Ia mengakui bahwa dalam ekosistem politik saat ini, kebutuhan akan dukungan finansial untuk partai memang nyata. “Apa yang disampaikan Romi itu tidak salah,” ujarnya jujur.
Namun, Suharso mengajak publik untuk tidak hanya terpaku pada pendekatan pragmatis. Ia menjelaskan bahwa meskipun uang memiliki peran penting dalam proses politik, bukan berarti segalanya harus ditentukan oleh kekuatan modal.
“Burhanuddin Muhtadi dalam tesisnya menyebutkan bahwa 30 persen pemilu di Indonesia ditentukan oleh uang. Tapi artinya 70 persen sisanya tidak ditentukan oleh uang,” terang Suharso,
sambil menekankan bahwa angka 70 persen ini seharusnya menjadi ruang perjuangan utama partai. Ia pun mengajak semua pihak untuk membayangkan jika angka 70 persen itu dapat ditingkatkan menjadi 80 atau bahkan 90 persen.
Artinya, idealisme dan nilai harus menjadi motor utama dalam berpolitik, bukan semata kalkulasi transaksional.
“Pragmatisme itu tidak salah. Pragmatisme harus menggerakkan. Tapi jangan sampai seluruh sistem ditentukan oleh hitung-hitungan,” katanya.
Dengan nada lebih serius, ia kemudian mengkritisi kecenderungan partai politik yang mulai menyerupai wahana investasi, di mana calon penyandang dana kerap mempertanyakan “rate of return” atau tingkat keuntungan dari kontribusi mereka.
“Orang akan bicara soal rate of return-nya, internal rate of return-nya berapa. Kalau saya tanam sekian, dapat apa? Begitu? Partai politik bukan tempatnya seperti itu,” katanya.
Ia mengakui bahwa politik membutuhkan biaya, tetapi ia menolak jika partai dijalankan sepenuhnya seperti korporasi. “Ngono yo ngono, ning ojo ngono,” ungkapnya, sebuah peribahasa Jawa yang berarti: bolehlah realistis, tapi jangan melampaui batas kewajaran moral.
Pembenahan PPP
Menurut Suharso, sebagai partai tua dengan akar sejarah panjang, jejaring ideologis yang luas, dan keinginan kuat untuk kembali berpengaruh di panggung nasional, termasuk mengisi kursi-kursi di Senayan, PPP harus menolong dirinya sendiri terlebih dahulu.
“Saya sering mengatakan kepada teman-teman, yang bisa membantu PPP adalah PPP sendiri,” ujarnya.
Ia menilai pembenahan PPP tidak cukup hanya bertumpu pada figur, tetapi harus dimulai dari pembenahan sistem dan struktur internal partai. Sistem organisasi yang kuat akan memungkinkan siapa pun memimpin dengan efektif, tanpa memandang latar belakang.
Ia merasa selama ini partai terlalu sering terfokus pada tokoh tertentu, padahal yang dibutuhkan adalah mekanisme yang adil dan terbuka untuk semua kader potensial. Tanpa sistem yang rapi, partai akan terus terjebak dalam tarik-menarik kepentingan sesaat.
Kultur Politik Sehat
Suharso menekankan pentingnya membangun kultur politik yang sehat dalam tubuh PPP. Ia menyayangkan masih adanya keluhan dari kader-kader yang merasa tersisih atau tidak dilibatkan hanya karena tidak masuk dalam struktur formal.
Baginya, partisipasi politik tidak harus selalu diwujudkan lewat jabatan struktural. Ia menegaskan bahwa dalam manajemen organisasi modern,
semua kader bisa diberi ruang untuk berkontribusi sesuai kapasitas dan peran masing-masing. Oleh karena itu, ia mendorong partai untuk membangun kultur inklusif dan saling menghargai, bukan saling menyingkirkan.
Salah satu gagasan penting yang ia tawarkan adalah perubahan sistem formatur partai dari model tunggal ke model kolektif berbasis “ahlul halli wal aqdi.”
Ahlul halli wal aqdi merujuk pada sekelompok orang terpilih yang memiliki otoritas untuk membahas dan memutuskan persoalan penting, termasuk memilih pemimpin dalam tradisi Islam.
Menurut Suharso, model ini lebih demokratis karena melibatkan perwakilan dari daerah-daerah secara langsung. Ia membayangkan sistem di mana setiap daerah pemilihan mengutus satu wakil, lalu para wakil ini memilih tim formatur yang akan menentukan kepemimpinan partai.
Dengan sistem ini, ia yakin PPP dapat menjembatani jarak antara suara basis dan elite partai, sekaligus memperkuat legitimasi kepemimpinan secara menyeluruh.
Baginya, pembenahan PPP harus menjadi gerakan bersama yang dimulai dari dalam. Ia tidak percaya pada solusi instan dari luar atau figur penyelamat tunggal. PPP hanya bisa bangkit jika para kadernya bersatu, jujur menilai kelemahan internal, dan berani melakukan pembenahan struktural serta kultural.