi ia bisa jujur, terbuka, dan inklusif, jika kita bersedia melihatnya sebagai cermin bangsa, bukan senjata ideologis.
Rekonstruksi sejarah Indonesia dalam 10 jilid besar seperti yang dijelaskan Prof. Dr. Susanto bukan hanya ekspansi volume, tetapi reposisi epistemik: sejarah bukan lagi kronologi dominasi kekuasaan, melainkan refleksi jati diri bangsa yang hidup, beragam, dan penuh dinamika lintas zaman.
Narasi awal dimulai bukan dari “asal kita dari mana”, tetapi “kita telah ke mana-mana”. Ini adalah penghargaan terhadap warisan bahari, bahasa, dan interaksi global nenek moyang Nusantara, yang tidak kalah memainkan peran dalam lalu lintas peradaban dunia.
Menggunakan Pendekatan Penulisan Indonesia Sentris
Salah satu koreksi tajam dalam kerangka penulisan ulang ini adalah kritik terhadap bias Jawa-sentris dalam historiografi lama. Prof. Susanto menyebut langsung bahwa bagian timur Indonesia selama ini tidak tercatat.
Makin ke timur, makin tidak diketahui.Indonesia bukan hanya Jawa. Bukan hanya bagian barat. Ini yang kami koreksi,”katanya.
Pendekatan Indonesia-sentris bukan hanya menonjolkan peran domestik, tetapi menekankan timbal balik antara Indonesia dan dunia. Misalnya, dalam perdagangan maritim, bahasa Melayu sebagai lingua franca, hingga interaksi dengan dunia Islam, India, dan Eropa.
Penulisan fase kolonial tetap mempertahankan fakta keras tentang penjajahan, tetapi juga disertai analisis perlawanan dan kontribusi Barat terhadap bangkitnya elite modern.
Puncak nasionalisme digambarkan pada 1945–1949, saat bangsa ini melawan empat kekuatan besar: Jepang, Inggris, Belanda, dan gejolak internal. Prof. Susanto menunjukkan kekhawatiran kolektif bahwa semangat bangsa besar perlahan tergerus. Namun, buku ini tidak berhenti pada euforia.
Gejolak PRRI/Permesta tahun 1950-an akan dimasukkan dengan pendekatan reflektif: sebagai pelajaran, bukan luka yang dilupakan. Sejarah bukan untuk menghindari konflik, tapi memahami dan mengelola dampak politiknya.
Isu lain yang disentuh adalah pengkotakan tokoh sejarah dan glorifikasi sepihak. Prof. Susanto menegaskan bahwa tugas buku ini adalah menampilkan semua tokoh sejarah secara adil, baik yang telah diakui sebagai pahlawan nasional, maupun yang belum.
“Bukan hanya Pak Harto. Gus Dur pun diusulkan. Muhammad Roem belum pahlawan nasional, padahal ada Perjanjian Roem- Royen. Siapa Asaad dari masa RIS? Hampir tak dikenal,” tambahnya.
Untuk Apa Ditulis
Soal sejauh mana periode sejarah ditarik, Prof. Susanto mengakui batasnya terletak pada metodologi dan etika sejarah kontemporer. Sejarah dan politik adalah dua sisi mata uang, politik adalah sejarah yang sedang terjadi, dan sejarah adalah politik masa lalu.
“Jangan sejarah jadi pemecah. Kita tidak ingin mencatat yang jelek-jelek hanya untuk provokasi, tapi juga bukan menutup-nutupi,” Katanya.
Di sinilah prinsip selektif dan filosofis bekerja: History in the making tidak harus ditafsir dengan tergesa. Yang disajikan bukan semata peristiwa, tapi narasi kebangsaan, sebagai ruang pembelajaran dan pembangunan karakter.
Penyusunan 10 jilid sejarah nasional ini adalah proyek strategis dalam membangun ulang jati diri bangsa. Sejarah bukan proyek akademik semata, tapi instrumen rekonsiliasi nasional dan pendidikan karakter.
Sejarah bukan hanya tentang deretan fakta, tapi untuk apa fakta sejarah ditulis. Inilah kerja besar yang bukan hanya milik sejarawan, tapi milik seluruh bangsa.