“Sejarah itu paling terbuka, di antara semua ilmu. Tidak hanya sejarawan profesional yang berhak menulis sejarah, melainkan siapa saja yang merasa memiliki kemampuan dapat melakukannya,” katanya.
Ia menekankan bahwa yang menjadi kunci bukanlah siapa yang menulis, melainkan bagaimana penulis tersebut menggunakan sumber dan menginterpretasi fakta. Bukan soal diakui atau tidak, lebih pada sumber apa dan bagaimana menginterpretasi, dan memberikan analisa terhadap fakta yang digunakan.
Dengan kata lain, validitas sebuah karya sejarah sangat bergantung pada metodologi yang digunakan oleh penulisnya. Dalam konteks ini, kemampuan metodologi menjadi faktor penting yang membedakan karya sejarah yang kredibel dengan yang kurang dapat dipertanggungjawabkan.
Ia mengingatkan bahwa meskipun sejarah adalah ilmu yang terbuka, penulis harus memiliki kemampuan analisis dan pemahaman yang memadai agar hasil tulisannya dapat diterima secara ilmiah.
Arena Sensitif
Penulisan sejarah menurut Anhar, sering kali menjadi arena yang sensitif dan penuh konflik, terutama ketika berkaitan dengan kepentingan negara. Ia mencontohkan kasus internasional antara Cina dan Jepang,
di mana penulisan sejarah tentang pendudukan Jepang di Cina memicu kemarahan dan kontroversi yang berujung pada pengunduran diri Menteri Pendidikan Jepang.
“Misalnya Cina marah sama Jepang, ketika dia menulis Jepang mau menghilangkan berbagai fakta sejarah yang berkaitan dengan bagaimana ketika dia menduduki Cina. Cina marah, Menteri Pendidikan Jepang malah mengundurkan diri gara-gara itu,” ujarnya.
Pengalaman serupa juga pernah terjadi di Indonesia. Anhar menjelaskan tentang proyek penulisan sejarah yang dipimpin oleh Nugroho, yang menghasilkan enam jilid buku sejarah. Proyek ini sempat menimbulkan perdebatan panjang dan konflik di kalangan akademisi dan pemerintah.
Kemudian, proyek tersebut berkembang menjadi delapan jilid dengan editor baru, termasuk Taufik Abdullah dan Abel Lapian. Semua tak pernah lepas dari kritik dan perdebatan.
Anhar sendiri pernah terlibat dalam proyek tersebut ketika masih menjabat sebagai Deputi Menteri Bidang Sejarah dan Purbakala. Ia mengorganisir dan mengurus pendanaan proyek tersebut. Setelah tidak lagi menjabat, ia dikeluarkan dari tim editor.
“Begitu saya tidak punya jabatan lagi saya di depak, saya tidak lagi menjadi editor, tapi saya hanya diminta untuk memilih salah satu untuk menulis. Saya bilang, tidak mau. Saya tidak merasa perlu,” ungkapnya.
Tantangan Metodologis
Dalam konteks penulisan sejarah resmi, Anhar menyoroti tantangan metodologis yang harus dihadapi. Ia menegaskan bahwa penulisan sejarah bukan sekadar soal siapa yang menulis, melainkan bagaimana sumber digunakan dan fakta diinterpretasi secara ilmiah.
Hal ini menjadi penting agar narasi sejarah yang dihasilkan tidak semata-mata menjadi alat politik atau propaganda, melainkan karya yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Menurutnya, meskipun terjadi perbedaan pendapat dan konflik dalam penulisan sejarah, bukubuku sejarah yang diajarkan di sekolah tetap menggunakan
rujukan yang ada saat ini.
Ia menyoroti pengalaman masa lalu ketika enam jilid buku sejarah yang dipimpin oleh tim Nugroho berhasil disusun, namun kemudian menimbulkan konflik internal sehingga diterbitkan tanpa nama salah satu editor utama, Prof. Sartono.
Anhar menegaskan bahwa pendekatan tersebut kurang tepat. Ia menyarankan agar buku sejarah untuk tingkat pendidikan yang berbeda ditulis oleh tim yang berbeda pula. Buku sejarah untuk siswa SMA dan SMP sebaiknya disusun secara khusus, terpisah dari buku sejarah yang ditujukan untuk mahasiswa atau pembaca umum.
“Jangan setelah semacam buku sejarah istilahnya buku sejarah Babon yang disingkat untuk menjadi pelajaran sejarah pada kelas yang lebih bawah,” katanya.
Mengenai kemungkinan perbedaan substansi antara buku sejarah untuk sekolah dan untuk umum, hal itu wajar dan bahkan diperlukan.
Setiap tim penulis harus mempertimbangkan periode, fakta, dan sumber yang relevan untuk tingkat pendidikan yang dituju. Perbedaan interpretasi dan sumber yang digunakan oleh penulis juga merupakan hal yang lumrah dalam ilmu sejarah.
“Saya menulis tentang periode G30S misalnya, mungkin berbeda dengan orang lain, bagaimana menginterpretasikannya, itu tidak apa-apa, itu malah memperluas pengetahuan orang,” jelasnya.
Perbedaan Tafsir
Terkait perbedaan tafsir dalam sejarah, Prof. Anhar mengajak pembaca untuk bersikap terbuka dan menerima adanya berbagai pendapat yang berbeda. Ia
menegaskan pentingnya tidak menyamakan buku sejarah pelajaran dengan versi singkatan dari buku sejarah umum,
melainkan harus ada tim khusus yang menangani penulisan untuk tingkat pendidikan yang berbeda. Penulisan ulang sejarah Indonesia yang tengah berlangsung dengan target penyelesaian pada Agustus mendatang,
menjadi sorotan berbagai kalangan, termasuk para sejarawan yang memberikan kritik dan catatan penting. Ia menegaskan bahwa keputusan akhir sepenuhnya berada di tangan Menteri dan tim yang ditunjuk.
“Ini adalah haknya menteri dan timnya, apakah menterinya dan timnya itu mau mendengar kritikkritik itu. Saya tidak menganggap itu sesuatu yang harus menyebabkan tidak terjadi penulisan hanya karena kritik itu,” jelasnya.
Di berbagai negara, pemerintah memiliki peran utama dalam menentukan buku sejarah yang digunakan dalam pendidikan formal. Ia mencontohkan sistem di mana seorang ahli sejarah ditunjuk untuk menulis buku sejarah sekolah selama beberapa tahun, dan buku tersebut akan diperiksa ulang secara berkala.
Jika dianggap perlu, penulis dapat diganti sesuai kebijakan pemerintah. “Berbeda kalau penulisan sejarah yang umum dengan yang mau digunakan di dalam pendidikan sekolah, beda,” tegasnya.
Dalam hal sumber dan periode yang akan diajarkan kepada siswa, Prof. Anhar menekankan pentingnya diskusi antara pemerintah dan tim penulis untuk
menentukan materi yang relevan dan sesuai tingkat pendidikan.
Ia membedakan antara buku sejarah untuk siswa SMA dan SMP dengan buku sejarah untuk mahasiswa yang lebih terbuka dan mendalam.
“Kalau mahasiswa sudah berbeda karena sudah lebih terbuka semua sumbernya, malah dia harus mencari sumber yang sebanyak-banyaknya,” katanya.
Tulis yang Baru
Mengenai kemungkinan revisi setelah buku diterbitkan, ia menyatakan bahwa hasil penulisan tidak pernah sempurna dan selalu ada ruang untuk karya baru. Ia
mengingatkan pengalaman masa lalu ketika buku sejarah enam jilid yang ditulis tim Nugroho mendapat kritik tajam,
namun tidak ada yang menulis ulang buku baru sebagai alternatif. “Kalau anda tidak setuju dengan itu tulis yang baru, tapi enggak ada juga tuh yang menulis,” ujarnya.
Terkait kekhawatiran bahwa penulisan sejarah selalu dipengaruhi oleh kepentingan politik atau penguasa, Anhar mengakui hal tersebut adalah fenomena umum di banyak negara, termasuk Amerika Serikat.
Namun, ia menyoroti bahwa di beberapa negara, pemerintah lebih terbuka untuk berdiskusi dan menetapkan standar yang jelas untuk buku sejarah yang digunakan di sekolah.
Ia juga menegaskan perbedaan antara buku sejarah untuk pendidikan formal dan buku sejarah untuk tingkat yang lebih tinggi, seperti mahasiswa, yang memiliki kebebasan lebih besar dalam mencari dan menulis sejarah.
“Mahasiswa sejarah sudah berhak untuk menulis, entah di koran, entah berupa buku, karena dia sudah merasa punya kemampuan tertentu sebagai seorang mahasiswa sejarah. Tapi kalau anak SMA kan tidak mungkin,” jelasnya
Tanpa Pelajaran di Sekolah Ada Generasi Buta Sejarah
Dalam upaya menjaga keakuratan dan kredibilitas penulisan ulang sejarah Indonesia, tim penulis yang dibentuk oleh pemerintah merekrut lebih dari 100 pakar dari seluruh Indonesia.
Menurutnya, jumlah pakar sebanyak itu memang tidak sedikit dan menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana pembagian kerja dan koordinasi di antara mereka.
“Kalau mereka menganggap perlu seperti itu ya enggak apaapa sih. Tapi apakah tidak terlalu banyak orang juga, 100 itu enggak sedikit, dan bagaimana kerja dari 100 orang itu dalam rangka penulisan itu,” ujarnya.
Ia mengingatkan bahwa tantangan koordinasi ini bukan hal baru, karena pada masa lalu tim penulisan sejarah yang dipimpin oleh Taufik Abdullah dan Santo juga melibatkan banyak orang.
Namun, ia sendiri pernah menolak terlibat dalam tim tersebut. Ia juga menyinggung proyek sejarah daerah yang pernah dilakukan ketika ia menjabat sebagai direktur.
Proyek tersebut menghasilkan berbagai karya sejarah daerah yang lengkap, mencakup sejarah pergerakan, pendidikan, revolusi, dan lain-lain dari berbagai wilayah di Indonesia.
Sayangnya, ia tidak mengetahui keberadaan arsip tersebut saat ini. “Tinggal kalau mereka mau menggunakannya ya tinggal mereka cari,” katanya.
Peran Sejarah
Mengenai pentingnya sejarah sebagai bahan pelajaran, ia menegaskan bahwa sejarah berperan sebagai sarana pendidikan politik, perekat kebangsaan, dan pelajaran agar bangsa tidak mengulangi kesalahan masa lalu.
Namun, ia mengungkapkan kekhawatirannya terhadap generasi muda yang kini banyak yang “buta sejarah” karena sejarah tidak lagi mendapat perhatian serius dari pemerintah.
“Sejarahnya dihilangkan digabung dengan kewarganegaraan,” ujarnya.
Ia berharap agar penulisan sejarah yang sedang berlangsung dapat dilakukan dengan lebih baik, tanpa terjebak pada perbedaanperbedaan yang tidak produktif,
serta menggunakan sumber dan metodologi yang benar.
Ia menegaskan bahwa buta sejarah jauh lebih berbahaya daripada adanya perbedaan tafsir dalam sejarah. “Kalau buta sejarah, bisa menyebabkan republik ini hilang,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa perbedaan dalam penulisan sejarah adalah hal yang wajar dan bahkan memperkaya ilmu sejarah.
“Saya berbeda dengan sejarah yang lain, karena sumber saya yang berbeda, metodologi yang saya gunakan juga berbeda dan itu hal yang terbuka, ilmu sejarah paling terbuka diantara semua ilmu sosial” ujarnya.
Penulisan ulang sejarah Indonesia harus menjadi upaya yang serius dan terstruktur, dengan melibatkan para pakar secara efektif dan menjaga integritas
metodologis.
Sejarah harus tetap menjadi bagian penting dari pendidikan nasional agar generasi muda tidak kehilangan jejak perjalanan bangsa dan dapat belajar dari masa lalu demi masa depan yang lebih baik.