Prof Koentjoro yang membacakan petisi bulaksumur

Prof. Drs. Kuntjoro, M.BSc., Ph.D – “Saya Menjaga Nama UGM Bukan Membela Jokowi”

Share

Guru Besar Fakultas Psikologi UGM dan mantan Ketua Dewan Guru Besar UGM, Prof. Drs. Kuntjoro, M.BSc., Ph.D menegaskan tidak sedang membela sosok Jokowi secara pribadi, melainkan membela marwah kebenaran dan integritas akademik Universitas Gadjah Mada (UGM).

Saya tidak membela Jokowi, saya membela UGM. Dalam banyak peristiwa, saya sangat berlawanan dengan Jokowi, yang bisa dilihat dari rekam digital saya. Namun, jika berbicara soal kebenaran, saya harus menegakkannya,” jelasnya saat diwawancarai oleh Bambang Sadono di kanal Inspirasi untuk Bangsa.

Ia mengatakan kesaksiannya berasal dari interaksi langsung dengan rekan-rekan di Dewan Guru Besar dan para alumni, termasuk saat menghadiri berbagai kegiatan kampus yang melibatkan Presiden Jokowi sebagai alumnus.

Ia juga menyampaikan telah menemui dan berbicara dengan mahasiswa atau alumni satu angkatan dengan Jokowi untuk mengonfirmasi status tersebut.

“Saya tanya ke teman-teman, alumni, bahkan mahasiswa. Banyak yang menyebut Jokowi memang satu angkatan atau mengenal langsung. Saya punya cukup bukti sosial dan empiris,” tambahnya.

Prof. Kuntjoro juga menyebut bahwa dampak tuduhan ijazah palsu terhadap kehormatan institusi UGM hanya terjadi di ranah media sosial (dunia maya) dan tidak signifikan memengaruhi reputasi faktual UGM sebagai institusi pendidikan.

“UGM tetap favorit dalam penerimaan mahasiswa baru. Artinya, secara nyata tidak terganggu. Yang gaduh hanya di dunia maya, dan itu lebih ke soal psikologi massa,” katanya.

Hak Privasi
Prof. Kuntjoro menjelaskan bahwa UGM memiliki hak hukum untuk melindungi data pribadi seluruh civitas akademikanya, termasuk alumni. UGM berhak menjaga kerahasiaan identitas anggotanya, tidak hanya mahasiswa, tapi juga dosen dan karyawan.

“Kalau ingin lihat ijazah, ya tanya ke Jokowi langsung, bukan ke kampus,” ujarnya.

Ia memberikan klarifikasi terkait anggapan publik mengenai keberadaan salinan ijazah mahasiswa, khususnya dalam konteks tuduhan terhadap Presiden Joko Widodo. Menurutnya, perguruan tinggi, termasuk UGM, tidak menyimpan salinan atau fotokopi ijazah mahasiswa.

“Kalau melamar pekerjaan, mahasiswa yang membawa fotokopi untuk dilegalisir,” jelasnya.

Perguruan tinggi hanya menerbitkan satu lembar ijazah asli. Jika diperlukan legalisasi, mahasiswa harus menyerahkan salinan fotokopi untuk dilegalisasi oleh kampus.

UGM tidak menyimpan atau diwajibkan menyimpan salinan ijazah karena legalitas keabsahan ijazah berasal dari data administrasi akademik. Keterangan dari Dekan, Rektor, teman satu angkatan, dan catatan administratif sudah cukup.

“Jangan sampai permintaan bukti menunjukkan ketidakpercayaan sistematis,” tambahnya.

Dokumen Pribadi
Kuntjoro juga mengkritik salah kaprah publik dan pihak-pihak yang mendesak agar UGM menunjukkan ijazah Jokowi. Ia menegaskan bahwa ijazah adalah dokumen pribadi, dan pemiliknya yang berhak memutuskan apakah ingin menunjukkannya atau tidak.

“Kalau KPU memverifikasi keaslian ijazah untuk pendaftaran pemilu, itu urusan Jokowi sebagai calon, bukan UGM,” tambahnya.

Kalau ada alumni yang tidak suka Jokowi, jangan sampai merusak nama baik institusi almamaternya. Sebagian kritik keras terhadap kasus ini justru berasal dari alumni UGM.

“Kalau mereka benar-benar alumni, pasti tahu prosedur akademik. Di banyak forum dosen dan grup alumni, tak ada yang mempersoalkan isu ini secara akademik,” ungkapnya.

Kuntjoro menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap perkembangan polemik yang menurutnya sengaja diarahkan ke ranah politik. Ada kesan perdebatan ini menjadi komoditas politik,

baik oleh pihak yang menyerang maupun yang secara tidak langsung justru memberi panggung politik pada mantan presiden Joko Widodo.

Kasus yang seharusnya bisa diselesaikan secara akademik dan administratif kini melebar menjadi wacana publik yang liar, bahkan cenderung diarahkan untuk menjatuhkan reputasi pribadi sekaligus institusi.

“Kalau UGM yang diserang, nama besar kampus ikut rusak. Padahal mestinya, kalau tidak suka pada Jokowi, ya serang Jokowi, bukan institusinya,” tambahnya.

Prof Kuntjoro menilai kritik memang sah dalam konteks akademik, namun harus dilakukan dengan etis, bijak, dan tidak merusak institusi asalnya. Ia menyayangkan sebagian alumni yang mengkritik justru memotong kasus secara parsial

dan menyebarkannya ke publik tanpa memahami konteks administratif dan historis secara utuh. Ia mengingatkan bahwa mereka yang mengkritik adalah bagian dari sistem yang pernah mereka alami.

“Jangan pura-pura lupa bahwa dulu memang ada sistem sarjana muda (120 SKS) lalu lanjut sarjana (40 SKS), dan itu sah. Nilai D pun saat itu masih bisa diluluskan 25% mata kuliah. Jangan pakai standar sekarang untuk menghakimi masa lalu,” jelasnya.

Cinta Tidak Merusak
Prof. Kuntjoro mengingatkan para alumni yang mengaku mencintai UGM, namun tindakannya justru mencemarkan nama institusi sendiri, bahkan hingga ke forum-forum internasional.

“Bilang cinta UGM, tapi laporkan UGM ke luar negeri. Itu bukan cinta. Itu merusak,” katanya.

Ia mengakui bahwa UGM pun memiliki kekurangan, terutama pada masa transisi dari sistem konvensional ke sistem kredit di awal 1980-an, di mana tiap fakultas memiliki kemampuan administrasi dan fasilitas yang berbeda. Namun, hal itu bukan alasan untuk menyerang institusi secara serampangan.

Terkait sistem penjurusan di fakultas, khususnya Fakultas Kehutanan UGM, ia menjelaskan bahwa sistem akademik pada era Jokowi tidak mengenal penjurusan formal sejak awal masuk.

Mahasiswa hanya memilih topik skripsi atau penelitian akhir sesuai minatnya. “Di Kehutanan sama persis seperti di Psikologi. Sejak awal tidak ada jurusan khusus seperti ilmu tanah atau lainnya,” katanya.

Hal ini sejalan dengan pola pendidikan era 1980-an, di mana keahlian lebih ditentukan oleh fokus penelitian skripsi dan pendampingan dosen pembimbing, bukan spesialisasi sejak awal semester.

Hanya Dunia Maya
Prof. Kuntjoro menegaskan bahwa isu ini lebih banyak berkembang di dunia maya, bukan dalam dinamika nyata di internal UGM. Menurutnya, civitas akademika UGM tetap solid dan tidak terpengaruh oleh provokasi liar dari luar.

UGM seharusnya tidak terpancing oleh narasi bermuatan sektarian atau kebencian politik, apalagi menyeret institusi akademik ke konflik ideologis. Ia berpendapat bahwa ikatan alumni UGM dapat berperan sebagai penengah dengan pendekatan edukatif, bukan provokatif.

Ia mengimbau semua pihak untuk lebih mengutamakan kontrol diri, menghormati kebenaran akademik, dan menghindari tindakan yang dapat merusak nama baik UGM.

Prof. Kuntjoro juga ditantang bersumpah di bawah Alquran dalam debat publik soal ijazah Jokowi. Menurutnya, praktik semacam ini keliru karena persoalan administrasi akademik seharusnya tidak dibawa terlalu jauh. “Ini masalah remeh-temeh. Kalau saya diam, mereka merasa benar,” tambahnya.

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait