Prof. Dr. Muhammad Baiquni, MA. - Ketua Dewan Guru Besar UGM

Prof. Dr. Muhammad Baiquni, MA. – Belum Pernah Mengangkat Guru Besar Kehormatan

Share

Menurut Prof. Dr. Muhammad Baiquni, MA, Dewan Guru Besar (DGB) UGM tidak hanya berperan sebagai penasihat universitas, tetapi juga menjadi garda depan dalam menjaga integritas moral civitas akademika serta merespons isu strategis nasional dan global.

Menurutnya, posisi DGB UGM tertuang dalam Statuta UGM Pasal 1 Ayat 7, yang menyebutkan tiga fungsi utama, yaitu pemberi nasihat, penjaga integritas moral etika,dan pengembang pemikiran untuk isu-isu strategis. Ia merasa berat, namun dapat dipikul bersama. 

Prof Baiquni sebagai Majelis Dewan Guru Besar Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) se-Indonesia, menyebut forum tersebut menjadi wadah kolaborasi antar perguruan tinggi dan kontribusi nyata bagi kebangsaan. Salah satu inisiatifnya adalah Kuliah Bestari, seri kuliah yang menghadirkan 50 guru besar dan tokoh bangsa sebagai refleksi di bulan Ramadan lalu.

Pemikiran ke Aksi

Produk konkret DGB tidak hanya berhenti pada diskusi. Baiquni menyebutkan beberapa output, seperti buku, policy brief untuk pemerintah, hingga program Profesor Go to Frontier, kunjungan guru besar ke daerah terpencil seperti NTT dan Papua.

“Kami bekerja sama dengan alumni Kagama, pemerintah daerah, dan perguruan tinggi setempat untuk memperkuat pendidikan dan pembangunan,” jelasnya.

Selain itu, mahasiswa UGM turut terlibat melalui Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama dua bulan di lokasi yang sama, mendampingi masyarakat dalam pembangunan desa dan pulau kecil. Terkait dengan tantangan pendanaan, ia mengakui bahwa kegiatan ini mengandalkan semangat bakti pada negeri.

“Alumni sering menyambut dengan berbagai bantuan, sementara transportasi dan akomodasi utama ditanggung UGM,” jelasnya.

Kolaborasi dengan perguruan tinggi setempat juga memungkinkan kegiatan seperti seminar dan kuliah umum berjalan tanpa beban biaya besar.

Di tengah maraknya pemberian gelar guru besar kehormatan oleh sejumlah perguruan tinggi di Indonesia, UGM konsisten menolak praktik tersebut. Kebijakan ini telah bertahan puluhan tahun, bahkan pernah memicu petisi penolakan dari 350 profesor dan dosen muda pada masa lalu.

Tidak Adil

Prof Baiquni mengungkapkan bahwa penolakan terhadap gelar kehormatan berakar pada prinsip keadilan akademik. Dosen muda berjuang puluhan tahun dari asisten, lektor hingga lektor kepala sebelum pantas jadi profesor. Tiba-tiba orang luar dengan latar non akademik mendapat gelar yang sama.

“Itu tidak adil,” tegasnya.

Pada 2021, sempat muncul wacana usulan pemberian gelar ini di UGM. Namun, rencana itu kandas setelah mendapat penolakan keras dari kalangan internal. Petisi bermunculan, dan Rektor memutuskan untuk mundur teratur. 

Meski Permendikbud Nomor 38 Tahun 2021 membuka peluang pemberian gelar profesor kehormatan, UGM memilih tidak mengadopsinya. Ia menegaskan, gelar guru besar adalah simbol perjuangan akademik panjang. “Kami tidak ingin ada obral gelar hanya karena kepentingan politis atau kedekatan dengan pejabat,” katanya.

Ia juga menyoroti risiko degradasi marwah kampus jika gelar diberikan tanpa pertimbangan kompetensi. Guru besar merupakan guru, bukan sekadar gelar hiasan. Harus ada track record jelas dalam tridharma perguruan tinggi.

Revisi Permen

Baiquni mengaku isu guru besar kehormatan ini kerap dibahas dalam forum nasional. Namun, respons perguruan tinggi beragam. Ada yang masih memberi gelar kehormatan, ada yang menolak. “Tapi bagi kami, ini soal prinsip, keadilan bagi dosen yang berjuang dari bawah,” tegasnya.

Ia berharap Kementerian Pendidikan Tinggi merevisi regulasi yang dinilai rentan disalahgunakan. Menteri saat ini mempunyai kesempatan memperbaiki, sehingga gelar profesor tidak menjadi mainan kepentingan non akademik. Integritas akademik tidak boleh dikorbankan untuk kepentingan sesaat.

“Kami lebih memilih memikul beratnya perjuangan akademik daripada menjual gelar demi popularitas” katanya.

Oleh karena itu, ia mendesak pemerintah mencabut Permendikbud Nomor 38 Tahun 2021 tentang guru besar kehormatan. Langkah ini diusulkan untuk mengembalikan marwah akademik yang dinilai terkikis oleh praktik pemberian gelar instan kepada pejabat dan tokoh non akademik.

Prof Baiquni mengungkapkan bahwa aturan tersebut muncul sebagai “jalan pintas” bagi pejabat dan politisi untuk meraih gelar profesor tanpa melalui proses akademik yang ketat.

“Ini seperti lift, tiba-tiba naik tanpa menapak tangga kompetensi. Kita ingin kembalikan nuansa akademik sebagai pertimbangan utama,” tegasnya.

Berbeda dengan perguruan tinggi yang mengusulkan revisi aturan dengan memperketat syarat, Ia menegaskan solusi ideal adalah pencabutan total. Proses pengangkatan dosen dari asisten lektor hingga guru besar sudah ada pakemnya.

“Tidak perlu shortcut yang merusak keadilan,” ujarnya.

Dampak

Prof Baiquni juga menyoroti hilangnya penghargaan terhadap perjuangan dosen muda. Mereka menghabiskan puluhan tahun untuk publikasi, pengabdian, dan bimbingan mahasiswa. Gelar instan tersebut seakan merendahkan kerja keras itu. Ia juga menolak logika “kehormatan” dalam gelar profesor.

“Kalau ingin dihormati, jadilah guru bangsa melalui karya nyata. Gelar hanyalah tempelan jika tidak disertai substansi akademik.” jelasnya.

Oleh karena itu, meskipun respon beragam, ia optimis pemerintah akan mendengar aspirasi kampus. Ia berharap menteri baru berani mengoreksi kebijakan yang berpotensi merusak. 

Desakan UGM ini bukan sekadar penolakan terhadap regulasi, melainkan upaya mempertahankan martabat perguruan tinggi sebagai benteng keadilan akademik. “Guru besar adalah puncak perjuangan akademik, bukan hadiah untuk kepentingan sesaat.” katanya. 

Gelombang penolakan terhadap pemberian gelar guru besar kehormatan semakin meluas. Setelah UGM secara konsisten menolak praktik ini, kini Muhammadiyah melalui Ketua Pengurus Pusat, Prof Haedar Nashir, peraih anugerah HB IX Awards, secara terbuka meminta seluruh perguruan tinggi di bawah naungannya menghentikan pemberian gelar tersebut.

Baiquni menyambut positif himbauan tersebut, menegaskan bahwa gelar profesor seharusnya merupakan jabatan akademik yang diperoleh melalui proses berjenjang, bukan hadiah instan. 

“Ini keteladanan dari Muhammadiyah sebagai organisasi besar dengan lebih dari 100 perguruan tinggi dan 300 guru besar. Jika mereka konsisten,

ini akan menjadi contoh bagi perguruan tinggi lain,” ujarnya.

 

Berikan Kesempatan Sama Semua Dosen Bisa Profesor

 

Menanggapi tantangan dosen di bidang non konvensional seperti seni tradisional yang kesulitan memenuhi syarat publikasi internasional, ia menekankan bahwa karya dan kontribusi dosen seni budaya justru seringkali lebih nyata di masyarakat, seperti inovasi dalam pertunjukan wayang digital atau pelestarian seni tradisional.

Harus ada kompensasi, peraturan khusus yang mengakui kontribusi non akademik mereka,” tambahnya. Misalnya, pengakuan terhadap empu keris atau dalang berpengaruh seharusnya bisa disetarakan dengan pencapaian akademik di bidang lain.

Salah satu poin penting yang diangkat adalah perlunya keadilan dalam penilaian. Selama ini, sistem akademik cenderung mendiskriminasi bidang-bidang yang tidak memiliki banyak jurnal internasional. Padahal, seni dan budaya adalah kekuatan unggulan Indonesia yang justru perlu didorong.

“Tantangan kita adalah menciptakan kualifikasi khusus bagi profesor di bidang seni tradisional,” jelasnya.

Ia mencontohkan bahwa seorang empu keris atau dalang kondang seharusnya bisa diakui gelar profesornya berdasarkan pengabdian dan inovasi, bukan semata publikasi di Jurnal Q1. Oleh karena itu ia mendorong agar asosiasi guru besar, perguruan tinggi, dan pemerintah duduk bersama merumuskan kebijakan yang lebih inklusif.

“Ini soal memberi kesempatan yang sama, equal bagi semua disiplin ilmu,” tegasnya.

Ia juga mengingatkan bahwa keunggulan suatu bangsa tidak hanya diukur dari teknologi, tetapi juga dari kekayaan budayanya. Oleh karena itu, sistem akademik harus beradaptasi untuk mengakomodasi keberagaman ini.

Attitude

Prof Baiquni juga mengkritik praktik pemberian gelar kehormatan yang kerap digunakan sebagai “balas jasa” kepada pejabat atau tokoh non akademik. Ia menegaskan bahwa perguruan tinggi harus menjaga marwah akademik dengan ketat.

“Kalaupun ada tokoh luar yang ingin berkontribusi, mereka harus memulai dari bawah seperti dosen lainnya, tidak bisa langsung mendapat gelar profesor,” tegasnya. 

Untuk mengantisipasi penyimpangan, UGM telah mengembangkan program Academic Leadership Training on Innovative Transformation for University Development and Empowerment (ALTITUDE) untuk membekali pimpinan kampus dengan prinsip-prinsip kepemimpinan akademik yang kuat. 

Sebagai langkah nyata, Prof Baiquni mengusulkan program “Profesor Mengabdi” yang lebih intensif. Guru besar tidak hanya datang selama satu dua minggu, tapi tinggal berbulan-bulan di daerah terpencil untuk membangun proyek kolaboratif dengan masyarakat setempat.

Program ini diharapkan dapat menjawab kebutuhan keadilan spasial sekaligus memperkuat peran perguruan tinggi dalam pembangunan nasional. Berbagai langkah ini, maka UGM ingin memastikan bahwa gelar profesor tetap menjadi simbol keunggulan akademik yang dihormati.

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait