Mempertahankan posisi sampai saat ini atau membuka jalan regenerasi, mempertegas garis ideologi atau merumuskan ulang peran politik pemerintahan,
Di balik dinamika internal, ada tekanan eksternal yang membayangi, mulai dari wacana penggembosan hingga isu kriminalisasi tokoh partai. Di sinilah PDIP diuji, bukan hanya sebagai partai politik, tetapi sebagai institusi yang mengklaim akar ideologis paling kuat dalam demokrasi Indonesia.
Apakah Kongres 2025 akan menjadi momentum konsolidasi dan kebangkitan, atau justru mencerminkan stagnasi dalam menghadapi zaman yang berubah cepat? Pertanyaan ini tidak hanya milik PDIP, tapi juga datang dari publik yang menanti arah baru politik nasional.
Kongres VI Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) semula dijadwalkan berlangsung pada April 2025, namun hingga kini belum ada tanda tanggal pastinya. Ketua DPP PDIP Puan Maharani mengungkapkan bahwa pembahasan jadwal kongres baru akan dimatangkan setelah Idul Fitri. Pernyataan ini menegaskan bahwa PDIP masih menakar situasi politik dan internal sebelum memutuskan momentum strategis penyelenggaraan kongres lima tahunan tersebut.
Kongres PDIP bukan sekadar agenda rutin organisasi. Ini adalah forum tertinggi partai yang menjadi panggung penetapan arah politik, penguatan ideologi, evaluasi kinerja, serta penentuan figur sentral partai lima tahun ke depan. Dalam konteks pasca- Pemilu 2024, Kongres VI memiliki bobot politik yang lebih besar dari sebelumnya.
Solo Kandidat Tuan Rumah
Dari sisi lokasi, muncul usulan menarik dari Ketua DPC PDIP Solo, FX Hadi Rudyatmo, agar Kota Solo menjadi tuan rumah kongres. Stadion Manahan bisa disiapkan sebagai lokasi utama. Jika disetujui, ini akan menjadi momen simbolis, karena Solo merupakan basis kuat PDIP dan kota kelahiran Presiden Joko Widodo, figur yang memiliki sejarah panjang bersama partai berlambang banteng tersebut.
Pemilihan lokasi ini juga bisa memiliki implikasi politis tersendiri. Di tengah spekulasi jarak antara PDIP dan Presiden Jokowi yang makin melebar usai Pemilu, menjadikan Solo sebagai panggung kongres bisa dibaca sebagai sinyal rekonsiliasi atau sebaliknya, manuver untuk menegaskan kemandirian politik PDIP.
Isu utama yang paling dinanti adalah soal kepemimpinan partai. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto pernah memastikan bahwa seluruh DPD PDIP telah bulat meminta Megawati Soekarnoputri untuk kembali menjabat sebagai Ketua Umum periode 2025–2030. Jika disetujui, ini akan menandai kepemimpinan Megawati selama lebih dari dua dekade, memperkuat posisi simbolis dan ideologisnya di tubuh PDIP.
Di balik dukungan penuh terhadap Megawati, muncul juga harapan regenerasi. Nama-nama seperti Puan Maharani mulai mengemuka sebagai bagian dari transisi kepemimpinan di masa mendatang. Kongres kali ini bisa menjadi titik awal pembentukan poros baru yang akan memegang kendali partai di era pasca-Megawati.
Simbolisme Megawati
Megawati masih menjadi poros kekuatan PDIP. Dalam pidatonya di HUT PDIP ke-52, ia menggunakan istilah Italia, Vivere Pericoloso, menggambarkan bahwa partai sedang dalam masa sulit, menyerempet bahaya. Namun, ia juga memberi isyarat bahwa PDIP terbiasa melewati tekanan dari masa ke masa.
Isu regenerasi tetap menjadi perdebatan. Dalam wacana publik dan internal partai, nama-nama seperti Puan Maharani dan Prananda Prabowo mulai disebut-sebut sebagai figur penerus. Namun belum ada pernyataan resmi yang menegaskan langkah transisi tersebut di Kongres nanti.
Selain tekanan internal, PDIP juga mendapat sorotan eksternal. Sejumlah baliho di Jakarta yang mempertanyakan legitimasi Megawati dinilai sebagai serangan simbolik terhadap struktur partai. Ketua DPP Ronny Talapessy menyebut ini sebagai bentuk penggiringan opini yang berbahaya.
Di tengah gejolak yang ada, DPP PDIP mengumumkan rencana mengundang Presiden Prabowo Subianto sebagai tamu kehormatan di Kongres. Pertemuan antara Megawati dan Prabowo yang direncanakan sebelum Kongres menjadi sorotan tajam publik dan elite politik. Ketua Banggar DPR RI, Said Abdullah, membantah bahwa ini merupakan bagian dari barter politik.
“Jangan disimpulkan sebagai dagang sapi. Ini adalah relasi kebangsaan,” ujarnya.
Menurutnya, PDIP tetap akan berada di luar pemerintahan, tapi menjadi mitra konstruktif, bukan oposisi dalam arti sempit.
Konsolidasi dan Arah Baru
Situasi menjelang kongres juga diwarnai oleh dinamika eksternal yang kompleks. Megawati mengungkap adanya pihak-pihak yang ingin menggagalkan atau mengacaukan jalannya kongres. Isu ini diperkuat dengan spekulasi tentang upaya hukum terhadap Sekjen Hasto Kristiyanto, yang disebut-sebut menjadi target penahanan menjelang kongres. Tim hukum PDIP menilai manuver ini sebagai bentuk intervensi politik terhadap konsolidasi partai.
Tuduhan dan spekulasi tersebut menjadi refleksi dari medan politik nasional yang masih panas pasca-Pemilu 2024. Apalagi, posisi PDIP sebagai partai pemenang pemilu legislatif namun berada di luar pemerintahan berpotensi menciptakan ketegangan politik baru dalam sistem presidensial Indonesia.
Di tengah tantangan eksternal dan harapan internal, Kongres VI PDIP 2025 menjadi ajang konsolidasi besar. Partai diprediksi akan menetapkan arah strategis baru sebagai kekuatan oposisi atau justru membuka ruang manuver politik ke dalam pemerintahan baru. Isu-isu seperti reformasi internal, penguatan kaderisasi, serta arah ideologis partai akan menjadi bagian penting dalam pembahasan.
Bagi PDIP, tantangan terbesarnya adalah menjaga soliditas di tengah tekanan eksternal dan ekspektasi regenerasi internal. Apakah partai ini akan tetap bertumpu pada figur sentral atau mulai membuka ruang kepemimpinan kolektif, jawabannya akan terlihat dalam Kongres VI nanti.
Menanti Kongres Menunggu Kepastian
Menjelang digelarnya Kongres VI, satu hal yang pasti: PDIP tidak sedang baik-baik saja. Dari Lenteng Agung hingga ke basis-basis massa di Solo dan Surabaya, tensi politik mengental.
Partai ini bukan hanya sedang memilih pemimpin, tapi juga sedang menentukan arah sejarahnya: tetap menjadi partai rakyat, atau menjadi partai keluarga.
Megawati pernah berkata, “Hidup itu Vivere Pericoloso — menyerempet bahaya.” Kini, justru PDIP yang sedang berada di tubir jurang bahaya, antara penguatan atau perpecahan, antara sejarah dan masa depan.
Kongres VI PDIP, yang semula direncanakan berlangsung April 2025, menjadi agenda krusial di tengah badai konflik internal, manuver politik eksternal, serta tekanan hukum terhadap sejumlah elite. Penundaan kongres karena bertepatan dengan bulan puasa hanya menjadi jeda sejenak, bukan jeda dari gejolak.
Ketua DPP PDIP Puan Maharani menyatakan bahwa kongres akan membahas struktur partai, termasuk posisi Sekretaris Jenderal yang hingga kini masih dijabat Hasto Kristiyanto, meski telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Ya pasti (dibahas). Di kongres harus ada pembaharuan struktur dari atas sampai bawah,” kata Puan Maret lalu.
Namun lebih dari sekadar pembaharuan struktural, kongres ini adalah pertaruhan besar arah politik PDIP, mempertahankan dominasi Megawati atau membuka ruang regenerasi.
Cawe-cawe Kekuasaan
Sumber internal PDIP yang tidak ingin disebutkan namanya menyebutkan terdapat upaya “cawe-cawe” dari mantan Presiden Joko Widodo untuk memengaruhi komposisi pengurus baru PDIP. Manuver ini disebut menyasar posisi strategis, termasuk sekretaris jenderal.
Pakar politik dari Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi, melihat pemecatan terhadap Jokowi dan keluarganya sebagai langkah berani tapi penuh risiko.
“PDIP sedang memainkan kartu ideologisnya, tapi publik bisa membaca itu sebagai eksklusivisme yang menggerus daya tarik elektoral,” jelasnya.
Pakar politik dari Perludem, Titi Anggraini, melihat Langkah dan posisi saat ini sebagai cara PDIP menjaga relevansi.
“Berada di luar pemerintahan bukan berarti oposisi. Tapi PDIP harus konsisten menjaga marwahnya sebagai partai ideologis,”paparnya.