Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. - Rektor UNS periode 2011-2019

Prof. Dr. Ravik Karsidi – Sangat Besar Perhatian Soeharto pada Kemajuan Pendidikan Tinggi

Share

Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S. diwawancarai Politik Indonesia, terkait wacana pengusulan gelar pahlawan nasional untuk mantan Presiden Soeharto, yang namanya banyak dikaitkan dengan UNS.

Ia menegaskan bahwa nama Universitas Sebelas Maret tidak ada hubungannya dengan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang lahir sepuluh tahun sebelum UNS berdiri.

UNS sendiri didirikan pada tahun 1976 melalui Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1976 yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto dan diresmikan di Siti Hinggil Keraton Surakarta, karena saat itu kampus UNS belum memiliki gedung sendiri.

Sejarah panjang pendirian UNS yang berawal dari keinginan masyarakat Solo sejak tahun 1955 untuk memiliki universitas negeri di kota mereka. Proses ini melibatkan penggabungan delapan perguruan tinggi swasta dan negeri, termasuk IKIP, Sekolah Tinggi Olahraga Negeri, Akademi Administrasi Negara, dan beberapa institusi lainnya, yang kemudian membentuk Universitas Gabungan Surakarta (UGS) sebelum akhirnya menjadi UNS. Pada tahun 1982, nama universitas ini diubah menjadi Universitas Sebelas Maret, namun singkatannya tetap UNS,

Prof. Ravik menjelaskan bahwa usulan awal nama universitas adalah Universitas Negeri Surakarta. Penetapan nama dengan tanggal 11 Maret muncul setelah kesepakatan bersama para pimpinan perguruan tinggi di Solo dan disahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Prof. Mashuri. Ada kemungkinan nama tersebut berasal dari Presiden Soeharto.

Ia menegaskan bahwa meskipun tidak ada dokumen tertulis yang secara eksplisit menyatakan peran Presiden Soeharto dalam pendirian Universitas Sebelas Maret (UNS), perannya tentu tidak bisa diabaikan. Sebagai presiden yang menyetujui dan meresmikan berdirinya UNS, serta yang menugaskan rektor pertama, Soeharto memiliki andil penting dalam proses tersebut.

Rektor pertama yang ditunjuk adalah Brigjen Haryo Mataram, seorang putra keraton, yang menjabat selama sedikit lebih dari satu tahun. Ia kemudian digantikan oleh mantan rektor IKIP Negeri, Parmanto, dan selanjutnya oleh Brigjen Dr. Prakoso yang memimpin selama dua periode.

Masa jabatan Dr. Prakoso ditandai dengan percepatan pembangunan kampus utama UNS di atas lahan lebih dari 60 hektar, yang berlangsung sangat cepat dan sempat menimbulkan rasa iri dari universitas lain yang lebih dulu berdiri.

Kampus UNS kini tersebar di beberapa lokasi di Kota Solo, dengan kampus utama yang paling luas dibangun sejak awal hingga akhir 1980-an. Kampus-kampus lain merupakan bekas institusi yang bergabung dalam pendirian UNS, seperti IKIP dan Sekolah Tinggi Olahraga, yang kini digunakan secara optimal.

Javanologi

Mengenai kultur dan nilai-nilai yang dianut UNS, Prof. Ravik menegaskan bahwa universitas ini sangat dekat dengan nilai-nilai budaya Jawa yang menjadi basis visi UNS untuk menjadi universitas kelas dunia yang tetap berpijak pada budaya lokal. Salah satu wujud nyata adalah keberadaan Pusat Studi Javanologi yang berupaya mengangkat nilai-nilai lokal ke tingkat nasional bahkan global.

Selain itu, UNS juga dikenal sebagai “kampus benteng Pancasila,” sebuah julukan yang mencerminkan komitmen universitas dalam mengembangkan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Di kampus ini terdapat enam fasilitas ibadah untuk berbagai agama yang ditempatkan dalam satu lokasi yang disebut Monumen Benteng Pancasila. UNS juga memiliki Pusat Studi Pengamalan Pancasila sebagai bagian dari upaya menjaga dan menguatkan nilai-nilai kebangsaan.

Meskipun tidak ada bukti dokumenter yang menunjukkan adanya alokasi khusus beasiswa dari Yayasan Supersemar kepada mahasiswa UNS, hubungan UNS dengan yayasan-yayasan yang terkait dengan keluarga Soeharto tetap terjalin erat. Salah satunya adalah kerja sama dengan Yayasan Danamandiri yang dipimpin oleh Prof. Haryono Suyono, yang juga dikenal sebagai ketua harian yayasan tersebut.

Dalam masa jabatannya sebagai rektor, Prof. Ravik aktif membina desa-desa melalui program Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di sekitar Surakarta, yang merupakan bagian dari program sosial yayasan tersebut.

Ia juga mengungkapkan bahwa meskipun ada beberapa usulan dari alumni untuk mengganti nama UNS yang mengandung kata “Sebelas Maret” karena tidak ada kaitan langsung dengan Supersemar, Senat Universitas menolak dan nama tersebut tetap dipertahankan hingga kini.

Gelar Pahlawan

Mengenai pengusulan gelar pahlawan nasional untuk Presiden Soeharto, Prof. Ravik memberikan pandangan yang seimbang dan penuh pertimbangan. Ia menyatakan bahwa penilaian atas sosok Soeharto sebaiknya diserahkan kepada panitia yang memiliki kriteria dan mekanisme penilaian yang jelas.

“Tentu ada kriterianya, kalau memang layak tentu seharusnya diberi,” katanya.

Menurutnya, Soeharto memiliki sisi positif yang tidak bisa diabaikan, terutama dalam perhatian dan pengembangan pendidikan tinggi selama masa pemerintahannya, meskipun tingkat partisipasi pendidikan tinggi saat itu masih rendah. Soeharto juga dikenal sebagai Bapak Pembangunan Nasional yang menempatkan stabilitas politik dan sosial sebagai prioritas utama, yang berdampak pada suasana aman dan kebutuhan pokok masyarakat yang relatif terpenuhi.

Prof. Ravik mencontohkan berbagai program pembangunan yang berhasil pada masa Soeharto, seperti proyek SD Inpres yang mendapat penghargaan dari PBB, pencapaian swasembada beras, pembangunan infrastruktur jalan dan listrik pedesaan, serta keberhasilan program keluarga berencana yang dipimpin oleh Prof. Haryono Suyono.

Namun, ia juga mengakui adanya sisi negatif, seperti pembatasan kebebasan berpendapat dan kontrol ketat terhadap aktivitas mahasiswa dan intelektual, yang dirasakan sebagai represif oleh kalangan aktivis dan mahasiswa pada masa itu.

Pengalaman pribadinya sebagai mahasiswa pada era tersebut menunjukkan adanya kebijakan yang meringankan beban biaya pendidikan, seperti pelarangan pungutan uang pangkal yang membuat biaya kuliah hanya terbatas pada SPP. Ia tidak menampik bahwa kebijakan represif dan pengawasan ketat terhadap kegiatan kampus dan masyarakat merupakan dampak dari peristiwa politik seperti Malari 1974 dan NKK-BKK 1978.

Ravik memberikan pesan kepada generasi muda dan masyarakat luas dalam menilai sosok Soeharto. Sebagai orang Jawa yang hidup di lingkungan akademik yang menghargai budaya lokal, ia mengutip filosofi Jawa “mikul duwur mendem jero” yang berarti mengangkat setinggi-tingginya kebaikan seseorang dan merendam sedalam-dalamnya kekurangan atau kejelekan orang tersebut.

Sikap ini menurutnya tepat untuk menghargai jasa dan kebaikan Soeharto sekaligus mengakui kekurangan yang ada. Ia menegaskan bahwa memberikan penghargaan dan mengambil pelajaran dari hal-hal positif bukanlah sebuah kesalahan, sama seperti kita menghormati orang tua dengan cara yang sama.

Artikel Terkait