Dr. Muchammad Nasser, S. Kom, MT. - Rektor Universitas Teknologi Bandung (UTB)

Rektor Universitas Teknologi Bandung (UTB) – Lebih Mengutamakan Akreditasi Masyarakat

Share

Perjalanan karir Dr. Muchammad Nasser, S. Kom, MT. termasuk cepat. Setelah menamatkan studinya di S1 STIKOM Bali, ia langsung direkrut almamaternya menjadi programer, sekaligus dosen. Kemudian habis membereskan studi S2 di UI, ia dipercaya sebagai Ketua STIKOM Bali. Sempat pula ia menjadi Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat dari 2013 sampai 2014, kemudian sebagai Kepala Program Studi Sistem Informasi dari Januari 2014 sampai Juni 2015.

Pada akhirnya suratan takdir, membawa Nasser ke Bandung. Pada 2015, ia diminta menjadi dosen dan Ketua Sekolah Tinggi Teknologi Bandung (STTB), yang sejak 2024, bertransformasi menjadi Universitas Teknologi Bandung (UTB). Ia pun dipercaya sebagai rektor. Sebagai informasi, ITKOM Bali dan UTB merupakan dua perguruan tinggi yang bernaung dalam satu yayasan.

Nama dua lembaga tinggi tersebut, sepintas mirip Institut Teknologi Bandung (ITB). Namun, Nasser secara tegas menyatakan tidak secara sadar memiripkan nama perguruan tingginya dengan ITB. Sejak awal berdiri, pada 1991, institusinya bernama Sekolah Teknologi Bandung. Saat akan bertransformasi menjadi universitas, tidak mungkin berubah menjadi institut karena sudah ada Institut Teknologi Bandung.

“Karena itulah, dipilih nama universitas. Yang berubah adalah sekolah tingginya menjadi universitas, maka ya tinggal ‘ST’-nya saja diubah menjadi ‘U’. Jadinya Universitas Teknologi Bandung untuk yang di Bandung,” ceritanya.

Nasser pun menepis anggapan mendapat berkah dari kemiripan nama tersebut. Ia yakin setiap nama membawa berkah sendiri-sendiri. Masyarakat pun paham bahwa ITB adalah ITB, dan UTB adalah UTB.

Lulus Tanpa Skripsi

Mereka paham keunggulan atau kekhasan yang dimiliki UTB, salah satunya, sebut Nasser, fokus bekerja sama dengan Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (sebelum salin rupa menjadi kementerian, dulu namanya masih BP2MI). Sehingga alumninya memiliki peluang kerja di luar negeri. Itu menjadi salah satu poin keunggulan UTB.

Di sisi lain, mahasiswa juga didorong untuk secepatnya menyelesaikan studi. Mereka dipacu agar mahasiswa lulus dalam masa kuliah 3,5 tahun. Perguruan tinggi juga menjalin kerjasama dan membangun kemitraan dengan banyak perusahaan, termasuk BUMN. Dengan begitu, mahasiswa UTB berkesempatan magang di sejumlah perusahaan.

“Ini juga membuka peluang anak-anak untuk segera diterima di dunia kerja,” katanya.

Selain itu, ungkap Nasser, UTB juga menyiapkan program lulus tanpa skripsi. Ia berpendapat bahwa kewajiban membuat skripsi, sebenarnya bisa diubah tanpa menghilangkan makna keilmuan. Institusi juga sangat mendorong ekosistem kewirausahaan seluruh sivitas akademi, baik dosen maupun mahasiswa. Kekhasan tersebut juga tergambar dalam visi, UTB, yaitu menjadi socio-creativepreneur university yang mengembangkan potensi lokal ke tataran global untuk memberikan dampak kemajuan ekonomi bagi masyarakat nasional.

Ada tiga unsur dalam visi tersebut. Pertama adalah menjadi socia-creativepreneur university. Kedua, mengembangkan potensi lokal ke tataran global. Dan ketiga, memberikan dampak kemajuan ekonomi bagi masyarakat nasional.

Pengembangan Prodi

Setelah berubah menjadi universitas, jumlah program studi (prodi) UTB pun berkembang. Semula hanya punya empat, yaitu Teknik Industri, Teknik Informatika, DKV (Desain Komunikasi Visual) dan Bisnis Digital. Teknik Industri menjadi program tertua di UTB karena lahir bersama terbentuknya STTB, lalu Teknik Informatika lahir pada tahun 2011, DKV pada 2015 dan Bisnis Digital pada 2021. Kemudian, bertambah lagi satu prodi di bidang sosial humaniora, yakni jurusan Manajemen Retail, sejak bertransformasi menjadi universitas.

“Kami melihat potensi retail saat ini sangat seksi, khususnya potensi manajemen retail,” kata Nasser.

Dengan demikian UTB saat ini telah memiliki dua fakultas yakni Fakultas Industri Kreatif yang terdiri dari Teknik Industri, Teknik Informatika dan DKV. Yang kedua Fakultas Ekonomi dan Bisnis terdiri dari jurusan Bisnis Digital dan Manajemen Retail.

Terkait dengan lulusan UTB yang didorong untuk bekerja di luar negeri, Nasser menerangkan bahwa hal itu berlaku hanya untuk prodi tertentu, yakni Teknik Industri, Teknik Informatika dan Bisnis Digital saja. Sedangkan untuk DKV tidak demikian. Ini karena DKV termasuk bidang seni yang tentunya berbeda dengan teknik yang merupakan ilmu pasti, dimana angka yang ada di layar dengan angka yang di tulisan harus sama.

“Kalau DKV itu seni, harus bisa dirasa, bisa diraba hasil karyanya. Jadi agak sulit ya, apa yang terlihat di layar dengan yang kita lihat langsung mungkin beda,” katanya.

Ia menambahkan, bahwa saat ini banyak lulusan UTB yang telah bekerja di luar negeri. Di Belanda, di Amerika Serikat, juga di Jepang. Kebanyakan para alumni bekerja di perusahaan manufaktur, engineering, dan otomotif. Bahkan ada juga alumni yang bekerja di bidang aeroturbin service di Abu Dhabi.

Sedangkan yang di dalam negeri, para alumni UTB telah banyak bekerja di sejumlah perusahaan BUMN, di OPD-OPD pemerintah provinsi, kota maupun kabupaten.

“Bahkan ada juga mahasiswa UTB yang saat ini bekerja di Kemensetneg atau Kementrian Sekretariat Negara dan menjadi staf presiden,” kata Nasser.

Adapun visi memberdayakan potensi lokal menjadi global, Nasser mewujudkannya dengan mendorong ekosistem creativepreneur. Produk-produk lokal tersebut didorong untuk mengglobal. Tidak hanya produk, ia intens mendorong mahasiswanya bekerja di luar negeri. Itu adalah bagian mengembangkan potensi lokal ke tataran global. SDM dikembangkan sehingga kompeten bersaing di tataran global. Kemudian yang ingin berwirausaha, mereka dikembangkan dan dibimbing agar produknya bagus, dan bisa diterima masyarakat global.

Nasser mencontohkan salah satunya adalah pendampingan mahasiswa KKN UTB di daerah Sumedang. Mahasiswa dan dosen mendampingi UMKM lokal yang memproduksi Combring atau combro kering. Pendampingan dilakukan dari proses produksi, hingga pengemasan. Kemasan dipercantik, produk semakin enak. Efisiensi meningkat. Mekanisme produksi semakin singkat. Produk yang semula dihargai Rp 10.000/kemasan menjadi Rp 15.000.

“Volume yang dijual memang lebih sedikit, tapi orang jadi lebih tertarik untuk membeli. Nah kemarin saat kami menyelenggarakan nasional conference, ada tamu dari Malaysia yang beli. Nah itu sudah masuk dalam tataran global,” cerita Nasser.

Di sisi lain, Nasser menyebutkan semakin banyak alumni UTB yang bekerja di luar negeri berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi nasional. Ilustrasinya, penghasilan yang mereka terima di luar negeri dikirimkan ke Indonesia. Sehingga orang tuanya yang bahkan saat sosialisasi mahasiswa tidak mampu berangkat ke Bandung, ekonominya meningkat.

“Misalnya, mereka yang berangkat ke Jepang, mengirimkan uang untuk orang tuanya. Sekolah adiknya jadi bagus. Dengan uang kiriman itu, ekonomi keluarga meningkat, ada perbaikan gizi. Itu sebagai dampak kemajuan ekonomi bagi masyarakat nasional. Itu yang kami harapkan,” katanya.

Wakil Rektor Creativepreneur

Nasser pun optimis dengan keunggulan tersebut, UTB bakal makin berkembang. Saat ini saja jumlah mahasiswanya lebih dari 4.000 mahasiswa yang tersebar di lima program studi. Mereka diampu dosen tetap yang berjumlah 100 orang dan 50 dosen tidak tetap. Sejak berdiri 1991, UTB telah meluluskan 3.400 mahasiswa.

Jumlah mahasiswa baru yang diterima UTB setiap tahun, ungkap Nasser, rata-rata di atas 1.000 orang. Kadang bahkan mencapai 1.200 mahasiswa baru. Sejak masih bernama STB, jumlah mahasiswa yang diterima selalu meningkat. Trennya, bahkan seperti harga emas, terus naik. Sekalipun demikian, ia tetap memperhatikan kapasitas.

Untuk urusan ini, UTB menambah lokal baru. Salah satunya membeli gedung bekas karaoke dan spa pada tahun 2021. Gedung tiga lantai tersebut direnovasi. Lantai satu sudah full dipakai operasional perkuliahan. Begitu juga di lantai dua, ada perpustakaan, ruang kelas, lab, dan sebagainya. Adapun lantai tiga masih dalam tahap renovasi. Bahkan dance floor disulap untuk pengembangan kesenian mahasiswa, seperti latihan angklung, paduan suara, hingga. Dengan tambahan lokal baru tersebut, UTB siap menerima 1.500 mahasiswa baru.

“Kami pun membuatkan tagline. Dahulu gedung ini bercahaya hanya di malam hari, kini bercahaya sepanjang hari,” katanya.

UTB juga menyiapkan banyak beasiswa untuk mahasiswa-mahasiswa yang kurang beruntung tapi punya talenta atau motivasi yang kuat untuk belajar. Misalnya saat pandemi tahun 2021, UTB memberikan beasiswa untuk 500 mahasiswa full selama dua semester. Kemudian ada pula keringanan biaya SPP untuk semester 3 sampai 8, hanya Rp 1.500.000 per semester.

“Itu dari kalangan kurang mampu dan punya potensi. Insya Allah November ini mereka semua wisuda,” terang dia.

Dengan jumlah mahasiswa lebih dari 4.000 orang, sejatinya sudah cukup sehat untuk sebuah perguruan tinggi. Sekalipun demikian, UTB juga menggali potensi-potensi lain di luar sumber kemahasiswaan. Untuk tujuan ini, kampus secara khusus membentuk wakil rektor bidang creativepreneur. Tugas utamanya fokus bergerak mencari pemasukan lain dari usaha-usaha perguruan tinggi. Setahun berjalan, revenue-nya mencapai ratusan juta rupiah. Cakupan usahanya, beraneka macam, termasuk memproduksi furniture untuk kebutuhan internal, seperti bangku-bangku anak-anak nongkrong di beberapa spot, juga sofa. Bahkan secara khusus sedang mempelajari cara membuat furniturefurniture bagus yang dijual di toko-toko.

“Itu mungkin kesannya biasa. Tapi ternyata itu adalah bagian dari keilmuan teknik industri, termasuk DKV juga bergerak ke sana,” ungkap Nasser.

Nasser yang berlatar belakang pendidikan informatika terus belajar mengelola SDM UTB. Sehingga ia merasa bahwa yang paling perlu diperhatikan adalah menjaga sustainability dari sebuah institusi, termasuk di dalamnya adalah menjaga soliditas hubungan antar SDM di dalam perguruan tinggi agar tetap sehat. Prinsipnya, hubungan yang sehat, dan soliditas yang terjaga, sebuah institusi bisa meraih banyak hal.

Ia pun telah mendelegasikan tugas-tugas kepada setiap wakil rektor. Ada empat wakil rektor. Wakil rektor pertama mengurusi bidang pembelajaran dan kemahasiswaan atau WRPKM, kemudian wakil rektor yang mengurusi bidang pengembangan sumber daya manusia keuangan dan aset atau WRPSKA, selanjutnya wakil rektor mengurusi riset inovasi dan creativepreneur atau WRRJP, serta wakil rektor mengurusi humas kerja sama dan alumni atau HKSA.

“Wakil rektor mengurusi riset inovasi dan creativepreneur ini, mungkin hanya kami yang punya,” katanya.

Banyak Membantu Rebranding UMKM

Sebagai perguruan tinggi, UTB pasti mempunyai kegiatan riset dan pengabdian masyarakat. Kegiatan tersebut benar-benar bermanfaat untuk lingkungan.

Nasser menggambarkan banyak hal telah ditempuh UTB. Data riset dan pengabdian masyarakat tersebut jumlahnya cukup banyak, dan didata rapi di wakil rektor bidang terkait.

Pengabdian masyarakat itu, misalnya Implementasi Green Energy di Cikutra, Kota Bandung. Kemudian bersama Dinas Sosial Jawa Barat, Prodi DKV merancang pembuatan mural Kampung Kreasi Batik difabel sebagai destinasi edu wisata di Griya Harapan Difabel Dinsos Jawa Barat. Selanjutnya terkait dengan sampah, UTB menyiapkan sejumlah pendekatan untuk mengurai sampah yang telah menjadi masalah klasik Kota Bandung.

Nasser juga menyebut UTB sangat konsern memberikan pelatihan-pelatihan bagi masyarakat, seperti sablon untuk industri kreatif, perancangan ulang sign system kawasan wisata Stone Garden di Kabupaten Bandung Barat, pelatihan peningkatan kualitas sarang burung walet di Lampung, serta pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan transformasi digital.

“Bahkan pasca pandemi, kami me-rebranding sekitar 80 UMKM, baik desain kemasan warna, maupun citra produk. Kabarnya terjadi peningkatan omset setelah rebranding. Tanpa kami pungut biaya, sehingga program pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh dosen dan mahasiswa UTB betul-betul berdampak bagi masyarakat,” papar Nasser.

Rebranding, pelatihan, juga transformasi digital, memang berkaitan erat dengan prodi-prodi di UTB. Begitu juga dengan green energy dan sampah, terutama berkaitan dengan alat yang dipakai. Hal itu dilakukan mahasiswa dan dosen teknik industri yang memiliki background di manufacturing. Jadi banyak terlibat dari teknik industri dan informatika untuk green energy serta pengolahan sampah.

Perluasan Lahan

Sekalipun banyak kemajuan telah dicapai UTB, Nasser tetap memiliki target-target ke depan. Pertama, terkait dengan pembelajaran atau pendidikan, institusi fokus mengejar akreditasi dari pemerintah/BAN PT serta dari lembaga akreditasi mandiri. Di luar itu juga fokus mendapatkan akreditasi dari masyarakat. Ia teringat ucapan belasan tahun dari seorang pejabat Dikti, bahwa akreditasi pemerintah penting untuk validasi secara legal, tapi yang paling penting adalah akreditasi dari masyarakat. Karena bisa jadi, akreditasi program studinya bagus, tapi peminatnya turun.

“Nah kami, meskipun ada program studi yang akreditasinya belum unggul, tapi peminatannya naik terus. Artinya akreditasi masyarakat juga tidak kalah penting. Tapi kami tetap taat asas kepada pemerintah,” jelas Nasser.

Kedua, terkait bidang penelitian. Nasser ingin membangun jejaring kolaborasi riset. Menurutnya hal itu didukung pemerintah. Ketiga, dalam bidang-bidang inovasi, UTB bersemangat untuk membangun produk-produk inovasi, baik yang dibagikan gratis bagi masyarakat maupun produk-produk invasi komersial.

Program-program tersebut menurutnya didukung tiga ekosistem utama UTB, yaitu ekosistem prestasi, ekosistem creativpreneur, dan ekosistem SDM siap kerja. Tiga ekosistem tersebut siap mendorong kemajuan mahasiswa dan alumni. Sehingga Nasser pun memperhatikan dan mendorong pengembangan SDM, termasuk para dosen untuk segera naik jenjang ke guru besar.

“Salah satu PR kami adalah perluasan lahan. Kami sangat berharap bisa menambah lahan karena nampaknya dengan pertumbuhan yang sangat baik, respon baik dari masyarakat, kami menduga 2-3 tahun lagi, kampus ini sudah mulai penuh sesak,” ujar Nasser.

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait