Pada masa itu, bersama rekan-rekannya, ia menolak kebijakan Menteri Pendidikan Daoed Yoesoef yang membatasi aktivitas mahasiswa di kampus melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).
NKK/BKK kerap dianggap sebagai alat pemerintah untuk membungkam sikap kritis aktivis mahasiswa di kampus. Freddy aktif dalam aksi tersebut karena ia terlibat dalam berbagai organisasi kemahasiswaan.
Ia menjadi anggota badan perwakilan mahasiswa (sekarang BEM), ketua senat mahasiswa, bahkan pernah menjabat sebagai Komandan Satuan Resimen Mahasiswa.
“Saya memang mahasiswa tahun 1977. Kuliah di Fakultas Hukum Universitas Surabaya dan alhamdulillah, bisa selesai 1984, meski agak molor,” ujarnya.
Sebagai “politisi jalanan,” Freddy pernah diamankan oleh aparat pemerintah dan bertemu dengan seorang perwira militer. Perwira tersebut menyarankan agar ia terjun ke dunia politik daripada terus ikut aksi-aksi jalanan.
Sejak 1978, ia bergabung dengan Golkar, mulai aktif di Angkatan Muda Pembaruan Indonesia (AMPI), dan menjadi Satgas. AMPI adalah organisasi sayap kepemudaan Golkar yang bertujuan menjadi wadah bagi generasi muda untuk berkarya dan berkontribusi dalam pembaruan Indonesia.
“Baru tahun 1980 saya mulai ikut kaderisasi,” katanya. Ia juga pernah ditugaskan oleh kampus untuk mengikuti pendidikan pemuda tingkat nasional.
Pengalaman tersebut menjadi awal mula dirinya menjadi penatar, mengikuti program 100 jam, dan Ia pun kemudian terus menjadi penatar hingga BP7 dibubarkan.
Freddy pernah aktif sebagai pengurus DPD KNPI Jawa Timur dan dipercaya Golkar sebagai sekretaris LBH Golkar sekaligus anggota Biro Hukum DPP DPD Golkar Jawa Timur.
Sejak pemilu 1987, 1992, dan 1997, ia menjadi caleg meskipun belum berhasil menjadi anggota legislatif. “Alhamdulillah baru 2009 saya terpilih sebagai anggota DPRD Jawa Timur sampai sekarang,” ujarnya.
Terus Belajar
Setelah menjadi wakil rakyat, Freddy sempat melanjutkan studi notaris, namun tidak selesai. Ia kemudian melanjutkan ke S2 dan meraih gelar Magister Hukum.
Setelah menyelesaikan magister hukum di Universitas Airlangga, teman-temannya mendorongnya untuk melanjutkan ke program doktor (S3). Meskipun sebenarnya ia tidak membutuhkan gelar tersebut, Freddy akhirnya memenuhi permintaan tersebut dan lulus doktor pada tahun 2014.
Menurutnya, ilmu dan pengetahuan yang diperoleh di bangku kuliah menjadi bekal dasar dalam bekerja. Dengan dasar pengetahuan ilmu tata negara, hal ini sangat bermanfaat baginya sebagai aktivis politik.
Freddy juga pernah dipercaya sebagai Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPRD periode 2009-2014. Sebagai ketua Baleg, ia banyak berinteraksi dengan dunia kampus terutama terkait kajian akademis atau penyusunan naskah akademis.
Tentu saja, hal itu membuatnya sering berkoordinasi dengan dunia kampus. Aktivitas tersebut membutuhkan ilmu yang memadai, dan ia bersyukur memiliki bekal ilmu yang cukup. Sejak lulus S1, ia aktif mengajar dan menjadi penatar di BP7.
Ia juga mengisi mata kuliah Pancasila di Universitas Surabaya, bahkan memiliki Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN) dan ditempatkan di Fakultas Hukum Universitas Widya Kusuma.
“Sebenarnya saya sudah lama mengajar, sejak 1987. Sekarang nampaknya lebih intens karena saya sudah tidak menjabat apa-apa lagi, baik di partai politik maupun di DPRD,” katanya.
Kini, ia lebih leluasa mengajar di Fakultas Hukum Universitas Surabaya dan aktif berinteraksi dengan teman-teman di Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Ia juga masih menjalin hubungan dengan teman-temannya yang aktif di kegiatan advokat, meskipun ia sendiri adalah advokat yang tidak praktik karena jabatannya.
Perguruan Tinggi Tertua
Freddy memilih Fakultas Hukum Universitas Airlangga sebagai tempat belajar, karena selain sebagai perguruan tinggi tertua di Jawa Timur, Unair dianggapnya yang terbaik.
Ia yang dulu bercita-cita masuk Fakultas Kedokteran ternyata merasa bangga bisa kuliah di Unair. Keluarga dan kerabatnya pun banyak yang kuliah di sana.
“Unair adalah angan-angan atau impian dari seluruh anak muda. Jadi, suatu kebanggaan bisa kuliah di sini,” katanya.
Banyak tokoh nasional dan dunia lahir dari perguruan tinggi negeri di Surabaya itu, termasuk Gubernur Jawa Timur, Khofifah, yang juga salah satu alumni dan kini menjabat sebagai Ketua IKA Unair.
Freddy sangat berterima kasih kepada almamaternya karena ia merasa menjadi anggota DPRD, tidak lepas dari motivasi dan dedikasi dari gurugurunya
di Fakultas Hukum Unair.
Salah satu hal yang memotivasi dan menginspirasinya adalah keyakinan bahwa manusia bisa saja salah, tetapi tidak boleh berbohong. “Makna ini menunjukkan bahwa kita harus jujur. Apa pun jabatan yang kita pegang, kita harus tetap jujur dan konsisten,” tegasnya.
Tokoh Nasional
Universitas Airlangga (Unair) sebagai perguruan tinggi tertua di Jawa Timur telah banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional yang mengabdi di berbagai bidang.
Ada yang bekerja di pemerintahan, menjadi duta besar, pejabat kementerian, hingga di lembaga peradilan seperti pengadilan negeri, pengadilan tinggi, mahkamah agung, bahkan mahkamah konstitusi. Beberapa juga pernah menjadi dewan pengawas KPK.
Mereka adalah inspirasi dan motivasi, teladan dalam loyalitas dan pengabdian kepada masyarakat, kampus, pemerintahan, hingga dunia politik. Ia menyadari bahwa politik sangat sensitif, tetapi baginya inti dari politik adalah pengabdian.
Jabatan tidak lain adalah wujud pengabdian. “Banyak senior, alumni, dan tokoh Unair yang mendedikasikan hidupnya untuk masyarakat. Itulah yang membuat saya bangga,” ujarnya.
Kebebasan Akademis
Ia juga menilai bahwa Unair kini telah berkembang pesat dari segi tata kelola, kemandirian, dan infrastruktur. Motto “excellent of morality” menjadi pedoman bagi seluruh sivitas akademika, alumni, dan keluarga besar Universitas Airlangga untuk selalu mengedepankan moralitas.
Saat ini, Unair dipimpin oleh rektor baru, Prof. Dr. Muhammad Madyan S.E., M.Si., M.Fin., Sebagai alumni atau sebagai tokoh masyarakat, sebagai anggota DPRD Jawa Timur, Freddy berharap agar Prof. Madyan tetap menjaga dinamika kebebasan akademis.
Dalam dinamika kehidupan kampus, kebebasan akademis tetap harus dijaga. Ia sadar kebebasan tersebut tetap berbatas. Namun batasan itu masih dalam konteks nilai-nilai pendidikan, dan nilai akademi.
Dua hal tersebut harus selalu dijaga dan dihormati. Ia juga berharap, ketika hampir semua fakultas memiliki akreditasi unggul, integritas, mutu, dan kualitas kampus sebagai lembaga ilmu pengetahuan tetap terpelihara.
Unair harus mendidik mahasiswa menjadi individu yang berguna, bermanfaat, serta memiliki dasar ilmu pengetahuan sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing.
Pendidikan Karakter
Freddy pun juga menitipkan bahwa mahasiswa tidak hanya perlu dididik dan dibekali dengan ilmu pengetahuan saja, tetapi juga karakter. Pendidikan karakter sangatlah penting agar ketika mereka mengabdi atau terjun ke masyarakat, di mana pun berada, tetap memiliki karakter dan menjunjung moralitas.
“Prinsip dunia pendidikan, apa yang diperoleh mahasiswa, harus kembali ke masyarakat,” tegasnya.
Nilai pengabdian tersebut, menurutnya, pada hakikatnya tidak terhingga. Perguruan tinggi harus selalu memberikan manfaat kepada masyarakat, bangsa, dan negara kapan saja.
Ia percaya Unair diisi oleh orang-orang hebat dan kompeten. Dengan kualitas serta mutu SDM yang tidak diragukan lagi, Unair mampu mewujudkannya, mengabdi kepada masyarakat, bangsa, dan negara, sambil tetap mengedepankan integritas, mutu, dan kualitas perguruan tinggi.