Prof. Dr. Mukhlas Samani, M.Pd. - Ketua Dewan Pengurus LAM Pendidikan

Prof. Dr. Mukhlas Samani, M.Pd. – 33 Persen Prodi Pendidikan Telah Terakreditasi Unggul

Share

Ketua Umum Dewan Pengurus Lembaga Akreditasi Mandiri Kependidikan (Lamdik), Prof. Dr. Mukhlas Samani, M.Pd. mengatakan tugas utamanya memberikan akreditasi pada program-program studi pendidikan di Indonesia.

Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang terbit pada Desember 2012 mengamanatkan bahwa akreditasi perguruan tinggi dilakukan oleh BAN PT, sementara akreditasi program studi menjadi tanggung jawab LAM (Lembaga Akreditasi Mandiri).

Dari amanat ini lahirlah gagasan pembentukan LAM Pendidikan. Pada 2013, para pimpinan perguruan tinggi berkomitmen menindaklanjuti amanat ini, yang dituangkan dalam Deklarasi Surabaya, ditandatangani oleh 43 rektor dan pimpinan organisasi pendidikan.

Pada 2017, pemangku kepentingan membuat studi kelayakan untuk diajukan kepada menteri. Setelah disetujui, lembaga ini diurus ke Kementerian Hukum dan HAM untuk memperoleh status badan hukum.

Pada 2019, setelah mendapat persetujuan Menteri, Lamdik resmi memperoleh pengesahan badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM pada Desember 2019. Namun, Lamdik masih harus mengembangkan instrumen akreditasi dan persiapan teknis lainnya sebelum dapat beroperasi sepenuhnya.

Lamdik akhirnya diluncurkan secara resmi oleh Dirjen Dikti pada 31 Desember 2021 dengan masa transisi tiga bulan, sehingga mulai efektif pada 1 April 2022.

Mandat Lamdik
Sebagai lembaga akreditasi mandiri, Lamdik memiliki wewenang untuk menilai dan menetapkan peringkat akreditasi program studi pendidikan di seluruh Indonesia.

Ini sangat penting karena kualitas pendidikan guru dan tenaga kependidikan sangat menentukan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan.

Dengan organisasi yang jelas dan proses pembentukan yang matang, Lamdik memastikan setiap program studi pendidikan di Indonesia memenuhi standar nasional pendidikan yang berkualitas.

Data real-time menunjukkan bahwa 5.029 program studi kependidikan telah bergabung dengan Lamdik, dengan 4.139 di antaranya telah diakreditasi. Dari jumlah tersebut, sekitar 33–34 persen meraih predikat “Unggul”, sementara sisanya masuk kategori “Baik Sekali” dan “Baik”.

Proses akreditasi di Lamdik lebih lancar dibandingkan BANPT karena bersifat mandiri dan tidak terikat anggaran pemerintah yang sering menyebabkan antrean panjang.

Biaya akreditasi sebesar Rp. 52 juta per program studi bukan ditentukan oleh Lamdik, tetapi oleh pemerintah, yang merinci komponen honor asesor, transportasi, dan akomodasi.

Pemerintah juga menyediakan subsidi untuk program studi kecil sejak 2024, dengan syarat data di PDDikti lengkap. Namun, banyak perguruan tinggi gagal memanfaatkan subsidi ini karena kendala administratif.

“Tantangan ini menggambarkan kebutuhan akan akreditasi yang andal dan independen, serta aksesibilitas dan keberlanjutan bagi institusi pendidikan yang lebih kecil,” katanya.

Meskipun menggunakan skema pembiayaan tetap, Lamdik menghadapi tantangan logistik yang signifikan akibat perbedaan jarak antar perguruan tinggi di Indonesia.

Seperti yang dijelaskan oleh Prof. Mukhlas, biaya transportasi asesor dari dan ke Papua jauh lebih tinggi dibandingkan wilayah Jawa, sehingga menyebabkan defisit operasional.

Untuk mengatasi masalah ini, Lamdik harus cermat mengatur penugasan asesor dengan aturan ketat bahwa asesor tidak boleh berasal dari provinsi yang sama dengan perguruan tinggi yang diaudit.

Strategi yang diterapkan adalah menempatkan asesor dari wilayah perantara, seperti Jawa Tengah untuk perguruan tinggi di Jawa Barat, atau Makassar untuk perguruan tinggi di Papua, demi mengurangi biaya perjalanan.

Akreditasi Internasional
Setelah memperoleh akreditasi nasional, banyak perguruan tinggi melanjutkan untuk mengejar akreditasi internasional meskipun biayanya jauh lebih mahal, yaitu sekitar 300–400 juta rupiah per program studi.

Menurut Prof. Mukhlas, dorongan ini disebabkan oleh dua faktor: pertama, keinginan untuk membuktikan kualitas pendidikan yang diakui secara global; kedua, tekanan dari Indikator Kinerja Utama (IKU) Kementerian Pendidikan, karena akreditasi internasional dianggap sebagai tolok ukur prestasi.

Bahkan Lamdik sendiri tidak luput dari tuntutan akuntabilitas global. Lamdik juga telah diakreditasi oleh International Network for Quality Assurance Agencies in Higher Education (INQAAHE) yang berbasis di Spanyol, dengan biaya mencapai Rp. 1,2 miliar.

Meski pemerintah gencar mendorong perguruan tinggi meraih status world-class university melalui akreditasi internasional, hasil akreditasi tersebut tidak serta-merta diakui dalam sistem nasional.

Setiap lembaga akreditasi internasional memiliki standar yang berbeda-beda, ada yang berbasis Eropa, Amerika, atau wilayah lain, sehingga tidak selalu kompatibel dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNDikti).

Muchlas menekankan standar internasional itu tidak otomatis sama, terutama karena banyak lembaga global yang tidak menguji aspek seperti Pendidikan Pancasila, agama, atau bahasa Indonesia yang merupakan mata pelajaran esensial dalam konteks ke-Indonesiaan.

Konsistensi Standar
Meskipun Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) mensyaratkan pencapaian akreditasi unggul dari sejumlah besar program studi sebelum suatu institusi dapat diusulkan sebagai perguruan tinggi unggul,

kenyataannya tidak semua Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) memiliki proporsi standar akreditasi unggul yang seragam. Namun, menurut Prof. Mukhlas, Koordinator Forum Koordinasi Lembaga Akreditasi Mandiri (Forkom Lam), perbedaan ini lebih bersifat numerik daripada substansial.

“Proporsinya tidak jauh beda,” tegasnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun jumlah program studi yang diakreditasi tiap LAM berbeda-beda, ada yang hanya ratusan hingga ribuan, persentase program studi yang meraih predikat unggul tetap berkisar antara 28 hingga 33 persen.

Ini mencerminkan konsistensi standar di antara LAM, meskipun masing-masing beroperasi di bawah domain keilmuan yang berbeda. Namun, persoalan baru muncul setelah status “unggul” diraih, yaitu bagaimana membedakan perguruan tinggi yang semuanya sudah unggul.

Saat ini terdapat lebih dari 200 perguruan tinggi dengan akreditasi institusi unggul, tetapi tidak ada pemeringkatan resmi yang membedakan posisi mereka. Berbeda dengan sistem global yang menghadirkan peringkat eksplisit,

Indonesia mengembangkan berbagai indeks kinerja sektoral, seperti IKU, green campus, PTNBH, dan MBKM, yang masing-masing menghasilkan peringkat terpisah.

“Indonesia punya banyak perankingan,” jelasnya.

Akibatnya, masyarakat tidak lagi memiliki referensi tunggal untuk membandingkan keunggulan institusi perguruan tinggi, melainkan harus menyusun pemahaman sendiri dari potongan-potongan peringkat yang tumpang tindih dan tidak selalu transparan.

Pemeringkatan Skala Nasional Tidak Cukup Akreditasi Unggul

Menanggapi rencana majalah Kampus Indonesia untuk membuat pemeringkatan perguruan tinggi berbasis akreditasi unggul BAN PT, Prof. Mukhlas menekankan pentingnya sudut pandang yang proporsional.

Menurutnya, meskipun akreditasi unggul menjadi indikator penting, pengukuran keunggulan perguruan tinggi tidak bisa diseragamkan karena fungsi dan misi tiap institusi berbeda. “Tidak adil jika kita hanya meranking dari satu ukuran,” ujarnya.

Ia mencontohkan Akademi Militer (AMN) atau Akademi Angkatan Laut (AAL) yang fokus mencetak perwira, bukan mengejar kinerja penelitian. Begitu juga perguruan tinggi vokasi yang ungg dalam keterampilan industri, tetapi tidak dapat diukur dengan parameter riset akademik.

Ia menyarankan agar pemeringkatan memperhatikan konteks dan misi spesifik setiap kampus, termasuk menilai dampak kampus terhadap masyarakat.

Dalam pandangannya, tridarma perguruan tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian—seharusnya saling mendukung. Ilmu yang diajarkan perlu berbasis penelitian, dan penelitian harus memberikan solusi nyata bagi masyarakat. Ia juga mendukung konsep perguruan tinggi sebagai agen pemberdayaan publik.

“Indikator keberhasilan bisa dirancang konkret, seperti kontribusi dalam mengatasi banjir, pengembangan UMKM, atau peningkatan kesehatan masyarakat, yang dinilai oleh masyarakat lokal, industri, atau pemerintah daerah,” katanya.

Lamdik ke Depan
Sejak April 2022, setelah tiga setengah tahun berjalan, Lamdik menghadapi tantangan besar dalam menjalankan misinya. Bukan hanya sekadar menjadi lembaga akreditasi, tetapi juga sebagai penggerak peningkatan mutu perguruan tinggi.

Prof. Mukhlas, mantan rektor yang memahami dinamika lapangan, menyebutkan bahwa mempercepat perbaikan kualitas prodi bukanlah hal yang mudah.

“Masalah kita adalah sulit meyakinkan perguruan tinggi untuk meningkatkan mutu mereka, apalagi dengan berbagai kondisi yang ada,” ujarnya.

Meskipun sistem pemantauan kinerja telah diterapkan setiap tahun, ada program studi yang responsif terhadap evaluasi, namun banyak juga yang stagnan. Oleh karena itu, Lamdik kini merancang mekanisme baru yang lebih mengutamakan pendekatan reflektif dan pembinaan diri.

Setiap prodi yang mengajukan akreditasi nantinya tidak hanya melaporkan data administratif, tetapi juga melakukan evaluasi mandiri secara jujur, mengidentifikasi kekurangan saat ini, dan merencanakan langkah nyata untuk tahun berikutnya.

“Supaya terus terdorong untuk memperbaiki diri dari waktu ke waktu,” katanya.

Ia berharap akreditasi tidak hanya menjadi rutinitas tahunan, tetapi menjadi momen bermakna untuk transformasi pendidikan. Lamdik juga menyadari keragaman ekosistem perguruan tinggi di Indonesia, sehingga pendekatan seragam tidak lagi relevan.

Salah satu strategi yang tengah digagas adalah mempererat kolaborasi dengan organisasi profesi, seperti Ikatan Guru Matematika atau Asosiasi Dosen Bahasa, untuk bersama-sama mendukung dan mendorong peningkatan mutu program studi kependidikan.

“Kami sedang mengupayakan agar organisasi profesi tidak hanya berstatus formal saja,” tambahnya.

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait