Hal ini disampaikan oleh Menag Nasaruddin dalam sebuah forum internasional di Georgetown University yang diselenggarakan oleh School of Foreign Service Institute for the Study of Diplomacy dan Aled Center for Muslim-Christian Understanding di Washington, Amerika Serikat (20/5/2025).
Forum tersebutoderatori oleh Dr. Nader Hashemi dan juga menghadirkan Dr. Kevin W. Fogg, seorang cendekiawan Islam di Asia Tenggara serta Wakil Direktur Carolina Asia Center di University of North Carolina di Chapel Hill.
Menag menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara dengan keragaman yang luar biasa, dengan lebih dari 700 bahasa, 1.300 suku bangsa, enam agama resmi, dan ratusan kepercayaan lokal.
Dalam konteks ini, agama bukan hanya menjadi identitas spiritual, tetapi juga elemen penting dalam menjaga kohesi sosial dan stabilitas politik.
“Tidak ada kebijakan strategis di Indonesia yang diambil tanpa mempertimbangkan nilai-nilai agama,” ujar Nasaruddin yang juga pernah menempuh studi post – doktoral di Georgetown University.
Curriculum of Love
Ia juga menegaskan bahwa kebebasan beragama dijamin oleh konstitusi, namun dijalankan dengan tanggung jawab serta penghormatan terhadap hak orang lain. Ini merupakan wujud moderasi beragama di Indonesia.
Salah satu program prioritas Kementerian Agama di bawah kepemimpinan Nasaruddin adalah Curriculum of Love, yaitu kurikulum berbasis cinta kasih yang menanamkan nilai-nilai kebangsaan, toleransi, dan penghargaan terhadap keragaman dalam sistem pendidikan.
“Kami menanamkan bahwa menjadi orang beragama berarti menjadi warga negara yang baik. Toleransi bukan berarti menyamakan semua agama, melainkan menghormati perbedaan,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya merawat tradisi lokal sebagai bagian dari ekspresi keberagamaan yang hidup dan dinamis.
Kesetaraan Gender
Dalam forum tersebut, Nasaruddin juga menekankan komitmen Indonesia dalam mendukung kesetaraan gender. Menurutnya, pendekatan berbasis agama telah berhasil memperluas akses pendidikan dan partisipasi politik bagi perempuan.
“Di Indonesia, tidak kurang dari 25 persen lembaga pendidikan dikelola oleh organisasi keagamaan. Mereka menjadi ujung tombak dalam pemberdayaan perempuan,” ujar Nasaruddin. I
Ia menyebut gerakan perempuan di Indonesia sebagai salah satu yang paling sukses di dunia Islam. Menag juga memaparkan konsep ekoteologi, yaitu pendekatan keagamaan yang mengintegrasikan pelestarian lingkungan sebagai bagian dari ibadah.
Dalam pandangannya, akar masalah krisis lingkungan global bukan hanya teknologi, tetapi juga cara manusia memandang diri dan alam semesta.
“Menanam pohon adalah ibadah ekologis. Itu wujud nyata cinta kepada Tuhan dan ciptaan-Nya,” katanya.
Ia menambahkan bahwa Kementerian Agama telah merintis gerakan penanaman pohon di lingkungan sekolah, kantor, dan rumah ibadah untuk membangun kesadaran ekologis kolektif.
Gerakan ini juga dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan karakter, khususnya bagi siswa madrasah dan santri, agar mencintai lingkungan sejak dini.
Dialog Abrahamik
Nasaruddin mengutip Surat Al-Baqarah ayat 62 yang menjelaskan bahwa keselamatan dan kebahagiaan tidak eksklusif untuk umat Islam, tetapi juga berlaku bagi mereka yang beriman kepada Tuhan dan berbuat baik, termasuk kaum Yahudi, Kristen, dan Sabiin.
“Kita semua adalah pewaris agama Abrahamik. Mari bersama-sama menjadikan dunia ini lebih baik,” imbuhnya.
Dalam forum yang dihadiri berbagai tokoh lintas agama dan budaya tersebut, pesan yang disampaikan Menag RI mencerminkan kontribusi Indonesia dalam mengangkat nilai-nilai moderasi, keberagaman, dan keberlanjutan ke pentas global.
**Dari berbagai sumber