Melainkan proyek besar yang melibatkan lebih dari 100 penulis dari seluruh penjuru Indonesia. Ini merupakan sebuah orkestrasi ilmiah berskala nasional
yang disusun agar mewakili keragaman perspektif, baik secara geografis, budaya, maupun disiplin ilmu.
Untuk menjamin efektivitas, struktur kerja tim disusun secara bertingkat. Setiap dari 10 jilid utama dipimpin oleh dua editor jilid, yang kemudian masing-masing membawahi sekitar 10 penulis lintas bidang: sejarawan, arkeolog, hingga antropolog.
“Tiap penulis bertanggung jawab atas sekitar 50 halaman, menjadikan satu jilid terdiri dari 500 halaman lebih,’’ jelasnya.
Ia menjadi salah satu dari tiga editor umum dalam proyek penulisan ulang sejarah nasional Indonesia, yang diprakarsai oleh Kementerian Kebudayaan dan
ditargetkan rampung pada Agustus 2025.
Program ini sebenarnya sudah dimulai sejak Januari, namun, pada tahap awal, prosesnya masih sebatas penjajakan dan perumusan struktur tim.
Kerangka Dasar
Penetapan dirinya sebagai anggota editor umum baru dilakukan sekitar bulan Februari atau Maret. Ia kini bekerja bersama dua editor utama lainnya, yakni Prof. Susanto Zuhdi dari Universitas Indonesia (UI) sebagai ketua, serta Prof. Jajat Burhanudin dari UIN Jakarta.
Bertiga, mereka menyusun kerangka dasar, yang meliputi landasan filosofis, kerangka teoritik, pendekatan metodologis, dan outline narasi sejarah. Dalam
pendekatan ini, sejarah Indonesia tidak hanya dipetakan secara kronologis, tetapi juga dirancang sebagai narasi besar yang mampu menjangkau lintas disiplin dan dimensi kebudayaan.
Penulisan ulang ini tidak sekadar menyegarkan bahasa atau gaya penyajian sejarah, tetapi juga membuka ruang revisi dan penajaman substansi berdasarkan
hasil-hasil riset terbaru.
Draft yang kini sudah berjalan antara 40 hingga 60 persen, dikembangkan oleh tim yang luas, mulai dari editor tiap jilid hingga para penulis lintas bidang yang direkrut dari berbagai wilayah di Indonesia.
“Naskah ini masih sangat terbuka terhadap masukan, baik dari sejarawan yang belum tergabung dalam tim, maupun dari masyarakat luas,” tambahnya.
Semangat inklusivitas ini menjadi penting, mengingat sejarah adalah milik kolektif bangsa, bukan monopoli penguasa atau segelintir akademisi.
Tak Ada Kebenaran Tunggal
Menurutnya sejarah yang disusun ulang ini dirancang dalam 10 jilid, mencakup rentang waktu dari periode prasejarah, yakni saat pembentukan wilayah geografi Nusantara dan kehadiran manusia awal, hingga periode kontemporer, termasuk era reformasi dan masa pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Dikatakan, keputusan ini bukan tanpa pertimbangan, tim memahami bahwa menulis sejarah kontemporer berarti juga menuliskan sejarah yang masih hidup, penuh dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang masih berkembang.
Oleh karena itu, tim menyadari bahwa keterbukaan terhadap masukan publik adalah syarat mutlak agar sejarah ini tidak terjebak menjadi narasi tunggal
yang tertutup dan bias.
Tim tidak hanya mengandalkan hasil kerja internal, tetapi juga membuka ruang luas bagi partisipasi dari luar: para sejarawan independen, peneliti, LSM, jurnalis, hingga masyarakat umum. Bahkan, setiap saran yang masuk akan dipertimbangkan secara serius dalam rapat para editor dan penulis.
“Kami tetap memiliki sikap terbuka untuk masukan-masukan dari siapa pun. Meskipun kami sedang bekerja cepat, semangat kami tetap pada keterbukaan dan
kolaborasi. Tidak ada kebenaran sejarah yang tunggal, apalagi final,” katanya.
Pendekatan yang digunakan bukan semata memperbarui narasi lama, melainkan juga memasukkan temuan-temuan akademik terbaru seperti disertasi, tesis, jurnal ilmiah, hingga dokumen sejarah lisan yang selama dua dekade terakhir semakin berkembang.
Dalam hal sumber dan basis referensi, tim penulis tetap mengacu pada karya-karya besar sejarah sebelumnya—seperti “Sejarah Nasional Indonesia” versi Nugroho Notosusanto (6 jilid) maupun “Indonesia dalam Arus Sejarah” (8 jilid) yang dikembangkan oleh Prof. Taufik Abdullah dan LIPI.
Namun, faktafakta dari karya tersebut tidak diulang secara mentah, melainkan dikaji ulang dengan perspektif baru yang lebih objektif, Indonesiasentris,
dan berpandangan global.
Perspektif global ini menjadi pembeda penting dalam proyek penulisan sejarah kali ini. Menurut nya, terlalu lama sejarah Indonesia dikisahkan seolah-olah terisolasi dari dinamika internasional.
Padahal, banyak peristiwa besar di Indonesia, termasuk tragedi 1965, memiliki keterkaitan langsung dengan konteks geopolitik dunia, terutama Perang Dingin.
Dikatakan peristiwa 1965 bukan hanya persoalan internal bangsa, tapi bagian dari konflik global, dampak dari perang dingin yang menjadikan negara-negara dunia ketiga sebagai ajang perebutan pengaruh antara kekuatan adidaya.
“Kita gagal waspada, dan itu yang membuat kita terpecah,” tambahnya.
Tak Ada Intervensi
Melalui pendekatan ini, sejarah Indonesia tidak lagi dipahami sebagai narasi domestik semata, tetapi sebagai bagian dari sejarah dunia, nasib bangsa ini juga
ditentukan oleh bagaimana ia berinteraksi dengan dinamika global.
Dengan struktur narasi yang terbuka, keterlibatan banyak pihak, serta keberanian menyentuh isuisu kontemporer secara akademik dan jujur, proyek penulisan ulang sejarah Indonesia ini diharapkan tidak hanya menjadi referensi negara, tetapi juga ruang refleksi kritis untuk seluruh rakyat Indonesia.
Terkait kekhawatiran atau ada kecurigaan potensi intervensi kekuasaan dalam punulisan ulang sejarah Indonesia, Prof. Singgih mengatakan, bahwa tidak
ada indikasi tekanan atau arahan politik dari pemerintah. Sebagai editor umum, ia tidak merasakan intervensi dari rezim.
Tim bekerja untuk negara, bukan untuk pemerintah yang sedang berkuasa. Bagi Prof. Singgih, proyek ini bukan untuk mengabdi pada kekuasaan, tetapi untuk menjawab keprihatinan lebih besar: rapuhnya kohesi sosial dan nasionalisme di tengah berbagai krisis yang melanda Indonesia saat ini.
Ia mengatakan bahwa sejarah yang dikonstruksi ulang ini harus menjadi instrumen pengikat kembali persatuan bangsa, bukan alat penguasa untuk menyeleksi narasi yang menguntungkan mereka.
“Kalau tidak ada kohesi sosial, tanpa persatuan nasional, kita bisa menjadi negara almarhum. Seperti Sriwijaya dulu. Ini tugas sejarah: memperkuat fondasi kebangsaan.”jelasnya.
Juga soal kekhawatiran lain yang juga mengemuka adalah soal penghilangan peristiwa-peristiwa sensitif, Prof. Singgih menjelaskan bahwa meskipun draf awal
sempat beredar secara informal dan menimbulkan asumsi, tim tetap terbuka terhadap kritik dan masukan, terutama jika ada fakta dan sumber sejarah yang sahih.
Kekhawatiran itu sebagai masukan. Selama ada faktanya, suaranya, dokumennya— termasuk suara rakyat dan para korban, akan diakomodasi.
“Bahkan kalau nanti setelah terbit masih ada kritik, kami sangat terbuka untuk revisi,” jelasnya.
Negara Berhak Susun Sejarah Tidak boleh Larang Versi Lain
Sejarah yang sedang ditulis ulang ini, pakah akan menjadi sejarah negara, atau hanya salah satu dari sekian banyak versi sejarah, Prof. Singgih memilih posisi tengah.
Bagi dia, negara berhak menulis sejarahnya sendiri sebagai bentuk pertanggungjawaban atas masa lalu dan sebagai alat menjaga keberlangsungan eksistensi bangsa. Namun, ia juga menekankan bahwa negara tidak boleh mematikan versi lain.
Secara eksplisit ia menyebut era pemerintahan saat ini sebagai contoh keterbukaan. Dikatakan di era pemerintahan Prabowo diyakini tidak akan ada pelarangan
terhadap versi lain. Kalau ada sejarawan yang punya perspektif berbeda, silakan menulis sendiri.
‘’Yang tidak boleh adalah menutup ruang itu, seperti yang pernah terjadi di masa Orde Baru,”katanya.
Terkait potensi pemanfaatan hasil penulisan ini sebagai bahan ajar, tim menyadari pentingnya memisahkan antara karya sejarah ilmiah dan naskah pendidikan
formal. Seperti kritik Prof. Anhar Gonggong, buku pelajaran tidak bisa sekadar menyederhanakan sejarah akademik menjadi “mentahan” bagi siswa.
Butuh penyaringan, adaptasi, dan penyesuaian metodologi. Prof. Singgih sepakat, Ia menjelaskan bahwa meskipun sejarah ini berpotensi menjadi rujukan utama (babon) untuk penulisan buku pelajaran, penyusunannya harus tetap melibatkan pakar pendidikan dan pedagog.
“Tentu tidak bisa mentahmentah dijadikan buku pelajaran. Harus ada kurasi dari para guru dan ahli pendidikan. Anak SD dan SMP butuh pewarisan nilai, seperti toleransi dan gotong royong. Sedangkan untuk tingkat SMA, pembelajaran sejarah juga harus menjadi latihan intelektual, bukan indoktrinasi.”katanya.
Ia menekankan bahwa pelajaran sejarah tidak boleh lagi menjadi ruang dogmatis, tapi harus melatih siswa berpikir kritis, analitis, dan argumentatif. Misalnya, memahami mengapa kemerdekaan Indonesia ditetapkan tahun 1945—bukan sekadar hafalan, tetapi berbasis bukti dan logika.
Menyinggung sejarah Indonesia dalam pusaran yang sarat kompleksitas, Prof. Singgih mengatakan bahwa sejarah Indonesia tidak bisa lagi dipandang semata dari dalaharus m, diletakkan dalam konstelasi geopolitik dunia.
Apa yang terjadi di level nasional, tidak bisa dipisahkan dari peristiwa global. “Jika kita hanya berpikir lokal, maka kita hanya akan terus saling menyalahkan.” tambahnya.
Ia mencontohkan tragedi 1965, yang selama ini dipahami sebagai konflik internal antara kekuatan politik domestik. Namun, dalam pandangannya, peristiwa itu
adalah bagian dari proksi global Perang Dingin, di mana negaranegara adidaya—AS dan Uni Soviet—mendorong konflik lewat kaki tangan ideologis di berbagai
belahan dunia.
Dalang sebenarnya bukan hanya yang di dalam negeri, tapi kekuatan global yang sedang mencari boneka ideologis. Kita menjadi korban karena gagal waspada.
Pandangan ini tidak dimaksudkan untuk membebaskan tanggung jawab internal, tetapi untuk melengkapi pemahaman yang utuh, agar sejarah tidak lagi dipakai untuk saling menyudutkan antar kelompok anak bangsa.