Peringatan Ulang Tahun Di Tengah Hujan Kritik – Oleh Herutjahjo Soewardojo

Share

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia memperingati usianya yang ke- 80 pada Jumat, 29 Agustus 2025. Namun, perayaan tersebut nyaris tak terdengar gaungnya. Sorotan publik justru lebih tertuju pada gelombang demonstrasi yang terjadi di sekitar Kompleks Parlemen Senayan dan di berbagai wilayah Tanah Air.

Para pengunjuk rasa memprotes kenaikan signifikan gaji anggota DPR yang dianggap tidak selaras dengan kondisi rakyat yang sedang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kekecewaan publik semakin memuncak ketika sebuah video anggota DPR berjoget riang setelah pengumuman kenaikan gaji tersebar di media sosial. Bagi sebagian masyarakat, tindakan tersebut terasa menyakitkan hati, seolah-olah meremehkan penderitaan rakyat.

Selain itu, pernyataan bernada merendahkan seperti “tolol sedunia” dari beberapa anggota Dewan semakin memperburuk citra lembaga legislatif di mata publik.

Meski anggota DPR tersebut telah meminta maaf, publik tampaknya masih menyimpan kekecewaan. Hal ini akhirnya memicu bukan hanya aksi demonstrasi, tetapi juga kerusuhan massa di berbagai tempat. Tentu, kekerasan dan anarkisme tidak pernah menjadi solusi.

Indonesia sendiri telah memilih jalan demokrasi dengan menerapkan prinsip Trias Politica, yang memisahkan kekuasaan negara ke dalam tiga cabang utama: legislatif (pembuat undang-undang),sekutif (pelaksana undang-undang), dan yudikatif (penegak hukum).

Konsep ini hadir untuk mencegah tirani dan penyalahgunaan kekuasaan melalui mekanisme check and balances. Dalam sistem ini, DPR memegang peran strategis: menyusun undang-undang, mengelola anggaran negara, sekaligus mengawasi jalannya pemerintahan.

Namun, dalam praktik sehari-hari, idealisme itu kerap berjarak dengan kenyataan. Sejak awal, Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) telah menyampaikan skeptisisme karena dari 580 anggota Dewan, 370 anggota diantaranya wajah lama yang sebelumnya sudah pernah menjabat dan 210 wajah baru.

Menurut kajian LSM yang fokus melakukan pemantauan, analisis, dan evaluasi kinerja parlemen itu, DPR sering terjebak dalam kepentingan politik dan kekuasaan dibanding mengutamakan kualitas kebijakan publik. Pembahasan undang-undang pun dinilai sering tergesa-gesa dan minim partisipasi publik.

Dari 580 anggota DPR, Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus (pendukung pasangan Prabowo-Gibran) memiliki 470 kursi dari total 580 kursi DPR atau sebesar 81,0 persen.

Di luar koalisi besar itu hanya ada satu partai, yakni PDI Perjuangan, yang merupakan pemenang Pemilu Legislatif 2024 dan menguasai 110 kursi atau 19,0 persen kursi DPR. Komposisi itu membuat DPR rawan terjebak dalam kolaborasi yang terlalu erat dengan eksekutif, sehingga fungsi kontrol kerap melemah.

Ulang tahun ke-80 ini seharusnya menjadi momentum bagi DPR untuk melakukan refleksi dan mawas diri. Pimpinan partai telah menonaktifkan anggotanya di parlemen yang “bermasalah”. Ini layak diapresiasi,

Namun secara sistemik sejatinya rakyat berharap para wakilnya lebih peka, rendah hati, serta berani memperjuangkan kepentingan nasional. Memang benar, anggota DPR dipilih melalui mekanisme politik partai yang sah, dan publik harus menerima hasil

Pemilu. Namun, legitimasi politik hanya akan bermakna jika dibarengi dengan integritas, akuntabilitas, empati, serta komitmen memperjuangkan kesejahteraan rakyat.

DPR juga perlu memahami bahwa krisis kepercayaan publik bukan hanya soal gaji atau gaya hidup mewah anggotanya. Lebih dalam lagi, krisis ini mencerminkan jurang antara representasi formal dan representasi substantif.

Rakyat tidak sekadar memilih wakil untuk duduk di Senayan, melainkan menitipkan harapan akan hadirnya kebijakan yang adil, berpihak, dan mampu menjawab kebutuhan riil masyarakat. Jika jurang ini dibiarkan melebar, bukan tidak mungkin kepercayaan terhadap demokrasi pun ikut terkikis.

Harapan publik sesungguhnya sederhana, anggota DPR mau mendengar suara rakyat, menyerap aspirasi, dan menyalurkannya secara tulus serta tentu saja, menjaga kerukunan dan keutuhan NKRI.

DPR juga perlu menata ulang relasinya dengan publik. Keterbukaan informasi, mekanisme partisipasi yang inklusif, serta keberanian membuka ruang dialog adalah langkah krusial.***

Artikel Terkait