Sebelumnya tidak mengetahui adanya rencana pendirian perguruan tinggi baru tersebut, ia melengkapi berkas pendaftaran dan mengikuti seleksi bersama kandidat dari beberapa perguruan tinggi negeri lain.
Di tengah pandemi COVID-19, ia menerima undangan pelantikan sebagai Rektor ITH yang diselenggarakan di Jakarta. “Uniknya, saya dilantik sendirian, belum ada apa-apa di kampus, hanya rektornya saja,” ujarnya.
Setelah pelantikan, ia segera menghadap Walikota Pare-Pare untuk memulai langkah awal pendirian kampus. Pada Desember 2021, ia menerima kunci dua gedung hibah dari Pemerintah Kota Pare-Pare untuk menjadi kampus ITH,
salah satunya gedung bekas DPRD yang sudah kosong selama sekitar tujuh tahun sejak diusulkan menjadi aset Kementerian sebagai fasilitas ITH.
“Gedung itu butuh pembenahan luar biasa, sementara saat itu kami belum memiliki staf,” ungkapnya.
Berkat dukungan Walikota Pare-Pare, staf pemerintah kota dikerahkan untuk membantu. Disiapkan tujuh pegawai PNS yang akan dialihkan untuk operasional ITH, meskipun secara administratif baru resmi berpindah pada April 2022.
Membangun Dari Nol
Sebagai institusi baru, ITH belum memiliki status satuan kerja (satker) sehingga belum mendapat alokasi anggaran negara. Status satker baru didapatkan pada April 2022. Kampus ini memulai dengan membuka tiga program studi awal, yaitu Ilmu Komputer, Matematika, dan Sistem Informasi.
Saat program studi disetujui, belum ada dosen yang tersedia, tetapi kemudian mendapatkan 15 dosen pertama, masing-masing lima orang untuk setiap program studi. Pada Juli 2022, penerimaan mahasiswa baru dimulai meskipun belum terdaftar dalam seleksi nasional Kementerian Pendidikan.
“Mahasiswa awal kami hanya dari wilayah Pare-Pare,” ujarnya.
Dengan semangat membangun dan dukungan berbagai pihak, ITH perlahan tumbuh. Gedung-gedung yang sempat terbengkalai mulai difungsikan, staf mulai bertambah, dan proses akademik mulai berjalan.
ITH sempat tertunda pendiriannya cukup lama. Meskipun Peraturan Presiden tentang pembentukan ITH sudah terbit tahun 2014, rektornya baru dilantik pada 2021. Ansar mengungkapkan salah satu kendala utama adalah syarat minimal lahan 30 hektare yang belum terpenuhi.
Saat itu, ITH hanya memiliki lahan 3 hektare. Walikota Pare-Pare saat itu, Dr. HM Taufan Pawe, SH, MH, bersama masyarakat Pare-Pare bergerak cepat mencari lokasi tambahan. Dari hasil perjuangan itu, baru pada tahun 2021 diperoleh sertifikat lahan yang memadai untuk memenuhi persyaratan pendirian kampus.
ITH akhirnya memiliki tiga lokasi kampus. Lokasi pertama adalah gedung bekas DPRD yang menjadi titik awal aktivitas kampus. Lokasi kedua adalah Gedung Pemuda di atas lahan seluas 1,7 hektare. Lokasi ketiga adalah lahan kosong seluas 34 hektare di Desa Lemoe, Kota Pare-Pare. Pada tahun 2023,
ITH telah menyelesaikan Detail Engineering Design (DED) untuk pembangunan gedung di lahan 34 hektare tersebut. Namun, akses jalan menuju lahan itu belum tersedia.
Perjuangan berlanjut hingga Walikota definitif yang baru dilantik pada 2025. Setelah melakukan pendekatan kembali, akhirnya pembebasan lahan untuk akses jalan masuk ke lokasi 34 hektare tersebut berhasil dianggarkan.
Tidak Bisa Dipindah
Keberadaan ITH di Kota Pare-Pare bukan sekadar keputusan administratif atau lokasi yang kebetulan tersedia. Menurut Ansar, kampus ini lahir dari gagasan langsung Wali Kota Pare-Pare yang terinspirasi oleh sosok Presiden ketiga Republik Indonesia, Prof. B.J. Habibie.
Di Kota Pare-Pare, hampir semua fasilitas dan ikon penting menggunakan nama BJ Habibie. Ada lapangan bola BJ Habibie, masjid BJ Habibie, Rumah Sakit Ainun Habibie, bahkan ada juga patung cinta Habibie-Ainun.
“Ini menunjukkan betapa kuatnya hubungan emosional kota ini dengan Pak Habibie,” ujarnya.
Wali Kota Pare-Pare memiliki visi besar untuk menjadikan kota ini sebagai kota pendidikan, dan ITH menjadi bagian penting dari visi tersebut. Tidak hanya sebagai simbol,
kehadiran ITH merupakan upaya mengabadikan kota kelahiran B.J. Habibie, sekaligus menghormati jasa dan warisan intelektual beliau bagi bangsa. Gagasan ini tidak berdiri sendiri,
Wali Kota Pare-Pare saat itu aktif berkomunikasi dengan B.J. Habibie dan bersama-sama mengupayakan pendirian perguruan tinggi di kota tersebut. Bahkan, proposal pendirian ITH diajukan secara langsung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjelang akhir masa jabatannya.
Pendirian ITH diharapkan menjadi penyeimbang keberadaan institut teknologi di Indonesia Timur. Jika Sumatera memiliki Itera, Kalimantan memiliki ITK, dan di Jawa sudah berdiri ITB serta ITS, maka ITH Pare-Pare menjadi representasi institut teknologi untuk Sulawesi.
“Sejak awal, tidak pernah ada rencana untuk memindahkan ITH ke kota lain. Tempatnya memang harus di Pare-Pare, kota kelahiran Pak Habibie,” ungkapnya.
Misi Benua Maritim
ITH membawa visi besar yang terinspirasi dari konsep Benua Maritim yang dicetuskan oleh B.J. Habibie. Dalam pengembangan kampus dan kebijakan, Ansar secara aktif berkoordinasi dengan Dr. Ilham Akbar Habibie, putra B.J. Habibie, guna memastikan langkah-langkah yang diambil sejalan dengan pemikiran serta semangat yang diwariskan B.J. Habibie.
Salah satu gagasan utama adalah konsep Banua Maritim, yang menempatkan Indonesia sebagai negara kepulauan dengan tantangan besar dalam konektivitas. B.J. Habibie menekankan pentingnya membangun sistem terpadu yang menghubungkan udara, laut, dan darat, baik dari segi transportasi maupun energi.
Visi kampus ini adalah menjadi institut teknologi unggul berbasis inovasi Banua Maritim. ITH tidak hanya membangun laboratorium dan ruang kelas, tetapi juga mendorong penguasaan teknologi untuk menyatukan Nusantara melalui transportasi dan sistem energi yang terintegrasi.
Untuk itu, ITH memprioritaskan program studi yang berkaitan dengan Banua Maritim, dengan empat pilar utama: Teknologi Dirgantara, Teknik Perkapalan, Teknik Sipil, dan Teknologi Digital. Program studi Dirgantara menjadi salah satu prioritas, namun prosesnya menghadapi tantangan serius terutama dalam hal ketersediaan sumber daya manusia yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan program studi tersebut.
“Kami sedang berusaha keras mendirikan prodi Dirgantara, tetapi hingga saat ini kami belum menemukan lulusan S1 dan S2 Dirgantara yang bisa kami rekrut sebagai dosen,” katanya.
Potret Program Studi
Dalam perkembangannya, kampus ini tumbuh pesat hingga mengelola 16 program studi yang ditargetkan selesai pada tahun 2025,
seperti: Ilmu Komputer, Sistem Informasi, Matematika, Data Science, Teknik Robotika dan Kecerdasan Buatan (AI), Teknologi Pangan, Teknik Metalurgi, Teknik Sistem Energi, Bioteknologi, Teknik Industri, Teknik Lingkungan, Teknik Perkapalan, dan Teknik Sipil.
Program Teknik Robotika dan Kecerdasan Buatan menjadi salah satu pengembangan terbaru yang diajukan sejak 2023. Namun, program ini sempat tertunda karena nomenklatur yang belum tersedia di Kementerian Pendidikan, baru disahkan pada akhir 2024.
Akibatnya, penerimaan mahasiswa program ini dilakukan melalui jalur seleksi mandiri pada tahun 2025. ITH juga mempersiapkan pembukaan Program Studi Dirgantara, yang hingga kini masih dalam tahap pengajuan karena keterbatasan tenaga pengajar. Proposal telah disusun, namun kampus masih mencari dosen dengan kualifikasi yang sesuai.
Pengembangan program studi seperti Teknik Sistem Energi menjadi sangat penting karena Sulawesi Selatan memiliki pembangkit listrik tenaga bayu (angin) terbesar di Indonesia, tersebar di Sidrap dan Jeneponto dengan kapasitas masing-masing 75 Megawatt dan 65 Megawatt.
Program seperti Teknologi Pangan dan Bioteknologi dirancang untuk mendukung ketahanan pangan dan inovasi berbasis hayati, sedangkan Teknik Metalurgi merupakan respons terhadap potensi pertambangan yang melimpah di wilayah Sulawesi.
Potret Mahasiswa
ITH memulai penerimaan mahasiswa pada tahun akademik 2022/2023 dengan jumlah total 202 orang. yang tersebar di delapan program studi awal. Pada masa itu, penerimaan mahasiswa masih terpusat di Kota Pare-Pare karena kampus baru saja beroperasi dan promosi masih terbatas.
Tahun berikutnya, jumlah mahasiswa baru meningkat menjadi 333 orang seiring bertambahnya program studi yang dibuka. Pada 2024, penerimaan mahasiswa kembali meningkat menjadi 472 orang, dengan total program studi berkembang menjadi sebelas.
Secara keseluruhan, jumlah mahasiswa aktif di ITH sebelum penerimaan mahasiswa baru berikutnya telah mencapai 1.027 orang. Ini menjadi pencapaian penting bagi kampus yang baru beroperasi kurang dari tiga tahun.
Saat ini, kampus menargetkan penerimaan 800 hingga 1.000 mahasiswa baru untuk 16 program studi yang tersedia pada tahun akademik mendatang. Hingga kini, sebanyak 324 mahasiswa telah diterima melalui jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP) dan 31 mahasiswa melalui Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT).
Selain dua jalur nasional tersebut, ITH juga membuka jalur seleksi mandiri bagi calon mahasiswa dari daerah sekitar Pare-Pare. Jalur ini bertujuan memberikan akses pendidikan lebih luas bagi lulusan SMA di wilayah Ajatappareng, meliputi Kabupaten Barru, Kota Pare-Pare, Kabupaten Sidrap, dan Kabupaten Enrekang.
Perkembangan menarik terjadi ketika ITH mulai mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa secara nasional. Penerimaan melalui jalur SNBP dan SNBT berhasil menarik mahasiswa dari berbagai penjuru Indonesia.
“Saat kami cek data penerimaan, saya cukup terkejut, ternyata sudah tersebar di 24 provinsi. Mungkin ini juga karena nama besar Prof. Habibie yang menjadi daya tarik tersendiri,” ujarnya.
Gunakan Konsep CINTA Bangun Karakter Kampus
Untuk memperkuat budaya akademik dan membentuk karakter institusi, menurut Ansar, ITH mengusung nilainilai kepemimpinan yang dirangkum dalam konsep CINTA.
CINTA merupakan singkatan dari Character (karakter), Integrity (integritas), Nationalism (nasionalisme), Technology (penguasaan teknologi), dan Adaptivity (kemampuan beradaptasi). ITH percaya bahwa membangun karakter akademik adalah bagian penting dari pendidikan.
Oleh sebab itu, semua dosen dan tenaga kependidikan ITH mengikuti pelatihan TOT CINTA (Training of Trainers CINTA) untuk membentuk mindset dan metode pengajaran yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa.
ITH menggunakan pendekatan holistik yang menggabungkan wahyu, filsafat, sains, dan teknologi. Wahyu menjadi sumber nilai, filsafat sebagai landasan berpikir, sains sebagai dasar pengetahuan, dan teknologi menjadi alat yang tidak hanya fungsional tetapi juga bernilai untuk kemajuan peradaban.
Teknologi di ITH dipandang bukan hanya alat, tetapi bagian dari ilmu yang harus dipahami, dikuasai, dan dikembangkan dengan landasan moral serta pemikiran kritis.
Pelatihan core value ITH dilakukan secara terstruktur, dilengkapi dengan studi kasus agar dosen mampu menerapkan metode pembelajaran sesuai karakter mahasiswa dan konteks lokal Pare-Pare.
Melalui konsep CINTA dan core value ini, ITH berharap para mahasiswa tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga adaptif, berkarakter kuat, dan mampu bersaing secara nasional.
Dengan konsistensi, ITH bercita-cita melahirkan Habibie-Habibie baru dari Indonesia Timur yang akan berkontribusi pada kemajuan teknologi dan pembangunan Indonesia.
Setelah sukses menambah program studi secara kuantitaif, ITH kini fokus pada pembinaan dosen dan penguatan metode pengajaran. Langkah ini penting karena mahasiswa yang diterima memiliki peringkat nilai yang bervariasi. dengan rata-rata sekitar peringkat 300-an.
Sebagian bahkan berada di peringkat 600-an dalam jalur seleksi nasional. Kondisi ini menjadi tantangan tersendiri. ITH menyadari bahwa pendekatan pembelajaran yang diterapkan di kampus-kampus besar seperti Unhas atau ITS tidak bisa langsung diadopsi.
ITH memerlukan metode pendidikan yang lebih adaptif dan kontekstual Agar mahasiswa yang diterima di kampus ini tetap meraih kesuksesan akademik, ITH memprioritaskan pembinaan dosen dan penguatan metode pembelajaran kontekstual.
Dosen-dosen di ITH mendapatkan pelatihan khusus untuk membentuk mindset yang sesuai dengan kebutuhan mahasiswa melalui metode pengajaran berbasis Core Value ITH. Pelatihan ini berlangsung tiga hari, dilanjutkan dengan pengembangan studi kasus untuk membantu dosen menyesuaikan cara mengajar dengan karakteristik mahasiswa.
Perjuangan Finansial
Sebagai perguruan tinggi negeri baru, Institut Teknologi BJ Habibie (ITH) di Pare-Pare menghadapi tantangan finansial yang cukup besar. ITH mengandalkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang terjangkau,
mulai dari Rp500 ribu hingga Rp3 juta tergantung kategori. Mayoritas mahasiswa berasal dari keluarga sederhana, sehingga banyak yang mengajukan penurunan UKT, terutama saat orang tua mereka mengalami perubahan status pekerjaan seperti pensiun.
Untuk mengatasi keterbatasan dana, ITH mendorong dosennya aktif dalam pendanaan riset dan pengabdian masyarakat. Status kampus ini telah naik dari binaan menjadi Pratama di sistem BIMA Kementerian Pendidikan.
Pendanaan penelitian ITH meningkat signifikan dalam tiga tahun terakhir: tahun 2023 terdapat 7 penelitian dan 2 pengabdian, tahun 2024 ada 8 penelitian dan 9 pengabdian dengan total dana Rp500 juta,
dan tahun 2025 mencapai 28 penelitian senilai Rp1,038 miliar serta 3 pengabdian senilai Rp142 juta. Total dana riset pada 2025 mencapai lebih dari Rp1,17 miliar, diraih oleh dosen-dosen yang sebagian besar masih berpangkat asisten ahli.
“Hampir seluruh dosen terlibat dalam penelitian, dan itu menjadi kekuatan kami untuk membantu kampus dan mahasiswa,” ujarnya
ITH menempatkan riset sebagai solusi strategis, tidak hanya untuk membantu keuangan kampus tetapi juga untuk menguatkan budaya penelitian dan meningkatkan kualitas pembelajaran.
Kampus ini terus berupaya membangun ekosistem pendidikan yang sehat dan mendorong lahirnya generasi Habibie baru dari Indonesia Timur.