Atas inisiatif Pimpinan Daerah Muhammadiyah Ponorogo, pada 8 Mei 1982, fakultas ini diubah menjadi Universitas Muhammadiyah Ponorogo dan disahkan oleh Kemendikbud pada 1986.
Menurut Rektor Dr. Rido Kurnianto, M.Ag, UMPO meraih akreditasi B pada tahun 2020 dan ditargetkan menyandang Akreditasi Unggul pada 2025. Prosesnya panjang, membutuhkan ketekunan, dan menghadapi tantangan teknis serta administratif.
“Persiapan dilakukan selama enam bulan, melibatkan delapan unit besar, tujuh fakultas, dan satu pascasarjana dengan 28 program studi yang disinkronkan,” ujarnya.
Tantangan Administrasi
Tantangan yang paling nyata ada di sistem administrasi yang masih semi-manual, dengan dokumen penting tersebar di berbagai arsip fisik, bahkan beberapa tersimpan bertahun-tahun, menyita waktu dan tenaga.
Tim mengusung prinsip harakah tarbiyah, semangat kebersamaan, dan visi selaras. Setelah dua simulasi asesmen lapangan yang penuh ketegangan dan kesalahan data, pendekatan diubah agar lebih efektif.
“Saat asesmen, saya bilang ke tim, sampaikan saja apa yang diyakini benar, dan jalani dengan rileks,” tambahnya.
Pendekatan ini berhasil. Ketika empat asesor BAN-PT hadir, suasana kerja menjadi lebih santai, dan tim tampil percaya diri, kompak, serta solid. Bahkan, asesor memberikan apresiasi atas kekuatan kolektif UMPO.
Student Body
Saat ini, UMPO memiliki sekitar 6.500 mahasiswa aktif dengan rata-rata penerimaan mahasiswa baru 1.400–1.500 orang per tahun. Selama pandemi COVID-19, penerimaan meningkat menjadi lebih dari 1.800, meskipun sempat fluktuatif pada 2022–2023.
Target 2025 adalah 2.000 mahasiswa baru, dan hingga pertengahan tahun ini sudah tercatat sekitar 1.500. UMPO menaungi tujuh fakultas dan 28 program studi,
termasuk tiga program pascasarjana, yaitu Magister Pendidikan Agama Islam, Magister Pedagogik, dan Magister Akuntansi. Dari 206 dosen yang ada, 66 sudah bergelar doktor, dan 38 sedang menempuh studi S3.
“Tahun ini kami prediksi akan panen doktor, menembus 100 lebih,” ujarnya.
UMPO terus mempercepat pencapaian jabatan akademik guru besar. Pada tahun 2025, tiga dosen sudah memenuhi syarat, dan kampus menargetkan menghasilkan empat guru besar setiap tahun.
Upaya percepatan ini dilakukan melalui pendampingan internal, pembentukan task force, dan dukungan pendanaan dari kampus.
“Kami kejar secepat mungkin dengan melakukan pendampingan internal melalui task force sekaligus pendanaannya,” tambahnya.
The Reyog University
Rido menyatakan bahwa salah satu faktor peningkatan jumlah mahasiswa UMPO adalah kemampuan kampus mengintegrasikan berbagai bidang ilmu dengan kearifan lokal Ponorogo. Kampus ini menggabungkan pendidikan, kesehatan, teknik, dan ekonomi dengan seni budaya lokal seperti Reyog Ponorogo.
Pada Oktober 2024, Reyog diakui UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda Dunia (WBTD), menjadikannya ikon kampus. Sejak 2020, UMPO membranding dirinya sebagai The Reyog University, yang menjadi pembeda di antara perguruan tinggi lain.
Integrasi ini diwujudkan melalui riset, pengabdian, inovasi, dan modul pembelajaran karakter berbasis seni Reyog yang digunakan di sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Fakultas Teknik mengembangkan detektor bahan baku Reyog, termasuk solusi pengganti kulit macan dengan kulit kambing bermotif batik. Kampus juga mendampingi penangkaran merak hijau untuk menjaga kelestarian budaya sesuai standar UNESCO.
UMPO membina Reyog Pelajar di berbagai tingkat sekolah, memastikan regenerasi pelestari seni tidak hanya dari sisi pentas, tetapi juga pengetahuan ilmiah. Prestasi di bidang seni Reyog bahkan menjadi jalur khusus masuk perguruan tinggi favorit dengan beasiswa, termasuk Universitas Brawijaya Malang.
“Keunikan ini membuat asesor BAN-PT menilai integrasi keilmuan berbasis kearifan lokal UMPO sebagai sesuatu yang mungkin hanya ada di Ponorogo,” tambahnya.
Filosofi Reyog
Pelestarian Reyog menghadapi tantangan besar. Penangkaran burung merak hijau sudah berjalan, tetapi penangkaran macan masih sulit karena biaya tinggi. UMPO bersama Yayasan Ponorogo menciptakan solusi inovatif dengan membuat caplokan tiruan dari kulit kambing bermotif batik kepala macan.
“Kalau tidak mengikuti standar UNESCO, Reyog bisa dihapus dari daftar. Kami ingin memastikan itu tidak terjadi,” katanya.
Bagi Rido, seni Reyog Ponorogo bukan sekadar pertunjukan rakyat dengan dentuman gamelan dan gerakan gagah para penari. Di balik gemerlap warna kostum dan atraksi akrobatik, tersimpan filosofi yang telah ditelitinya sejak 1997, dengan fokus pada elemen paling ikonik, yaitu dadak merak.
“Bagian atas itu rengkek, terisi bulu merak, sedangkan bagian kepala macan di bawahnya disebut caplokan,” jelasnya.
Tidak ada simbol yang lebih sakral dalam Reyog selain dadak merak, yang memadukan dua sosok: merak sebagai lambang keindahan hidup dan macan sebagai lambang kekuatan lahir batin.
Menurut warok-warok sepuh, pelaku sekaligus pelestari Reyog, merak adalah satwa belantara terindah, sementara macan adalah predator yang berburu sendirian, teguh, berani, dan mandiri. “Jika dipadukan, jati diri orang Ponorogo adalah kuat lahir batin dan berakhlak mulia,” ujarnya.
Beri Dimensi Ilmiah Pada Kearifan Lokal
Rido menjelaskan, penggalian makna warisan budaya, termasuk Reyog, membawa lebih jauh ke akar sejarah dan kepercayaan nenek moyang Ponorogo yang masih sarat animisme dan dinamisme.
Misalnya, ketika Reyog dipentaskan dalam ritual Bersih Desa, sebuah upacara penyucian wilayah dan warga dari energi jahat yang digelar setiap bulan Sura atau Muharram, terdapat pembakaran kemenyan.
Bagi sebagian kalangan modern, terutama yang berpegang teguh pada doktrin ketauhidan ketat, praktik ini kerap dilabeli sebagai syirik. Namun, Rido melihatnya melalui lensa riset lintas-disiplin.
Selama sekitar lima tahun terakhir, ia mempelajari mikroba positif dan menemukan bahwa asap kemenyan mampu membunuh mikroba negatif dan virus di udara. Pengetahuan ini menghubungkannya pada praktik petani tradisional yang membakar kemenyan di sudut-sudut sawah saat padi mulai berisi.
“Secara ilmiah, ketika katup bulir padi terbuka, asap kemenyan membawa mikroba positif masuk, sementara mikroba negatif mati. Hasil panen pun lebih bagus,” ujarnya.
Temuan ini membuktikan kearifan lokal sering kali memiliki dimensi ilmiah yang tak terduga. Menurut Rido, warisan budaya seperti Reyog Ponorogo bukan hanya seni pertunjukan, tetapi juga cerminan identitas, etika hidup, dan pengetahuan ekologis yang perlu terus dikaji serta diwariskan kepada generasi muda.
“Lebih dalam ditelaah, apa yang dianggap mistis oleh sebagian orang sebenarnya memiliki logika yang kuat dan manfaat nyata,” ujarnya.
Fase Transformasi
Memasuki periode kepemimpinan 2024–2028, Rido menyampaikan bahwa kampus yang dipimpinnya tengah berada dalam fase transformasi. Target utama pada fase ini adalah meraih predikat unggul untuk seluruh program studi.
Saat ini, UMPO telah memiliki enam program studi unggul, sementara lima lainnya sedang mempersiapkan asesmen lapangan. Targetnya adalah agar 11 program studi berstatus unggul dalam waktu dekat, sekaligus mempertahankan akreditasi institusi perguruan tinggi (AIPT) pada peringkat tertinggi.
“Semua program studi harus unggul. Kami sudah memiliki kunci-kunci untuk mempersiapkan program studi mencapai target tersebut,” ungkapnya.
Pada fase berikutnya, 2028–2032, akan menjadi masa internasionalisasi. Langkah-langkah yang disiapkan meliputi percepatan karier akademik dosen menuju lektor kepala dan guru besar, peningkatan kualifikasi jabatan akademik, pembukaan Fakultas Kedokteran, serta pendirian pusat pelatihan bahasa asing.
“Semua itu disiapkan untuk mendukung pertukaran dosen dan mahasiswa ke berbagai negara, termasuk Malaysia, Sudan, dan Yaman, serta menarik mahasiswa asing yang kini mulai berdatangan ke Ponorogo,” tuturnya.
Edupark Green Java
Salah satu target besar Rido adalah pembangunan Edupark di atas lahan hibah warga Muhammadiyah di Ngelayang, Ponorogo Timur, yang memadukan kearifan lokal dengan jejaring global.
Edupark ini akan menjadi pusat riset internasional sekaligus menampilkan penangkaran merak hijau, spesies asli Jawa yang dikenal sebagai Green Java. Program ini menarik perhatian pihak Eropa, tidak hanya pada aspek konservasi tetapi juga edukasi.
Bersama Dekan Fakultas Teknik UMPO, mereka mengintegrasikan penangkaran ini dengan program pembelajaran, melibatkan mahasiswa dan peneliti internasional, serta memastikan kesehatan satwa menjadi prioritas.
Edupark juga akan memiliki Living Museum Reyog Ponorogo, yang menyajikan kesenian ini dalam perspektif ilmiah sekaligus artistik. Pengunjung dapat melihat manuskrip, proses pembuatan, hingga pentas Reyog, dilengkapi dengan kebun bahan baku seperti rotan, dadap, dan gebang.
“Pengunjung akan pulang membawa pengetahuan, bukan hanya tontonan,” tambahnya.