Pendidikan besar tidak selalu dimulai dari gedung megah atau modal melimpah. Pendidikan bisa lahir dari mimpi yang dijaga, kerja keras tanpa henti, dan keyakinan bahwa setiap anak bangsa berhak mendapatkan akses pendidikan berkualitas.
Kurniawan lahir dan besar di Sukabumi, Jawa Barat, menghabiskan masa kecilnya di kota itu hingga lulus SMA. Pada awal 1990-an, ia merantau ke Jakarta untuk mencari pengalaman hidup sekaligus melanjutkan pendidikan.
Perjalanan hidupnya tidak selalu mulus; ia sempat bekerja serabutan, mulai dari tenaga cuci hingga pegawai biasa di berbagai perusahaan.
Pada tahun 1996, ia terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Persada Indonesia jurusan Teknik. Meski sulit menjalani kuliah sambil bekerja, ia berhasil lulus dengan gelar Sarjana Teknik (ST) pada tahun 2001.
Antara 2003–2005, ia menempuh Master of Planning and Public Policy di Universitas Indonesia (UI). Walaupun tidak menyelesaikan program ini, pengalaman di UI membuka wawasan barunya.
Kurniawan kemudian melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) YAPPAN dan memperoleh gelar Magister Ilmu Administrasi Publik (M.Si.) pada 2008. Pada 2011, ia meraih gelar Magister Manajemen (M.M.) di Universitas Timbul Nusantara dengan fokus pada Manajemen Pemasaran.
Puncak perjalanan akademiknya tercapai pada 2016 saat ia menyelesaikan program doktoral di Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung, dengan gelar Doktor di bidang Strategic Management. Keahliannya ini sangat relevan dalam pengelolaan lembaga pendidikan tinggi.
Kenalkan Internet
Ketika Dr. Kurniawan meniti karier di Jakarta, ia melalui proses panjang yang penuh lika-liku, mulai dari pekerjaan serabutan hingga akhirnya menempati posisi manajerial.
Ia pernah merasakan bekerja sebagai tenaga cuci, pegawai biasa, hingga perlahan naik menjadi engineer dan konsultan di beberapa perusahaan. Posisi terakhirnya adalah sebagai manajer konsultan pada awal 2000-an.
Pengalaman bekerja di Jakarta membawanya bersentuhan dengan dunia yang jauh lebih luas dibandingkan kampung halamannya. Ia memahami dinamika perusahaan, manajemen modern, hingga standar profesional yang mendekatkannya dengan praktik terbaik di tingkat nasional dan internasional.
Koneksi ini memperkaya cara pandangnya bahwa kualitas sumber daya manusia dan penguasaan teknologi adalah modal penting bagi kemajuan daerah. Interaksi dengan dunia profesional yang kompetitif inilah yang mengilhami Kurniawan untuk membawa semangat serupa ke Sukabumi.
Di balik kesibukan kariernya yang stabil di ibu kota, ada kegelisahan yang terus menghantui: bagaimana dengan generasi muda di Sukabumi yang tidak memiliki akses pengalaman serupa?
Pertanyaan ini membuatnya bolak-balik Jakarta–Sukabumi sambil mulai merintis kursus komputer sederhana. Baginya, ilmu dan pengalaman yang ia peroleh harus kembali memberi manfaat bagi tanah kelahiran.
Saat kembali ke Sukabumi pada awal 2000, internet masih barang langka, dan sebagian besar masyarakat daerah belum mengenalnya.
Kurniawan melihat peluang strategis untuk menghadirkan akses digital, bukan sekadar untuk hiburan, tetapi sebagai pintu masuk pengetahuan. Ia pun mendirikan sebuah warung internet (warnet) kecil, yang kemudian disusul dengan kursus komputer.
Dari warnet dan kursus sederhana tersebut, Kurniawan perlahan menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Ia tidak hanya membuka usaha, tetapi juga membawa visi pendidikan yang berorientasi pada masa depan.
Kesadaran masyarakat akan pentingnya literasi digital semakin meningkat, dan inilah yang menjadi fondasi kuat bagi lahirnya lembaga pendidikan tinggi.
Dimulai pada tahun 2002, dari sebuah ruang kontrakan kecil di Sukabumi, Kurniawan mendirikan warnet dan kursus komputer bernama Nusa Putra (NSP). Kursus ini kemudian berkembang,
bahkan sempat membuka kelas bahasa Inggris, dan mendapat sambutan positif dari masyarakat. Melihat potensi tersebut, pada tahun 2004 dibentuklah Yayasan Nusa Putra yang menaungi Lembaga Pendidikan Profesional (LPI-NSP).
Mulai Sekolah Tinggi
Pada tahun 2006, Sekolah Tinggi Teknologi Nusa Putra (STTNSP) resmi berdiri sebagai tonggak baru pendidikan. Program studi yang dibuka meliputi Teknik Sipil (S1), Teknik Mesin (D3), dan Teknik Elektro (D3). Namun, perjalanan ini tidaklah mudah.
Tantangan muncul dari berbagai sisi, seperti penyelenggaraan yang belum merata, keterbatasan jumlah dosen dan tenaga kependidikan, hingga jumlah mahasiswa yang masih sedikit.
Bahkan, Kurniawan harus menggunakan dana pribadi untuk mendukung operasional, sementara sebagian besar kegiatan masih berlangsung di ruang kontrakan.
Meski dihadapkan pada berbagai keterbatasan, semangat inovasi tetap menjadi prioritas. Pada tahun 2008, Kurniawan memberikan beasiswa kepada mahasiswa yang bersedia kuliah sambil tinggal di pesantren, melahirkan Pesantren Nusa Putra.
Pendekatan ini tidak hanya menjadi solusi finansial, tetapi juga membangun karakter mahasiswa melalui pendidikan formal dan pembinaan moral.
Fondasi sekolah tinggi ini semakin kuat. Pada tahun 2012, Nusa Putra memiliki gedung sendiri, dan pada 2014 mulai menerima mahasiswa asing untuk program magang. Hal ini membuka jalan menuju pengakuan nasional dan internasional.
Perjalanan panjang lebih dari satu dekade akhirnya membuahkan hasil, dengan terwujudnya cita-cita Dr. Kurniawan menjadikan Nusa Putra sebagai universitas.
Dengan sabar, Sekolah Tinggi Teknologi Nusa Putra terus meningkatkan akreditasi, menambah program studi, tenaga pengajar, serta infrastruktur kampus sebagai prasyarat untuk naik kelas menjadi universitas.
Jadi Universitas
Pada 2 Februari 2018, melalui SK Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No. 108/KPT/I/2018, STT-NSP secara resmi berubah menjadi Universitas Nusa Putra, yang kini dikenal sebagai Nusa Putra University (NPU).
Transformasi ini memberikan NPU identitas dan visi yang lebih luas. Awalnya, NPU membuka dua fakultas utama: Fakultas Teknik, Komputer, dan Desain, yang menjadi fondasi sejak masa kursus komputer; dan Fakultas Bisnis, Hukum, dan Humaniora, yang memenuhi kebutuhan pendidikan modern.
Setelah menjadi universitas, NPU semakin agresif mengembangkan bidang keilmuan, memperkuat kurikulum, dan menambah program studi baru.
Saat ini, Nusa Putra memiliki 15 program studi aktif, mulai dari jenjang sarjana hingga doktoral (S3). Kehadiran program pascasarjana ini menjadi lompatan besar, mengingat kampus yang awalnya kursus komputer kini telah menghasilkan penelitian dan karya akademik tingkat lanjut.
Secara kelembagaan, NPU tetap mempertahankan dua fakultas besar, yaitu Fakultas Teknik, Desain, dan Komputer serta Fakultas Ekonomi, Bisnis, dan Pendidikan, yang menaungi berbagai program studi, termasuk teknik sipil hingga pendidikan guru, dari desain komunikasi visual hingga hukum, dari informatika hingga manajemen.
Format dua fakultas ini dipilih sebagai strategi konsolidasi agar koordinasi akademik lebih terarah. Dengan demikian, meskipun jumlah program studi sudah banyak, pengelolaannya tetap efisien dan fokus.
Perkembangan fisik kampus juga sangat mencolok dibandingkan masa awal. Jika dulu hanya berawal dari ruang sewa kecil untuk kursus komputer, kini kampus Nusa Putra berdiri di atas lahan hampir 3 hektare.
Kampus ini memiliki dua bangunan utama masing-masing 6 lantai, ditambah pembangunan gedung baru di seberang jalan dengan lahan lebih dari satu hektare.
Total luas bangunan mencapai sekitar 10.000 meter persegi, menjadi fasilitas bagi aktivitas akademik, laboratorium, perpustakaan, dan kegiatan mahasiswa.
Semua ini menopang jumlah mahasiswa yang kini mencapai sekitar 9.000 orang, menjadikan Nusa Putra salah satu kampus swasta terbesar dan paling berkembang di Sukabumi, bahkan di Jawa Barat bagian selatan.
Akreditasi Unggul
Banyak perguruan tinggi swasta di kota besar masih berjuang mendapatkan akreditasi unggul. Namun, NPU berhasil meraih status “Unggul” dalam waktu yang relatif singkat.
Pada 2020, NPU langsung mengajukan akreditasi internasional ke EQAR (European Quality Assurance Register for Higher Education) dan bermitra dengan lembaga AQAS Jerman. Hasilnya, 10 program studi memperoleh akreditasi penuh.
Langkah ini membuat NPU melampaui banyak kampus lain yang masih berproses panjang di dalam negeri. Meski regulasi kemudian berubah, akreditasi internasional ini tetap menjadi modal kuat untuk mendapatkan pengakuan “Unggul” di Indonesia.
Saat ini, setidaknya ada tiga program studi unggulan dengan status akreditasi “Unggul”, sementara yang lainnya berstatus “Baik Sekali”. Hal ini membuktikan kualitas akademik NPU secara global, sekaligus menjadi daya tarik bagi calon mahasiswa dari berbagai penjuru daerah.
Punya Mahasiswa Asing Terbanyak di Indonesia
Keunggulan NPU tidak hanya berhenti di tingkat nasional. Kampus ini mencatat prestasi unik, menjadi perguruan tinggi dengan jumlah mahasiswa asing terbanyak di Indonesia.
Pada tahun 2024, Kementerian Pendidikan Tinggi memberikan penghargaan resmi kepada NPU atas pencapaian ini, sejajar dengan kampus-kampus besar seperti ITS dan UI.
Jumlah mahasiswa asing yang awalnya hanya 388 orang kini telah mencapai sekitar 600 mahasiswa penuh waktu. Mereka berasal dari 86 negara, mulai dari Yaman, Mesir, Maroko, hingga beberapa negara di Afrika.
Mereka datang bukan hanya untuk program pertukaran, melainkan benar-benar mengambil kuliah reguler di jenjang sarjana. Program studi favorit di kalangan mahasiswa internasional adalah Teknik Sipil, Teknik Mesin, dan Informatika.
Kehadiran mereka menciptakan suasana kampus yang sangat beragam dan membuka ruang interaksi lintas budaya bagi mahasiswa Indonesia.
Diversitas ini menjadi ciri khas Universitas Nusa Putra. Dr. Kurniawan menyebutnya sebagai “globality” — keterbukaan dan keberagaman. Mahasiswa dari Papua berbaur dengan mahasiswa dari Mesir, mahasiswa Sukabumi berdiskusi dengan mahasiswa dari Nigeria.
Aktivitas sehari-hari berlangsung dalam bahasa Inggris, menciptakan lingkungan belajar multikultural yang jarang ditemui di perguruan tinggi swasta lain di Indonesia.
Kekhasan ini bahkan diakui oleh media internasional. Times Higher Education memberikan penghargaan kepada NPU dalam kategori “impact” karena dianggap berhasil menciptakan kampus dengan keragaman global yang berdampak nyata pada pembelajaran mahasiswa.
Kampus Merdeka
Daya tarik lain adalah alumni yang cepat terserap di dunia kerja. Karena sejak awal menerapkan sistem mirip “Kampus Merdeka”, mahasiswa diberi pilihan jalur magang, riset, atau pertukaran internasional sejak semester lima.
Banyak mahasiswa teknik yang magang di Jepang, Taiwan, hingga Slovakia, sehingga saat lulus mereka sudah memiliki pengalaman kerja global. Tidak heran, lulusan Teknik Sipil, Teknik Mesin, dan Teknik Elektro dari NPU hampir tidak pernah menganggur.
Alumni NPU kini tersebar di berbagai sektor, khususnya industri dan konstruksi. Beberapa melanjutkan studi ke luar negeri, sementara sebagian lainnya mendirikan usaha sendiri.
Kehadiran mereka menjadi bukti bahwa meskipun kampus lahir dari daerah, kualitas lulusannya mampu bersaing dengan lulusan kampus ternama.
Dari sisi dosen dan tenaga pendidik, NPU juga unggul dalam strategi manajemen. Kampus ini konsisten membangun atmosfer profesionalisme, bukan hanya mengandalkan semangat pengabdian.
Dosen diberikan kontrak kerja yang jelas, hak-haknya dihormati, dan peluang pengembangan diri disediakan. Banyak dosen difasilitasi untuk melanjutkan studi ke Malaysia dan negara lainnya.
NPU rutin menyelenggarakan enam konferensi internasional setiap tahun, bekerja sama dengan universitas di Jepang, Arab Saudi, Mesir, dan negara lain.
Semua konferensi ini terindeks Scopus, menjadikannya ajang bergengsi yang diikuti kampus-kampus besar Indonesia, termasuk ITB, UI, dan BINUS, sebuah universitas swasta ternama di Jakarta. Menariknya, banyak yang tidak tahu bahwa konferensi internasional ini sebenarnya diinisiasi dan dikelola oleh NPU.
Dengan kombinasi akreditasi unggul, jumlah mahasiswa internasional terbanyak, alumni sukses, serta dosen-dosen yang aktif dalam riset global, NPU kini sejajar dengan kampus-kampus besar Indonesia.
Lebih dari itu, kampus ini menawarkan sesuatu yang berbeda: sebuah universitas global yang tumbuh dari desa, berakar di Sukabumi, namun menjangkau dunia.
Nama “Nusa Putra”
Nama “Nusa Putra” bukan sekadar label, melainkan memiliki makna yang mendalam dan personal bagi Dr. Kurniawan. Ia menjelaskan bahwa istilah “Nusa Putra” lahir dari dua sumber inspirasi utama.
Pertama, gagasan “Putra Nusantara”, yang berarti anak bangsa dari berbagai pulau. Filosofi ini menekankan keterbukaan dan keberagaman—bahwa kampus, pesantren, maupun lembaga lain yang ia dirikan tidak boleh terbatas pada homogenitas tertentu. Ilmu hanya bisa tumbuh bila ada interaksi lintas latar belakang, budaya, bahkan negara.
Namun di balik itu, terdapat sentuhan personal yang membuat nama ini terasa istimewa. “Nusa Putra juga merupakan singkatan dari Nunung Supratman Putra,” ungkap Dr. Kurniawan.
Nunung Supratman adalah nama ayahnya. Dengan begitu, setiap kali nama ini disebut, mengalir doa dan penghormatan yang tak pernah putus kepada orang tua yang sangat berjasa dalam hidupnya.
Kombinasi antara makna kebangsaan dan penghormatan personal inilah yang menjadi fondasi moral sekaligus spiritual dalam perjalanan panjang Nusa Putra.
Di bawah nama Nusa Putra, Dr. Kurniawan membangun lebih dari sekadar universitas. Ada pesantren yang mengutamakan pendidikan karakter dan agama, kursus komputer yang menjadi awal mula, hingga berbagai aktivitas sosial yang berakar kuat di masyarakat.
Semua ini terjalin dalam satu semangat yang sama: menghadirkan pendidikan yang inklusif, terbuka, dan memberikan manfaat luas.
Salah satu wujud nyata dari filosofi inklusif ini adalah keberanian membuka kampus untuk siapa saja tanpa batasan latar belakang. Dia memberikan beasiswa kepada mahasiswa dari berbagai pelosok negeri, bahkan luar negeri. “Dari Papua pun ada,” ujarnya,
menekankan bahwa sejak awal dia berusaha memastikan setiap kabupaten memiliki minimal dua mahasiswa penerima beasiswa Nusa Putra.
Hasilnya, kampus yang bermula dari Sukabumi ini kini menjadi ruang belajar multikultural. Mahasiswa dari Sabang sampai Merauke hadir dan berinteraksi, membawa warna budaya yang beragam.
Lebih dari itu, suasana akademik yang menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar memperkuat identitas kampus sebagai lembaga yang siap bersaing di tingkat global.
“Kalau orangnya itu-itu saja, homogen, bagaimana ilmu bisa berkembang,” tegasnya.














