Karir akademiknya berawal dari beasiswa ikatan dinas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang mengharuskannya menjadi dosen setelah lulus. Ternyata lulus sebagai mahasiswa berprestasi utama tingkat provinsi dan universitas. Pada 10 Agustus 1992 ia resmi bergabung dengan UMS atas rekomendasi Prof. Malik Fajar, rektor saat itu. Setahun kemudian, ia diangkat sebagai dosen tetap Dinas Perbantuan Kepegawaian (DPK), status yang dipertahankannya hingga kini.
“Saya alumni UMS sendiri, mengambil S1 di Fakultas Ekonomi dan Bisnis,” jelasnya.
Berkat ketekunan dan komitmen, karirnya menanjak. Pada 1995, ia memimpin Pusat Pengembangan Jurnal Ilmiah UMS, lalu menjadi Ketua Lembaga Penelitian (2008), Dekan (2014), dan Wakil Rektor Bidang Akademik, Riset, dan Pengabdian Masyarakat (2021).
Saat mendapat Amanah menjadi rektor, Prof. Harun memiliki mimpi besar menjadikannya World Class University Leader Market. Ia ingin UMS menjadi universitas kelas dunia yang menguasai pasar dengan input mahasiswa berkualitas, pasar proses akademik unggul, hingga pasar output lulusan yang berdampak. UMS terus memacu diri untuk menjadi pelopor dalam pengembangan pendidikan tinggi yang merata dan bermutu, baik di tingkat nasional maupun global.
Dosen ASN
Sebagai salah seorang dosen Aparatur Sipil Negara (ASN), Harun menjelaskan bahwa peran dosen DPK sebetulnya awal kebijakan itu ditujukan untuk mendukung pemerataan pendidikan tinggi, terutama di perguruan tinggi swasta (PTS).
Program DPK, yang sekarang sudah tidak ada, menurutnya masih relevan untuk menjawab tantangan aksesibilitas, kualitas, dan relevansi pendidikan tinggi. Oleh sebeb itu pemerintah perlu hadir tidak hanya di pendidikan dasar dan menengah, tapi juga di perguruan tinggi.
Perjalanan Prof. Harun membuktikan bahwa kesuksesan akademik bisa diraih melalui kerja keras dan konsistensi. Baginya, pendidikan adalah tangga untuk membuka peluang sekaligus berkontribusi bagi kemajuan bangsa. Saat ini, sebagai rektor, terus mendorong UMS untuk berinovasi dalam riset dan pengabdian masyarakat, mewujudkan visinya sebagai perguruan tinggi unggul berbasis nilai-nilai Islam.
Terpilihnya sebagai Rektor menjadi momentum baru bagi perguruan tinggi yang telah menorehkan reputasi gemilang di tingkat nasional maupun internasional. Ia menyampaikan tekadnya memimpin UMS dengan prinsip Jemaah Ta’awun, kebersamaan, kolaborasi, dan saling membantu yang merupakan amanah dari Persyarikatan Muhammadiyah.
Sebagai kampus yang sudah memiliki akreditasi unggul di 80 persen program studi, UMS akan fokus menyempurnakan sisa 10 persen prodi baru agar mencapai standar yang sama. Targetnya kami 90-95 persen prodi terakreditasi unggul. Untuk akreditasi internasional, saat ini baru 8 Prodi.
“Akan kami pacu menjadi 25-30 persen. Capaian ini sejalan dengan peningkatan publikasi Scopus yang melonjak dari 200 tahun 2022 menjadi 725 tahun 2024,” katanya.
Delapan Prioritas
Harun menetapkan Delapan Prioritas Pembangunan UMS sebagai kerangka kerja strategis untuk lima tahun ke depan. Prioritas pertama adalah Input Leader yang mencakup peningkatan kualitas mahasiswa, SDM, dan pendapatan institusi. Kedua, Process Leader berfokus pada modernisasi sistem manajemen, pengembangan infrastruktur, serta ekspansi keilmuan baik vertikal maupun horizontal. Ketiga, Output Leader menargetkan 95 persen program studi meraih akreditasi unggul dan 30 persen mendapatkan akreditasi internasional.
Keempat, Outcome University menekankan pada dampak nyata dari tridharma perguruan tinggi plus AIK bagi masyarakat. Kelima, penguatan budaya mutu berkelanjutan menjadi fondasi seluruh proses akademik. Keenam, peningkatan kapasitas riset dan publikasi internasional. Ketujuh, pengembangan kemitraan strategis di tingkat global.
Kedelapan, Beyond Excellent sebagai puncak pencapaian untuk memposisikan UMS sebagai World Class University Leader Market yang tidak hanya unggul secara akademik tetapi juga memiliki pengaruh signifikan di pasar pendidikan global. Keseluruhan prioritas ini dirancang untuk memperkuat posisi UMS sebagai perguruan tinggi berkelas dunia yang berdampak luas bagi kemajuan bangsa.
“Pendidikan harus berdampak, seperti ibadah yang menghantarkan pada husnul khatimah. Begitu pula kepemimpinan di UMS harus meninggalkan warisan bermakna,” ujarnya.
Tahap akhir prioritas adalah mengantarkan UMS sebagai Beyond Excellent atau World Class University Leader Market.
“Kami tak hanya mengejar ranking, tapi juga kepemimpinan di pasar global melalui inovasi dan relevansi,” tandasnya.
Usahakan Keseimbangan
Menurut Harun, UMS akan mengoptimalkan pertumbuhan melalui pendekatan tawazun (keseimbangan) antara ekspansi program studi dan peningkatan kualitas. Ia mengungkapkan bahwa strategi hybrid menjadi kunci dengan mengembangkan program Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) untuk perluasan akses, sekaligus memperkuat program doktor yang kini berjumlah delapan.
“Kami akan tambah prodi doktor produktif seperti S3 Kedokteran dan S3 Informatika, serta prodi berbasis AI dan komputasi global untuk menjawab tantangan era digital,” jelasnya.
UMS menerapkan program one dosen one achievement untuk mendorong kapasitas akademik, meliputi one dosen one riset, one publikasi. Saat ini, dari 804 dosen, UMS telah memiliki 56 guru besar. Prof. Harun yang dikukuhkan sebagai guru besar termuda pada 2010 di usia 44 tahun, ingin memacu dosen muda lebih cepat meraih gelar tersebut.
“Target kami guru besar usia 42-43 tahun agar lebih produktif menghasilkan karya monumental. Generasi muda harus unggul dalam teknologi, sambil menjaga kesantunan lintas generasi,” katanya.
Jumlah 37.000 mahasiswa dan 80 prodi, UMS tak hanya fokus pada pertambahan jumlah mahasiswa, tetapi juga peningkatan kompetensi. Program one student one achievement dirancang untuk memastikan setiap mahasiswa berkontribusi pada reputasi kampus melalui prestasi.
“Era sekarang menuntut lulusan yang tak hanya cerdas akademik, tapi juga menguasai teknologi dan berdampak sosial,” tambahnya.
Menjaga Integritas Akademik, Tidak Obral Gelar Kehormatan
Mendukung himbauan Ketua Umum PP Muhammadiyah tentang pengangkatan guru besar kehormatan, ia menegaskan komitmen kampusnya dalam menjaga integritas akademik.
Gelar guru besar kehormatan tidak boleh diobral atau diberikan secara instan. Harus diberikan hanya kepada tokoh yang benar-benar berjasa sebagai pelopor atau penemu dengan dampak luar biasa bagi masyarakat.
Kebijakan ini merupakan respon untuk mencegah praktik pemberian gelar yang bersifat pragmatis di lingkungan perguruan tinggi Muhammadiyah. Prof. Harun mengungkapkan, sejak bergabung dengan UMS pada 10 Agustus 1993 hingga kini, kampusnya belum pernah sekali pun menganugerahkan gelar guru besar kehormatan. Bahkan untuk gelar doktor honoris causa, UMS hanya memberikan satu kali sepanjang sejarahnya kepada mantan wartawan senior Karni Ilyas.
Hal ini menunjukkan budaya mutu dan integritas akademik UMS telah berjalan dengan baik. Sikap hati-hati ini sejalan dengan visi UMS untuk menjaga kredibilitas sebagai perguruan tinggi yang mengedepankan meritokrasi dan prestasi substantif. Kebijakan ini juga menjadi benteng terhadap potensi komersialisasi gelar akademik yang dapat merusak reputasi dunia pendidikan.
Sebagai perguruan tinggi peringkat kedua versi Times Higher Education (THE) di lingkungan Muhammadiyah, Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) mengukuhkan peran strategisnya dalam dua aspek krusial, yaitu penguatan jaringan alumni dan pendampingan perguruan tinggi Muhammadiyah/Aisyiyah (PTMA) yang sedang berkembang.
Alumni yang tersebar di 515 kabupaten/kota Indonesia akan difasilitasi melalui Wakil Rektor Bidang Internasionalisasi, Reputasi, dan Employability. “Kami tak hanya membekali knowing base, tapi juga doing base dan living together base. Dorong lulusan S1 untuk melanjutkan S2 di luar negeri, lalu kembali sebagai penggerak perubahan di daerah masing-masing,” tegasnya.
Model Spiral
UMS juga punya misi pendampingan kepada 21 Perguruan Tinggi Muhammadiyah-Aisyiah (PTMA) lain. Menggunakan metode spiral. Misalnya UMS membina UM Kalimantan Timur (UMKT), nanti UMKT akan membina PTMA lain. Begitu seterusnya. Pendekatan ini fleksibel, mempertimbangkan kewilayahan, prioritas, dan kedekatan budaya akademik.
“UMS sendiri menjadi pelopor berdirinya kampus Muhammadiyah di Teluk Bintuni dan Merauke, mewujudkan visi Muhammadiyah ada dari Sabang sampai Merauke,” katanya.
Pencapaian 80 persen prodi terakreditasi unggul, UMS berkomitmen mendorong PTMA binaan mencapai standar serupa. Targetnya pendidikan Muhammadiyah tak hanya merata, tapi juga bermutu. Langkah ini memperkuat posisi UMS sebagai role model pengembangan pendidikan tinggi berbasis nilai keislaman dan kemodernan.
Menanggapi kebijakan pemerintah yang ingin mengurangi jumlah perguruan tinggi, ia menegaskan bahwa pendirian kampus baru Muhammadiyah tetap diperlukan di daerah tertinggal.
“Di Teluk Bintuni contohnya, untuk mencapai sana butuh perjalanan panjang dari Jakarta via Sorong dan Manokwari. Ketika pemerintah belum bisa menjangkau, Muhammadiyah harus hadir,” tegasnya.
Ia menjelaskan, strategi Muhammadiyah bukan sekadar memperbanyak kampus, tapi memastikan setiap perguruan tinggi yang berdiri benar-benar berkualitas. Yang kecil disatukan, yang lemah diperkuat. Tapi di daerah 3T yang belum terjangkau, harus hadirkan pendidikan tinggi bermutu.