Akhirnya ia memberanikan diri keluar dari kampung, bersekolah di SMA Singaraja. Kemudian melanjutkan kuliah juga di Singaraja, di salah satu fakultas Universitas Udayana. Kebetulan pada waktu itu ia salah satu mahasiswa penerima beasiswa tunjangan ikatan dinas (TID).
“Jadi saya otomatis diangkat sebagai PNS dan ditempatkan sebagai dosen di almamater saya yaitu di STKIP Negeri Singaraja,” katanya.
Kemudian studi S2 di IKIP Bandung. Jeda setahun, melanjutkan program doktoral di S3 UPI Bandung. Pada fase tersebut, karena bukan tipikal orang yang senang diam, mendirikan sebuah NGO yang bergerak di bidang konsultan politik dan pendidikan. Sejumlah kandidat legislator dan calon kepala daerah sempat didampingi.
Diminta balik ke kampus untuk menjadi ketua program studi di S2 dan S3 pendidikan dasar. Selanjutnya pada 2012 dipercaya sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), sebuah fakultas terbaru Undiksha. Kala itu ia mengelola seribuan mahasiswa. Begitu FEB stabil, ia mendapat tugas baru sebagai wakil rektor. Setelah dua priode mengemban tugas itu, Prof Lasmawan terpilih sebagai rektor. Sekalipun demikian, ia tetap merendah. Ia tak merasa hebat. Ia merasa pencapaiannya tersebut hanya karena Tuhan kasihan dengan perjalanan nasibnya sejak kecil.
“Saya sangat bersyukur, bisa dikukuhkan sebagai guru besar di tahun 2000 saat berumur 36 tahun. Ini bukan karena saya hebat, Tuhan menguji saya untuk lebih bisa mengabdikan diri bagi masyarakat,” katanya.
Lembaga Kursus
Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) berawal dari lembaga kursus bahasa Indonesia di tahun 1955. Kemudian pada 1957 ditambahkan dengan kursus tata niaga, dan pada 1960 menjadi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), yang bernaung di bawah Universitas Airlangga Surabaya. Kemudian pernah juga di bawah naungan Universitas Negeri Malang, sebelum akhirnya bernaung di Universitas Udayana.
Jarak antara FKIP Udayana yang berada di Bali Utara dan kampus pusat di Bali Selatan sangat jauh, akhirnya diputuskan pada 1993, beralih status menjadi STKIP Negeri Singaraja. Selanjutnya menjadi IKIP Negeri Singaraja di tahun 2001. Kemudian pada tahun 2006, berubah menjadi universitas sesuai mandat dari kementerian. Semua program studi (prodi) yang awalnya hanya bidang pendidikan, berkembang dengan prodi non kependidikan.
“Menjadi seperti sekarang ini, menjadi Universitas Pendidikan Ganesha, mungkin di Indonesia hanya dua mantan IKIP yang masih menggunakan kata atau pendidikan yaitu UPI Bandung dan Undiksha,” ceritanya.
Nama Ganesha, ungkap Prof Lasmawan, dipilih karena dalam filosofi Hindu, itu adalah dewa yang sangat sakti, sangat mumpuni dari sisi pengetahuan, kedirian, integritas, dan terlahir sedemikian rupa yang membawa nuansa kebaikan di dunia. Sehingga sivitas akademika berkeyakinan dengan menggunakan kata Ganesha sebagai penamaan institusi, ada keyakinan kuat bahwa Undiksha, sekalipun memulai dari nol, tapi akan melahirkan bukan nol. Itulah sebenarnya esensi sebuah proses pendidikan. Sedangkan kata pendidikan, tetap disematkan karena tidak ingin kehilangan makna pendidikan.
“Kita ingin mendapatkan vibrasi dan dan medium secara spiritual dari Dewa Ganesha,” katanya.
Falsafah THK
Undiksha, mengusung visi menjadi universitas unggul di Asia tahun 2045 berlandaskan falsafah Tri Hita Karana (THK), berkonsep keseimbangan trilogi, yaitu keseimbangan antara manusia dan Tuhan, keseimbangan antara manusia dan manusia, serta keseimbangan manusia dan lingkungan.
Hal itu diturunkan dalam tata kelola keseluruhan lembaga. Ia yang menjalani karir dari bawah sangat paham Undiksha berbenah, bertumbuh, dan berkembang. Kata kuncinya adalah membangun harmoni. Ia mencontohkan wujud keharmonian itu adalah saat dirinya terpilih rektor lewat voting. Seratus persen anggota senat memilih dirinya, termasuk tiga kandidat rektor pesaingnya.
Keharmonian dan keselarasan tersebut dibangun dari level manajemen terendah, antar sivitas akademika, antar dosen dan mahasiswa, hingga lingkungan kampus. Sehingga terjalin nuansa kebersaudaraan, tidak ada faksi, apalagi friksi. Segenap sivitas akademik bersama-sama bekerja untuk mewujudkan akreditasi unggul yang diberikan oleh BAN PT. Ia merasa bahwa akreditasi unggul tersebut merupakan buah karya kebersamaan tanpa batas bersama sivitas akademika.
Di samping itu, menurutnya pembenahan fasilitas pembelajaran, peningkatan kapasitas SDM, peningkatan pelayanan kepada mahasiswa, juga dilakukan terus menerus. Satu hal yang menarik, , Undiksha adalah salah satu PTN yang diberikan model pengelolaan BLU dengan modal hanya Rp 46 miliar. Sekalipun demikian, institusi bisa membayarkan remunerasi kepada staf dosen dan pegawai enam bulan setelah SK BLU turun tanpa keributan. Padahal di beberapa institusi lain bisa 3, 4 bahkan 5 tahun baru bisa membayar remunerasi.
“Di Undiksha hanya 6 bulan dan tanpa keributan. Saya merasa sangat berbangga merasa terapresiasi oleh semua sivitas,” ujarnya.
Perkembangan Undiksha lumayan pesat. Saat ini memiliki delapan fakultas dan satu sekolah pasca sarjana. Fakultas yang paling muda adalah fakultas kedokteran. Ini menjadi prestasi tersendiri, sebagai perguruan tinggi mantan IKIP yang pertama kali diizinkan membuka Fakultas Kedokteran, tahun 2018.
Jumlah dosen PNS plus P3K, mencapai 625 orang. Sementara itu ada 392 tendik tenaga administrasi. Mereka mengampu 18.000-an mahasiswa reguler, dan 8.000-an mahasiswa PPG. Jadi secara keseluruhan jumlah Undiksha sekitar 26.000. Untuk 2025, menyediakan 8.484 kursi bagi mahasiswa baru. Diharapkan sampai 2026, Undiksha minimal memiliki 22.000 mahasiswa reguler, dan pada 2030 pada posisi 30.000 mahasiswa reguler.
Tidak Mahal
Prof Lasmawan menggarisbawahi, bahwa jumlah mahasiswa tersebut bukanlah pesan yang hendak disampaikan ke masyarakat. Salah satu hal penting yang harus diketahui publik adalah mahasiswa Undiksha berkuliah dengan biaya murah, tetapi layanan yang diterima, tidak murahan. Wajar jika Undiksha terkenal di kalangan masyarakat Bali, Jawa Timur, NTB, NTT, dan provinsi lainnya. Karena saat ini mahasiswa Undiksha berasal dari hampir 33 provinsi. Bahkan yang mencengangkan, mahasiswa asal luar Bali yang paling banyak adalah dari Sumatera Utara.
“Saat menghadiri kegiatan IKAMSU, Ikatan Mahasiswa Sumatera Utara, ada kurang lebih 1.000 mahasiswa dari Sumatera Utara yang tersebar hampir di 10 program studi. Ini membuktikan bahwa apa yang kita lakukan di Undiksha dilihat oleh orang di luar Bali. Saya berharap ini tetap berkembang bertumbuh dengan tanpa mengabaikan esensi masyarakat, yaitu kebutuhan pendidikan dengan biaya yang tidak mahal,” papar dia.
Sebagai ilustrasi, Prof Lasmawan mencontohkan di S1 Fakultas Hukum, UKT-nya bergerak dari angka Rp 500 ribu sampai yang tertinggi Rp 4,6 juta. Rata-rata UKT persemester Rp 2,6 juta. Mereka pun hanya bayar sampai delapan semester. Andai belum lulus setelah delapan semester, mahasiswa hanya membayar layanan akademis saja, sekitar Rp 750 ribu sampai satu juta rupiah.
Ia menjelaskan bahwa pembiayaan pendidikan tidak sepenuhnya berasal dari mahasiswa. Undiksha memiliki banyak dosen yang inovatif, dan kompeten di bidangnya. Salah satu buktinya, Undiksha mendapat anugerah Ristek Dikti Gold Medal untuk kerja sama dengan dunia industri dan kerja sama dengan NGO asing. Jadi beberapa produk penelitian dosen dihilirisasi ke dunia industri dengan bangunan kerja sama simbiosis mutualis. Selain itu juga kerja sama dengan pemda kabupaten atau kota maupun provinsi terutama di Bali. Saat ini pendapatan
institusi di luar UKT mahasiswa mencapai 23 %. Pendapatan dari hasil kerja sama hiirisasi dan bentuk-bentuk kapitalisasi aset tersebut mampu menutup kebutuhan pendanaan di luar belanja pegawai.
“Saat ini Undiksha sedang berproses menuju PTNBH. Satu hal yang saya tegaskan kepada mahasiswa bahwa perubahan status BLU menjadi PTNBH tidak akan pernah ada kenaikan UKT atau penambahan biaya apapun,” tandasnya.
Prof Lasmawan menganalogikan seorang pemimpin yang ditaruh di hutan harus mampu membawa beras pulang dan memasakkan bagi masyarakat.
Ia berusaha keras untuk menghilangkan stigma bahwa pendidikan tinggi harus mahal. Bersama sivitas akademika, ia berjuang memberikan layanan maksimal kepada mahasiswa. Selain UKT, tidak ada pungutan apa pun.
Di kampus, mahasiswa bahkan bebas mengakses internet gratis tanpa batas. Ruang kuliah pun nyaman. Apalagi Undiksha memiliki 18 program studi terakreditasi internasional di hampir semua fakultas, sehingga otomatis kelas-kelas pun harus bersandar internasional. Sehingga mahasiswa pun nyaman kuliah.
Di sisi lain, Prof Lasmawan merupakan salah satu rektor yang tidak pernah menutup pintu bagi mahasiswa. Jadi sepanjang di lingkungan kampus, mereka bisa menemui rektor kapan saja. Bahkan dengan lembaga kemahasiswaan, ia membangun komunikasi yang setara. Dirinya memerankan diri sebagai orang tua. Jadi orang tua harus momong anaknya, harus memfasilitasi anaknya untuk bertumbuh dengan normal, bahkan bila perlu mempercepat perkembangan kompetensi mahasiswa.
“Jadi dengan biaya yang tidak mahal, bukan berarti fasilitasnya kurang,” ujarnya.
Meneliti Lontar Kuno Fokus Reputasi Global
Dengan predikat akreditasi unggul, katanya, pintu gerbang jejaring Undiksha bakal lebih terbuka, baik dengan perguruan tinggi dalam negeri, maupun perguruan tinggi luar negeri. Begitu juga dengan dunia industri, akan semakin bergairah.
Kepercayaan publik terhadap sumber daya, terutama para dosen, semakin meningkat. Dengan peningkatan tersebut, ia pun berkeyakinan membawa feedback positif bagi Undiksha.
Di sisi lain, Undiksha juga memberikan manfaat bagi masyarakat lewat kegiatan riset dan pengabdian masyarakat. Sejauh ini, beberapa hasil risetnya, bukan hanya terpublish dalam bentuk artikel di jurnal, melainkan juga memecahkan berbagai persoalan. Itu membuktikan bahwa Undiksha hadir di tengah-tengah masyarakat melalui pendekatan riset.
Salah satunya bekerja sama dengan perguruan tinggi di Belanda, melakukan penelitian terkait dengan pelestarian lontar-lontar kuno dan peninggalan-peninggalan sejarah yang dikemas dalam bentuk virtual. Ada beberapa lontar yang sudah dikembalikan oleh Belanda. Di Singaraja di simpan di Gedung Kertie. Itu adalah museum penyimpanan lontar-lontar kuno Bali. Undiksha membantu dengan riset agar lontar itu tidak punah termakan usia, makna serta substansi lontar tidak hilang. Sehingga diperlukan riset dan penelitian agar nilai-nilai adi luhung tersebut tidak hilang.
Menurutnya itu sangat bermanfaat bagi masyarakat Bali. Jangan sampai masyarakat Bali kehilangan civilization-nya. Pihaknya selalu berkoordinasi dengan pemerintah daerah. Kemudian setiap tahun, harus ada riset-riset tematik. Artinya riset-riset tersebut betul-betul bersentuhan dan menyentuh akar persoalan masyarakat. Sehingga masyarakat merasakan kehadiran Undiksha. Perguruan tinggi bukan menara gading.
“Kita betul-betul hadir di masyarakat melalui pengabdian. Kita juga memiliki beberapa desa binaan dengan konsep one village one product. Kita ingin desa-desa binaan ini menghasilkan sebuah produk yang berbasis potensi desanya yang bernilai ekonomi,” jelas dia yang sudah melakukannya sejak 2019.
Kekuatan Alumni
Imbasnya, lanjut Prof Lasmawan, setiap tahun jumlah peminat ke Undiksha semakin meningkat. Tingkat keketatan seleksi di 10 prodi, tinggi. Itu membuktikan bahwa Undiksha mulai ada di hati masyarakat Bali, bahkan di Sumatera Utara. Sebagai bentuk apresiasi, ia mengutus seorang dekan berkunjung ke Sumatera Utara untuk sosialisasi sekaligus bersilaturahim dalam berbagai kegiatan seperti natalan atau buka puasa bersama.
“Saya ingin menjadikan Undiksha sebagai kampus Nusantara. Salah satu caranya, bagaimana kita mengurangi tindakan-tindakan dan sikap-sikap radikalis serta skeptis di kalangan mahasiswa,” terang dia.
Harus diakui, kesuksesan alumni merupakan etalase untuk mengukur keberhasilan sebuah perguruan tinggi. Demikian juga dengan alumni Undiksha yang diwadahi dalam Ikatan Alumni Undiksha. Beberapa di antara mereka jadi ‘’orang’’. Mereka berkarir di berbagai bidang. Ada yang menjadi anggota DPRD, baik provinsi maupun kabupaten, kepala dinas pemerintahan, bahkan sempat ada yang menjadi bupati, dan sekretaris menteri dalam kabinet pemerintahan Jokowi. Selain itu ada yang menjadi rektor, wakil rektor di beberapa perguruang tingi. Mereka itulah yang sejauh ini membantu mendatangkan pendanaan dan hibah-hibah.
Karena itulah, ia sangat berterima kasih kepada para alumni yang peduli terhadap almamaternya. Setiap dies natalis, mereka diundang untuk berbagi cerita sukses kepada para mahasiswa. Itu merupakan potret keharmonian Undiksha.
“Undiksha merupakan satu contoh harmoni yang sesungguhnya. Tidak ada kepura-puraan, apalagi dusta di antara kita. Jadi betul-betul apa adanya,” ujar Prof Lasmawan.
Masyarakat Internasional
Ia menekankan bahwa dalam mengelola perguruan tinggi, peran pemimpin sangat menentukan. Hal itu ditegaskan dalam tagline Undiksha, “Dharmaning Sajjana Umerdhyaken Widyaguna” . Ini berarti bahwa kewajiban orang bijaksana adalah mengembangkan ilmu pengetahuan dan pekerti. Filosofi itu diterjemahkan dalam aktivitas akademik di kampus bahwa pembelajaran bukan semata-mata mentransfer pengetahuan, melainkan memfasilitasi setiap mahasiswa menginternalisasikan pengetahuan, serta nilai moral. Sehingga mereka terampil berkehidupan. Membuat orang hafal dan paham, menurutnya lebih mudah dibandingkan membuat orang terampil hidup dengan pemahamannya. Itulah makna daripada “Dharmaning sajjana umerdhyaken widyaguna”.
Undiksha tidak berhenti hanya pada membuat orang dari tidak tahu menjadi tahu, tetapi bagaimana membuat mahasiswa dari tidak tahu menjadi tahu, dan menggunakan ketahuan tersebut bagi diri dan masyarakatnya.
“Jadi education is not only knowing, but education is about being. Jadi bagaimana melalui pendidikan dia menjadi sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang lebih berguna dan sesuatu yang lebih berkualitas. Disinilah pertaruhan seorang leader, jika pemimpin mampu memfasilitasi, mengajak, dan mengembangkan orang yang dipimpinnya menjadi berarti, bermakna bagi kedirian dan masyarakat, itulah kunci seorang pemimpin berhasil,” tandasnya.
Mimpi Prof Lasmawan adalah menjadikan Undiksha sebagai trendsetter university yang berstandar International Reputable University in Education and Leadership (IRUEL) . Ia ingin Undiksha menjadi rumah pembelajar bagi mahasiswa asing dan bisa berkiprah memberikan warna pada perkembangan masyarakat, bukan hanya nasional tapi internasional. Sebagai bukti, saat ini Undiksha memiliki 192 orang mahasiswa asing dari program reguler. Kemudian ada yang masuk lewat program pendek, hanya 3 atau 6 bulan. Mereka berasal dari Bulgaria, Prancis, China, Malaysia, Singapura, dan Norwegia.
Itu menjadi bukti bahwa bangunan Undiksha mulai dipercaya masyarakat asing dan mahasiswa Indonesia. Harapannya, Undiksha betul-betul bertumbuh, berkembang, dan mampu memberikan warna bagi kemajuan pendidikan tinggi. Tidak hanya untuk level nasional, tapi level internasional.