Suara mahasiswa, yang oleh banyak kalangan kerap dianggap sebagai barometer demokrasi, menggema dari lorong kampus hingga jalanan.
Namun, di tengah dinamika tersebut, muncul pertanyaan kritis: bagaimana respons kampus sesungguhnya? Apakah masih menjadi laboratorium idealisme atau telah berubah menjadi zona aman yang pasif dan steril?
Menurut Jurgen Habermas dalam The Theory of Communicative Action (1984), kampus seharusnya menjadi bagian dari ruang publik, tempat berlangsungnya diskusi rasional dan dialog kritis antara mahasiswa dan Sivitas akademika.
Kampus memiliki tanggung jawab untuk mengaktifkan potensi intelektual, membangun forum diskusi, mengurai akar masalah, dan membimbing mahasiswa menyampaikan kritik secara argumentatif dan terdidik.
Namun, beberapa perguruan tinggi kini mengeluarkan surat edaran pelarangan demonstrasi, bahkan menyertakan ancaman sanksi akademik seperti pemotongan nilai hingga drop out (DO) bagi mahasiswa yang terlibat aksi protes, menurut Komnas HAM.
Pelarangan ini bukan sekadar soal manajemen keamanan, tetapi juga mencerminkan pandangan bahwa mahasiswa adalah subjek yang harus dikontrol, bukan diberdayakan.
Paulo Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970) mengkritik sistem pendidikan otoriter sebagai “pendidikan gaya bank,” di mana mahasiswa hanya dipandang sebagai wadah kosong tanpa ruang untuk berpikir kritis atau membentuk kesadaran sendiri.
Freire menekankan pentingnya kesadaran kritis, yaitu proses memahami struktur sosial yang menindas dan bertindak untuk mengubahnya. Dalam kerangka ini,
demonstrasi mahasiswa adalah bentuk pendidikan emansipatoris yang otentik, bukan pembangkangan, melainkan ekspresi dari proses berpikir yang hidup dan terlibat dalam realitas.
Kebebasan Akademik
Dalam demokrasi, kebebasan akademik adalah pilar penting yang harus dijaga. Menurut UNESCO, kebebasan akademik mencakup mengajar, belajar, dan meneliti tanpa tekanan eksternal.
Ketika kampus membatasi ekspresi mahasiswa seperti demonstrasi, kebeb ini terancam dan bisa berdampak jangka panjang pada budaya akademik yang sehat.
Namun, kampus tidak bisa hanya melepaskan tanggung jawab atau mendorong aksi jalanan. Kampus harus memastikan aspirasi mahasiswa berdasarkan data, riset, dan nalar akademik yang kuat.
Kampus bisa menjadi fasilitator diskusi lintas disiplin, tempat kajian kritis isu-isu aktual, serta mediator antara mahasiswa dan pengambil kebijakan.
Universitas tidak hanya merespons krisis, tetapi juga menciptakan ruang untuk mencari solusi alternatif yang progresif.
Kampus seharusnya bukan pelindung status quo, tetapi aktor aktif dalam menciptakan solusi melalui diskusi lintas disiplin, penerbitan kajian berbasis data, ruang negosiasi dengan pemerintah,
dan perlindungan hak menyampaikan pendapat sesuai konstitusi (UUD 1945 Pasal 28E). John Dewey (1916) dalam Democracy and Education mengatakan, pendidikan demokratis tidak hanya mencetak tenaga kerja, tetapi membentuk warga aktif yang sadar peran sosial dan politiknya.
Mahasiswa belajar teori di kelas sekaligus bagaimana menerapkannya di dunia nyata. Posisi kampus seharusnya bukan “di atas” mahasiswa, melainkan “bersama” mahasiswa dalam proses pembelajaran sosial-politik.
Ketika mahasiswa menyuarakan kegelisahan kolektif, kampus tidak boleh sekadar bertugas mengontrol atau menenangkan.
Ia harus hadir sebagai ruang yang membuka jalan, memfasilitasi percakapan, dan mendukung ekspresi yang cerdas dan bertanggung jawab. Kampus menjadi semakin penting di tengah situasi demokrasi yang kerap kali stagnan, jika tidak ingin dikatakan mundur.
Ketika ruang publik dibatasi, media terpolarisasi, dan institusi politik kehilangan kepercayaan, mahasiswa sering kali menjadi satusatunya suara yang bersih dan jujur. Tapi suara ini tidak akan kuat jika tidak dibekali dengan basis intelektual yang kokoh.
Tak Pernah Netral
Sejarah Indonesia menunjukkan bahwa kampus
tidak pernah netral dalam peristiwa-peristiwa besar
bangsa. Ia bisa menjadi kekuatan moral, tetapi juga
bisa berubah menjadi menara gading yang sunyi,
bergelimang administrasi dan jauh dari realitas
sosial. Pilihan itu kini kembali dihadapkan kepada
kita semua.
Terdapat contoh konkret dalam beberapa kampus
yang berhasil mengelola situasi demonstrasi secara
sehat dan konstruktif. Di sejumlah perguruan tinggi
ternama, demonstrasi mahasiswa tidak dianggap
ancaman, tetapi sebagai bagian dari dinamika
demokrasi kampus yang hidup. Rektor dan dosen
aktif berpartisipasi dalam dialog, menyediakan
ruang diskusi terbuka, serta mendukung riset yang
berkaitan dengan isu-isu yang diangkat mahasiswa.
Ini menunjukkan bahwa peran kampus tidak harus
kontradiktif dengan aspirasi mahasiswa.
Jika kampus memilih diam, maka ia sedang
mengirim pesan bahwa kenyamanan institusional lebih
penting daripada keberpihakan pada kebenaran. Jika ia
memilih membungkam, maka ia sedang mengkhianati
misinya sebagai penjaga nalar. Tapi jika kampus berani
berdiri bersama mahasiswanya, bukan dalam arti
mendukung semua aksi tanpa kritik, melainkan dalam
semangat membangun ruang ekspresi yang cerdas
dan beradab, maka ia sedang memperkuat fondasi
demokrasi kita yang semakin rapuh.
Demokrasi yang sehat tidak tumbuh di ruang steril.
Ia tumbuh dalam perdebatan, dalam pertentangan
ide, dalam keberanian untuk berbeda. Kampus
adalah ruang yang paling siap untuk menjadi tempat
itu. Demokrasi yang sehat juga bukan hanya diukur
dari kebebasan bersuara di jalanan, tetapi juga dari
keberanian kampus untuk berdiri tegak sebagai ruang
kebebasan berpikir.
Pada momentum ini, kampus ditantang untuk
tidak menjadi menara gading yang sunyi, tetapi
mercusuar yang menerangi jalan perubahan,melalui
data, argumentasi, dan keberpihakan pada nilai-nilai
konstitusional.
Dalam gelombang demonstrasi sampai akhir
Agustus 2025, sejarah sedang menulis satu bab baru.
Dan di sana, kampus akan dicatat, apakah ia berdiri
di garis depan perubahan, atau memilih aman lalu
mundur ke belakang pagar.
***














