Ketua Dewan Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Prof. Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA, UI juga mengenal adanya gelar-gelar kehormatan. Gelar kehormatan tersebut diberikan sebagai penghargaan terhadap figur yang memiliki sumbangan besar bagi masyarakat dan ilmu pengetahuan. Hanya saja, dalam ingatannya, penghargaan tersebut adalah doktor honoris causa.
“Jadi kalau guru besar kehormatan itu, seingat saya belum pernah diberikan di Universitas Indonesia, kami hanya mengenal adanya doktor honoris causa,” katanya.
Doktor kehormatan sebagai penghargaan tertinggi bagi tokoh atau figur yang dianggap sudah memiliki sumbangan yang sangat besar. Sedangkan guru besar tidak. Karena guru besar merupakan jabatan yang biasanya harus diperoleh melalui tahapan-tahapan tertentu.
Ia mengamini bahwa peraturan atau regulasi perundang- undangan memungkinkan untuk pengangkatan guru besar kehormatan. Hal itu diatur dalam Permen nomor 38 tahun 2021 mengenai pengangkatan profesor kehormatan pada perguruan tinggi. Seingatnya, peraturan tersebut terbit setelah ada pemberian profesor kepada salah seorang ketua umum partai besar dan ternama.
Ada Batasan
Hanya saja, tandas Prof Harkristuti, dalam peraturan menteri itu ada batasan-batasan yang harus dipatuhi. Misalnya saja boleh diberikan kepada mereka yang belum berusia 70 tahun. Kemudian ada juga kewajiban untuk memenuhi sejumlah kriteria akademik, serta tugas dari guru besar kehormatan.
“Nah ini semuanya ada. Jadi ada pengaturan. Walaupun implementasinya, kalau di Indonesia itu, law in the books dengan law in action-nya suka beda,” ujar dia.
Sekalipun bergelar profesor kehormatan, seharusnya penyandang gelar itu berkewajiban seperti profesor reguler, seperti rutin mengajar, meneliti, juga membimbing dan menguji doktor. Karena makna dari profesor adalah mengajar. Sehingga seseorang yang bergelar profesor harus mengajar dan membimbing. Hanya saja dalam peraturan menteri tersebut, kewajiban profesor kehormatan hanya dua. Pertama, menjaga nama baik, dan kehormatan perguruan tinggi yang bersangkutan. Kedua, memiliki kinerja dan kontribusi dalam pelaksanaan tri dharma pada perguruan yang bersangkutan.
Harkristuti menegaskan bahwa tri dharma perguruan tinggi meliputi pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Itu juga menjadi tugas utama seorang profesor reguler.
“Kan lucu juga, kalau sudah jadi pimpinan lembaga negara atau menteri, kemudian harus mengajar seperti saya 12 SKS. Harus bimbing, pengabdian masyarakat. Jadi memang dalam implementasinya tergantung pada masing-masing universitas,” katanya,
Dengan gelar profesor kehormatan itu diharapkan ada manfaat untuk universitas pemberi gelar. Misalnya lebih terekspos pada bidang industri yang digeluti oleh calon profesor itu atau mendapatkan jaringan kerja lebih luas.
Tidak Mudah
Untuk menjadi profesor, sejatinya tidak sederhana, bahkan tidak mudah. Banyak dosen yang ingin mengejar profesor, harus berusaha dengan sangat keras. Tidak jarang sampai pensiun, tidak berhasil menjadi profesor. Sehingga ada yang kemudian mengambil jalan “terabas” untuk mendapatkan gelar sangat terhormat di dunia pendidikan tinggi secara cepat.
Karena itulah, Prof Harkristuti bersama Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (MDGT PTNBH), pernah meminta Menteri Pendidikan Nadiem Makarim meninjau ulang pemberian profesor kehormatan di berbagai perguruan tinggi. Karena syarat untuk mendapatkan gelar profesor reguler dan profesor kehormatan sangat jomplang.
Ia mengibaratkan untuk bergelar profesor, para akademisi sampai harus berdarah-darah. Mereka harus mengajar, mempunyai publikasi ilmiah, membimbing, dan memenuhi sejumlah prasyarat yang memang tidak semua orang bisa memenuhinya.
“Mentang-mentang pejabat cepat dapat profesor. Jadi kita berharap bahwa kalaupun ada, saya kira dengan gelar doktor honoris causa itu sudah cukuplah,” katanya.
Dengan gelar profesor kehormatan itu diharapkan ada manfaat untuk universitas pemberi gelar. Misalnya lebih terekspos pada bidang industri yang digeluti oleh calon profesor itu atau mendapatkan jaringan kerja lebih luas.
Tidak Mudah
Untuk menjadi profesor, sejatinya tidak sederhana, bahkan tidak mudah. Banyak dosen yang ingin mengejar profesor, harus berusaha dengan sangat keras. Tidak jarang sampai pensiun, tidak berhasil menjadi profesor. Sehingga ada yang kemudian mengambil jalan “terabas” untuk mendapatkan gelar sangat terhormat di dunia pendidikan tinggi secara cepat. Karena itulah, Prof Harkristuti bersama Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (MDGT PTNBH), pernah meminta Menteri Pendidikan Nadiem Makarim meninjau ulang pemberian profesor kehormatan di berbagai perguruan tinggi. Karena syarat untuk mendapatkan gelar profesor reguler dan profesor kehormatan sangat jomplang.
Ia mengibaratkan untuk bergelar profesor, para akademisi sampai harus berdarah-darah. Mereka harus mengajar, mempunyai publikasi ilmiah, membimbing, dan memenuhi sejumlah prasyarat yang memang tidak semua orang bisa memenuhinya.
“Mentang-mentang pejabat cepat dapat profesor. Jadi kita berharap bahwa kalaupun ada, saya kira dengan gelar doktor honoris causa itu sudah cukuplah,” katanya.
Perburuan Gelar
Perburuan gelar kehormatan yang cukup ramai, pernah terjadi ketiga banyak orang mengharapkan gelar bangsawan. Dalam rentang waktu 10-20 tahun terakhir, banyak yang mengejar gelar tersebut, sampai konon juga diperjualbelikan. Setelah tren tersebut menurun, kemudian gelar akademik menjadi dianggap penting untuk diburu.
Dia mengaku pernah mendengar pengakuan seorang politisi yang bergelar profesor kehormatan. Saat ditanya mengapa menjadi profesor, politisi tersebut memberi jawaban yang mengejutkan.
Kata politisi itu, keluarga dan teman-temannya bangga dengan gelar profesor. Ternyata bukan yang bersangkutan bangga dengan gelarnya. Gelar tersebut sebenarnya juga tidak membuat yang bersangkutan menjalani tugas-tugas sebagai guru besar.
Menurut Harkristuti, sebenarnya gelar itu tidak membawa peningkatan prestasi, tetapi hanya meletakkan jabatan profesor tanpa diiringi dengan pemenuhan kewajiban-kewajiban.
Seharusnya individu yang memperoleh gelar profesor, lanjut dia, harus berkontribusi kepada universitas seperti mengajar rutin seminggu lima kali, bukan setahun sekali.
“Nah buat saya agak kurang bagus juga, kalau ada orang yang bukan akademisi mendapatkan gelar profesor. Karena tampaknya dia juga tidak mungkin melakukan kewajiban seperti yang kami laksanakan,” katanya.
Setuju Muhammadiyah
Dia pun setuju dengan kebijakan pengurus pusat Muhammadiyah. Diharapkan, langkah yang ditempuh organisasi massa sangat terkenal dan kader-kadernya memiliki posisi terhormat, bisa mempengaruhi kebijakan nasional. Setidaknya kementerian pendidikan tinggi, juga melarang pemberian gelar profesor kehormatan. Karena dalam pandangan Prof Harkristuti, kebijakan pemberian gelar profesor tersebut rentan disalahgunakan. Hal itulah yang harus dihindari.
Menurut Harkristuti persoalan tersebut terkait integritas akademik dari perguruan tinggi. Sejatinya, pemberian gelar pada politisi atau pejabat, membuat nama perguruan tinggi tercemar dan kemudian integritas akademiknya juga tercoreng. Sehingga dia berharap aturan tersebut ditinjau ulang oleh menteri yang baru. Sekaligus mengedukasi publik bahwa politisi atau pengusaha sebenarnya tidak memerlukan gelar akademik.
“Kita tahu ada pengusaha yang hanya sekolah sampai SMP, tapi hebat sekali menjadi seorang yang sangat sukses. Politisi kan juga begitu, jadi tidak harus mereka memiliki gelar akademik. Toh itu tidak memberi manfaat, kecuali gagah-gagahan aja,” katanya.
Kalau para politisi, atau pejabat ingin dianggap berprestasi, mereka harus meningkatkan kinerja, bukan dengan mengambil jabatan di akademisi. Karena itu juga bisa membuat iri kalangan akademisi, karena mereka harus bekerja mati- matian untuk memenuhi syarat yang berat untuk menjadi profesor.
Diharapkan Menteri Pendidikan Tinggi mempertimbangkan itu. Untuk orang yang berkontribusi luar biasa, sudah disediakan gelar namanya doktor honoris causa.
“Kalau doktor kehormatan dikenal di seluruh dunia, kalau profesor kehormatan mungkin ada di Australia, tapi cuma 5 tahun. Setelah 5 tahun tidak boleh dipakai lagi,” katanya .
Apalagi aturan yang menjadi dasar pemberian profesor sebatas peraturan menteri, bukan undang- undang. Sehingga lebih mudah dihapus atau dibatalkan. Ia melihat sekalipun tidak lazim di dunia akademik internasional, pemberian gelar profesor kehormatan di Indonesia makin marak. Itu sangat disayangkan. Semestinya, para politisi atau pejabat tidak perlu memikirkan gelar atau jabatan akademik yang bukan merupakan bagian pekerjaan mereka. Mereka cukup fokus bekerja untuk rakyat, tidak perlu mengejar gelar kehormatan untuk gagah-gagahan belaka.
Dia berharap langkah yang ditempuh Muhammadiyah, bisa diikuti perguruan tinggi lainnya.
Itu menjadi contoh bagi kalangan perguruan tinggi yang masih suka memberikan gelar profesor kehormatan kepada pejabat ataupun politisi. Mudah-mudahan kedepannya bisa dikurangi, karena sebenarnya gelar kehormatan tersebut tidak bermakna sama sekali. Karena yang bersangkutan tidak mengajar, tidak meneliti, tidak membimbing, dan tidak menguji.
Tugas Guru Besar Berat Doktor Honoris Causa Saja
Prof. Harkristuti mengakui bahwa setiap orang boleh menjadi profesor. Tapi untuk menjadi profesor yang sungguhan, sangat berat. Tidak mungkin semua dosen menjadi profesor. Karena prasyaratnya tidak mudah.
Jadi selain mengajar dalam jangka waktu 10 tahun, materi pengajaran juga harus sesuai bidang kompetensinya. Itu dikaitkan dengan bidang kedokterannya. Di zaman dulu memang ada profesor yang bukan doktor. Namun sekarang sudah tidak bisa lagi.
Syarat lainnya, adalah keaktifan melakukan pembimbingan. Karena logikanya seorang profesor pasti menjadi promotor atau kopromotor. Sebelumnya juga harus ada
rekam jejak bahwa dia pernah membimbing S1, S2, dan S3. Dan yang paling berat adalah publikasi. Sejatinya syarat publikasi tersebut idenya bagus untuk mendekati ranking internasional. Hanya di Indonesia itu kemudian menjadi kesempatan untuk membuat jurnal “abal-abal”.
“Nah ini yang paling meresahkan saya. Jadi satu jurnal kan paling banyak sekitar 8 artikel. La ini bisa sampai 30 artikel. Lalu kita tidak tahu juga apakah reviewer-nya adalah mereka yang berkompeten atau tidak,” katanya.
Ide jurnal tersebut sangat bagus. Namun repotnya di Indonesia, itu membuka praktik-praktik yang melanggar etika dan hukum. Ada orang membeli jurnal di luar negeri, kemudian “dijual” atau dipasarkan di Indonesia. Jadi harus hati-hati.
Tapi menurutnya, kalau jurnal internasional dirasa berat, bisa diganti dengan bentuk lain seperti pengabdian masyarakat. Dengan begitu seorang akademisi sudah berkontribusi membangun masyarakat, membangun organisasi- organisasi yang kemudian bekerja untuk masyarakat.
Apalagi publikasi internasional hanya bermanfaat untuk si penulis dan institusi, rankingnya naik. Namun itu tidak bermanfaat buat masyarakat. Dia mempertanyakan apa ada masyarakat yang membaca jurnal Q1 atau Q2. Jadi perlu dilihat apa yang sudah dibaktikan akademisi untuk lingkungan dan masyarakat Indonesia.
“Itu saya kira perlu dipikirkan juga. Jadi bukan hanya academic benefit yang dilihat, tapi juga social benefit yang diberikan oleh si calon profesor itu buat rakyat Indonesia,” tambahnya.
Tinjau Permen
Jadi secara tegas Prof Harkristuti, meminta kementerian untuk meninjau kembali Permen Nomor 38 tahun 2021. Sehingga tidak ada peluang atau ruang bagi perguruan tinggi untuk memberikan gelar profesor kehormatan. Selanjutnya yang perlu dilakukan adalah mensolidkan perguruan tinggi. Contoh kasus, ada perguruan tinggi negeri yang ingin memberikan gelar profesor kehormatan. Guru besar dan senat akademik menolak, tapi rektor tetap membuat SK pemberian gelar profesor kehormatan.
Berkaca dari kasus tersebut, sarannya, perlu ada kesepakatan para rektor mengenai kewenangan dewan guru besar dan senat akademik. Apalagi tidak semua perguruan tinggi memiliki dewan guru besar atau kalaupun ada biasanya unit dibawah senat akademik yang berisi para guru besar. Hanya saja, tidak diketahui sejauh mana mereka berpengaruh di dalam universitas yang bersangkutan. Itu yang harus dipikirkan.
Di UI, lanjut Prof Harkristuti, sejak dulu dewan guru besar sudah memancangkan kaki bahwa untuk menjaga etika pengembangan keilmuan, sangat ketat dalam memberikan gelar profesor. Sehingga ketika ada calon akademisi yang diusulkan, penilaiannya sangat hati-hati karena berkaitan dengan reputasi UI.
Misalnya, hanya karena calon sudah membuat rumah sakit, kemudian dia diberi gelar profesor. Tidak sesederhana itu, dan harus melewati perbincangan mendalam. Oleh sebab itu, tandas dia, universitas harus solid. Antara eksekutif rektor dan dewan guru besar atau senat, sehingga mereka mempunyai suara yang sama di dalam penentuan pemberian gelar.
Masyarakat, menurutnya, juga harus tahu bahwa tugas utama seorang profesor adalah mengajar di kampus. Perguruan tinggi mempunyai syarat-syarat tertentu, dan punya penugasan kepada para profesor. Jadi mereka bukan sekadar muncul di TV tiap hari. Itu bukan tugas profesor.
“Kalau saya sih, cukup hanya doktor honoris causa. Jangan ada profesor honoris causa,” tandas Prof Harkristuti.