PTN Harus Fokus Kualitas Bukan Kejar Pendapatan – Oleh Prof. Dr. Ir. HM Budi Djatmiko, M.Si., MEI,

Share

Prof. Dr. Ir. HM Budi Djatmiko, M.Si., MEI, menegaskan bahwa salah satu faktor utama yang sering kurang dipahami oleh masyarakat adalah profil mahasiswa yang masuk ke perguruan tinggi negeri.

Menurutnya, persentase mahasiswa dari kalangan kurang mampu yang berhasil masuk perguruan tinggi negeri sangat kecil. Sebaliknya, mayoritas mahasiswa PTN berasal dari kalangan ekonomi mampu dengan akses pendidikan memadai sejak dini.

Sejak tingkat taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar (SD), hingga sekolah menengah (SMP dan SMA), mereka mendapatkan bimbingan belajar (les) intensif untuk persiapan menghadapi seleksi masuk perguruan tinggi negeri.

Hal ini menciptakan kesenjangan akses yang nyata antara mahasiswa dari keluarga mampu dan keluarga yang kurang mampu.

Prof. Budi juga menceritakan pengalaman pribadinya yang berbeda dari kondisi saat ini. Pada masa kuliahnya, ia yang berasal dari keluarga kurang mampu harus berjuang keras tanpa dukungan les tambahan untuk masukuruan tinggi negeri.

Saat ini, persaingan masuk PTN sangat ketat dan hampir mustahil tanpa dukungan les, sehingga peluang bagi anak-anak dari kurang mampu menjadi sangat terbatas.

Kebijakan beasiswa selama ini lebih banyak mengalir ke perguruan tinggi negeri dibandingkan perguruan tinggi swasta. Ia menjelaskan bahwa sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi), porsi beasiswa untuk mahasiswa PTS sangat kecil

“hanya sekitar 3 sampai 5 persen,” ungkapnya.

Baru pada tahun 2020, setelah pandemi Covid-19, terjadi perubahan signifikan di mana porsi beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk perguruan tinggi swasta meningkat drastis hingga mencapai 70 persen. Namun, angka ini menurun menjadi sekitar 65 persen pada tahun 202.

Fenomena ini sangat penting mengingat perguruan tinggi swasta mendominasi jumlah institusi pendidikan tinggi di Indonesia, mencapai sekitar 96 persen, sementara perguruan tinggi negeri hanya sekitar 4 persen.

Dengan porsi beasiswa yang sangat kecil selama bertahun-tahun, perguruan tinggi swasta menghadapi tantangan besar dalam menjaring mahasiswa dari kalangan kurang mampu.

Prof. Budi menegaskan bahwa kurangnya pemahaman para pembuat kebijakan yang mayoritas berlatar belakang perguruan tinggi negeri menjadi salah satu penyebab ketimpangan ini.

Mereka kurang menyadari realitas dan kebutuhan perguruan tinggi swasta yang berjuang keras untuk memberikan akses pendidikan bagi masyarakat
berpenghasilan rendah.

Kejar Kualitas
Ia menyampaikan pandangannya mengenai arah pengembangan perguruan tinggi di Indonesia, khususnya terkait peran perguruan tinggi negeri (PTN) dan perguruan tinggi swasta (PTS) dalam menghadapi tantangan masa depan.

Menurut Prof. Budi, tugas utama PTN adalah bersaing di tingkat internasional dengan fokus pada kualitas dan riset inovasi, bukan hanya mengejar kuantitas mahasiswa.

Ia menegaskan bahwa PTN sebaiknya membatasi jumlah mahasiswa yang diterima, misalnya dari puluhan ribu menjadi sekitar 3.000 mahasiswa yang benar-benar cerdas dan berkualitas, dengan dukungan dana pemerintah yang memadai.

Hal ini penting agar PTN dapat mencapai peringkat dunia yang lebih tinggi, mengingat saat ini Indonesia masih berada di peringkat sekitar 300 besar World Class University, jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.

Prof. Budi juga menyoroti potensi kekayaan alam Indonesia yang luar biasa, seperti tambang emas, nikel, gas, dan minyak, yang belum dimanfaatkan secara optimal dalam konteks pendidikan tinggi.

Ia mengusulkan agar pemerintah membuka program studi khusus di PTN yang relevan dengan sumber daya alam tersebut, seperti program studi emas, nikel, dan baterai, dengan pendanaan penuh dari pemerintah tanpa harus mencari dana dari mahasiswa.

Dengan demikian, PTN dapat fokus pada pengembangan keilmuan dan inovasi yang mendukung hilirisasi sumber daya alam, sementara PTS dapat tetap hidup dan berkembang secara alami tanpa bergantung pada bantuan pemerintah.

Terkait program Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH), Prof. Budi menilai bahwa program tersebut kurang tepat sebagai solusi untuk mengatasi masalah PTS.

Ia menjelaskan bahwa PTN seharusnya menjadi penyangga atau buffer yang memanfaatkan potensi dosen dan mahasiswa untuk menghasilkan pendapatan dari kekayaan intelektual dan inovasi, bukan hanya mencari dana dari mahasiswa.

Contohnya, laboratorium bioteknologi yang mahal dan canggih seharusnya dimanfaatkan secara optimal oleh PTN untuk riset dan pengembangan, bukan malah membuka cabang di luar negeri.

Orientasi Pedesaan
Dalam konteks hubungan dengan pemerintah, Prof. Budi mengungkapkan bahwa ia telah menyampaikan gagasan-gagasan ini kepada Presiden Prabowo Subianto sejak 2014, meskipun tidak semua usulan tersebut mendapat perhatian karena fokus pemerintah saat ini masih pada isu ekonomi.

Ia juga menekankan pentingnya mengubah orientasi pendidikan dari yang selama ini berpusat di perkotaan menjadi pendidikan yang berorientasi pada pedesaan (rural bias education).

Konsep ini menyesuaikan kurikulum dan program studi dengan kebutuhan serta potensi daerah masing-masing, sehingga lulusan perguruan tinggi dapat kembali dan berkontribusi mengembangkan daerah asalnya.

Prof. Budi memberikan contoh konkret, seperti membuka program studi yang relevan dengan sumber daya alam di Papua atau Bangka Belitung, sehingga lulusan dapat mengelola potensi lokal dan mendorong kemajuan daerah.

“Melalui pendekatan ini, diharapkan tidak terjadi penumpukan sumber daya manusia terdidik di kota-kota besar, melainkan pemerataan pembangunan dan kemajuan di seluruh wilayah Indonesia,” katanya.

Artikel Terkait