Prof. Dr. Ir. Tresna Priyana Soemardi, S.E., M.Si., IPU, ASEAN Eng - Chairman Indonesia Accreditation Board for Engineering Education (IABEE). Guru Besar Perancangan & Konstruksi Mekanikal FTUI Guru Besar Tamu Manajemen Strategik dan Inovasi PPS-FEB UI

Prof. Dr. Ir. Tresna Priyana Soemardi, S.E., M.Si., IPU, ASEAN Eng – Masih Banyak Universitas Kertas Mengejar Atribut Adiministratif

Share

Prof. Dr. Ir. Tresna Priyana Soemardi, S.E., M.Si., IPU, ASEAN Eng. lahir di Palembang, 1 September 1955. Menyelesaikan Sarjana Teknik Mesin di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1980. Melanjutkan di Universitas Indonesia (UI) dan memperoleh gelar Sarjana Ekonomi (S.E.) serta Magister Ilmu Lingkungan (M.Si.). Meraih gelar Ph.D. dari École Centrale Paris, Prancis (kini menjadi bagian dari CentraleSupélec) dalam bidang Applied Mechanics dan Advanced Composite Materials.

Menjabat sebagai Guru Besar di Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia (FTUI), dan pernah menjadi Ketua serta Komisioner KPPU-RI selama dua periode, yakni 2007–2012 dan 2012–2018.

Juga pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Tunas Pembangunan (UTP) Surakarta. Aktif sebagai Ketua atau anggota dewan pengarah di berbagai lembaga akreditasi internasional, terutama yang terkait dengan rekayasa dan pendidikan teknik.

Dalam menghadapi tuntutan pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan kekhawatiran terhadap kualitas pendidikan tinggi, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana membangun bangsa secara menyeluruh, mulai dari sektor industri dan jasa, pendidikan, hingga kelembagaan?

Pertanyaan itulah yang menjadi alasan utama mengapa wawancara eksklusif dengan Prof. Dr. Ir. Tresna Priyana Soemardi, S.E., M.Si., IPU, ASEAN Eng. sangat relevan dan penting.

Prof. Tresna bukan hanya seorang akademisi dan guru besar teknik di Universitas Indonesia, tapi juga seorang teknokrat dengan pengalaman luas di berbagai bidang: mulai dari laboratorium komposit canggih di Prancis, meja desain teknik di United Tractors, hingga memimpin lembaga negara setingkat menteri sebagai Ketua KPPU. Pengalaman dan visinya melintasi batas-batas disiplin ilmu dan sektor birokrasi. Ia berbicara berdasarkan pengalaman nyata, dari kerja institusional hingga dinamika industri. Berikut adalah wawancara bersama pemimpin redaksi majalah Kampus Indonesia, Bambang Sadono.

Prof. Tresna, bisa ceritakan perjalanan karier Anda hingga saat ini?

Karier saya bisa dibilang unik. Saya memulainya dari jalur yang sangat monodisiplin, yakni mechanical engineering. Namun, seiring waktu, jalur itu berkembang menjadi multidisiplin, multisektor, dan multifaset.

Ini adalah perjalanan sekaligus pilihan. Saya menyadari bahwa persoalan dalam kehidupan dan profesi sangat kompleks. Karena itu, semangat sebagai pembelajar sepanjang hayat menjadi penting, mendorong saya untuk terus mempelajari aspek fundamental dari berbagai bidang.

Salah satu pendorongnya adalah ketika saya memutuskan mengambil S1 di bidang ekonomi di Universitas Indonesia, meskipun saya lulusan ITB. Saya memilih tidak langsung mengambil jenjang MM karena ingin benar-benar memahami dasar-dasar ekonomi secara mendalam. Selain itu, pada masa itu, S2 Teknik Mesin di ITB dan UI belum tersedia, kecuali jika studi ke luar negeri.

Saat itu, saya masih bekerja di sektor swasta dan benar-benar terjun di dunia nyata sebagai insinyur. Saya memulai karier di PT United Tractors sebagai service engineer, design engineer, dan di divisi used equipment. Di divisi tersebut, kami menangani alat berat milik kontraktor yang sudah tidak
berfungsi,

kemudian dikembalikan ke United Tractors untuk direkondisi (rebuild). Itu merupakan pengalaman yang sangat mengesankan. Saya kemudian masuk ke dunia konsultansi, di mana saya mulai memiliki pandangan yang lebih multidisipliner.

Saya juga mempelajari ilmu lingkungan dan terbiasa bekerja dalam teamwork yang kompleks. Semakin kita bergerak ke hilir dalam memberikan jasa keahlian, semakin multidisiplin pula pendekatan yang dibutuhkan.

Kita harus memiliki keterampilan komunikasi yang baik lintas disiplin, dan meskipun tidak mendalami semua bidang, setidaknya memahami dasarnya dengan baik. Prinsip itu saya pegang hingga hari ini.

Saya diangkat sebagai PNS pada tahun 1985. Sebelumnya, sejak tahun 1983, saya sudah menjadi dosen tidak tetap di Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Setelah menjadi dosen tetap, saya tetap tidak meninggalkan dunia nyata keinsinyuran.

Saya masih aktif secara on-call di perusahaan-perusahaan fabrikasi, khususnya di sektor oil and gas, seperti Bukaka dan lainnya. Jadi, karier saya bisa dikatakan berlangsung paralel antara dunia akademik dan dunia industri. Pendekatan ini membuat saya bisa mengajar dengan lebih nyata kepada mahasiswa.

Saya tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga menghadirkan pengalaman praktis. Bahkan, saya beberapa kali mengajak mahasiswa langsung ke pabrik agar mereka dapat melihat sendiri bagaimana profesi insinyur bekerja:

mulai dari melayani konsumen, membuat spesifikasi kebutuhan, mendesain, melakukan fabrikasi, pengujian, penyempurnaan, hingga menghasilkan produk akhir. Saya sangat percaya bahwa konsep seeing is believing sangat penting dalam pendidikan teknik.

Seiring perjalanan, saya semakin tertarik pada isu kelembagaan. Saya menyadari bahwa kesuksesan berbagai upaya manusia pada akhirnya bergantung pada kemampuannya untuk melembagakan ide-ide.

Institutional building, demikian saya menyebutnya, sangatlah penting. Sama seperti sejarah bangsa ini, yang awalnya belum memiliki lembaga bernama Republik Indonesia, namun kemudian terbentuk sebagai negara kesatuan. Hal inilah yang menginspirasi saya dalam dunia pendidikan.

Saya kemudian dipercaya menjadi Kepala Perencanaan dan Pengembangan Fakultas Teknik. Setelah itu, saya menjabat sebagai Direktur Kelembagaan UI, tepat pada masa Universitas Indonesia menjadi PTN-BHMN.

Saat itu, UI memiliki peluang untuk mengembangkan entrepreneurship institusional, dan saya diberi tugas untuk membangun PT Daya Makara UI. Rektor saat itu,

Prof. Usman Chatib Warsa, menyampaikan dengan jelas bahwa UI tidak dapat menyediakan dana, tetapi memberikan SK dan mandat untuk berinovasi. Maka, saya pun membangun jejaring kemitraan, dan dalam waktu satu tahun,

kami berhasil mengumpulkan dana untuk mendirikan PT Daya Makara, berkat kerja sama banyak pihak, termasuk Kartini Mulyadi, yang saat itu juga anggota Majelis Wali Amanat (MWA).

Selain tugas eksekutif di program studi, fakultas, dan universitas, saya juga aktif terlibat dalam lembaga-lembaga tata kelola universitas, seperti Senat Akademik dan MWA.

Saya termasuk salah satu anggota pertama MWA saat UI menjadi BHMN, pengalaman yang memperdalam pemahaman saya tentang pentingnya pembangunan kelembagaan. Berdasarkan pandangan dan pengalaman ini, serta rekomendasi senior saya,

Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti yang saat itu menjabat Menko Perekonomian, saya diminta mendaftar sebagai komisioner di Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Kecintaan saya pada dunia kelembagaan dan kesadaran akan persoalan persaingan usaha yang tidak sehat di Indonesia membuat saya menerima tantangan tersebut.

Alhamdulillah, proses seleksi di DPR berjalan lancar, dan saya terpilih sebagai komisioner. Saya kemudian dipercaya menjadi Wakil Ketua, lalu Ketua KPPU pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jabatan ini setingkat menteri, dan saya langsung berhubungan dengan Presiden.

Bahkan, tidak jarang saya menerima telepon langsung dari beliau untuk membahas isu-isu krusial terkait persaingan usaha di negara sahabat seperti Prancis atau Jerman.

Dalam menjalankan amanat tersebut, saya selalu berpegang teguh pada hukum dan perundang-undangan yang berlaku. KPPU sebagai lembaga independen bertujuan menciptakan iklim usaha nasional yang bebas dari praktik monopoli.

Saya percaya, tanpa persaingan usaha yang sehat, inovasi sulit berkembang. Banyak potensi sumber daya alam Indonesia yang belum dimanfaatkan optimal karena praktik monopoli.

Kini kita memasuki era baru di bawah Presiden Prabowo, dengan target pertumbuhan ekonomi hingga 8%. Target ini hanya dapat tercapai jika kita memiliki industri dan jasa bernilai tambah tinggi sebagai tulang punggung. Pada masa Orde Baru, sektor industri manufaktur pernah memberikan kontribusi sebesar 40% terhadap PDB. namun kini sudah turun di bawah 20%.

Kita harus mampu mengembalikan kontribusi tersebut, dan syarat utamanya adalah dengan memaksimalkan potensi sumber daya alam serta—yang terpenting—sumber daya manusia.

Pendidikan tinggi memegang peran penting dalam hal ini. Indonesia perlu mengembangkan SDM yang mampu membangun industri dengan nilai tambah yang tinggi. Saya percaya bahwa inti dari pembangunan industri terletak pada manusia, manusia, dan manusia.

Prof. Tresna pernah menjadi Rektor Universitas Tunas Pembangunan (UTP) di Solo, bisa dijelaskan?

Saya menjabat sebagai Rektor di Universitas Tunas Pembangunan (UTP) Surakarta berangkat dari latar belakang pengetahuan dan pengalaman saya di bidang aeronautika. Setelah menyelesaikan studi di Prancis, saya mendalami advanced composite materials untuk aplikasi otomotif dan aeronautika.

Di sana, saya terlibat dalam penelitian di perusahaan kedirgantaraan Aérospatiale dan pabrik mobil Renault. Saat kembali ke Indonesia, saya mulai membangun jejaring dengan para pimpinan industri, baik dari sektor swasta maupun BUMN.

Salah satunya dengan industri nilai tambah tinggi, seperti PT (Persero) Dirgantara Indonesia (PT.DI), yang fokus pada teknologi, riset, dan pengembangan. Antara tahun 1990 hingga 2000, saya aktif melakukan riset material komposit canggih di bidang pesawat terbang, melanjutkan penelitian S3 saya di Perancis yang bekerja sama dengan Renault dan Aerospatiale.

Penelitian ini mencakup aspek struktur pesawat dan penggunaan material komposit dalam pengembangan CN 212, CN 235, serta proyek ATR 72 yang kemudian dikenal sebagai N-250.

Namun, industri penerbangan kita belum berkembang secara optimal karena ekosistem industrinya belum dipersiapkan dengan baik sebagai industri strategis nasional.

Habibie, sebagai Menteri Riset dan Teknologi/Kepala BPPT, telah mempersiapkan kebijakan pengembangan 8 wahana industri strategis melalui vitalisasi BUMNIS (BUMN-Industri Strategis) sebagai ekosistem bernilai tambah tinggi.

Sayangnya, Indonesia belum sepenuhnya menjadi Indonesia Incorporated karena masih terhambat oleh kepentingan sektoral, sehingga pembangunan industri bernilai tambah tinggi tidak berjalan maksimal.

Sebagai contoh, nilai tambah industri ini sangat besar. Satu kilogram baja yang bernilai sekitar Rp5.000 dapat menjadi komponen pesawat seperti pintu dengan harga jutaan rupiah per unit.

Contohnya, pintu mobil Honda CR-V berbobot 10 kilogram, dengan bahan dasar senilai Rp50.000, bisa memiliki harga akhir Rp8 juta hingga Rp10 juta per pintu.

Nilai tambah ini tercipta dari proses desain, rekayasa, dan manufaktur yang berbasis pengetahuan dan inovasi anak bangsa. Inilah yang saya
yakini perlu didukung secara serius oleh para ekonom dan pengambil kebijakan untuk mendorong hilirisasi industri nasional.

Berdasarkan latar belakang dan kompetensi tersebut, saya kemudian dipercaya menjadi Rektor Universitas Tunas Pembangunan (UTP) Surakarta.
Saat itu, pihak universitas sudah lama mencita-citakan pembukaan program studi Dirgantara dan Smart Information System.

Dua periode rektor sebelumnya telah mencoba mewujudkannya, namun belum berhasil. Dalam satu periode kepemimpinan saya, kedua program studi itu berhasil diwujudkan.

Saya yakin keberhasilan tersebut tidak lepas dari pengalaman panjang saya di dunia industri dan riset. Dalam membangun kelembagaan, kita tidak boleh meraba-raba.

Diperlukan pengalaman nyata dan kejelasan arah, karena membentuk program studi bukan sekadar administratif, tetapi juga strategi pembangunan sumber daya manusia.

Penugasan sebagai Rektor UTP dimulai segera setelah masa bakti saya di KPPU selesai sebagai komisioner, wakil ketua, dan akhirnya ketua. Saat hendak kembali ke homebase di Universitas Indonesia, Rektor menyarankan agar saya tidak langsung kembali untuk menghindari kerumitan proses administratif PNS.

Sebagai gantinya, saya ditugaskan memenuhi permintaan dari UTP, universitas yang didirikan oleh Yayasan Tentara Pelajar, yang saya anggap sebagai bentuk pengabdian. Dengan dukungan penuh dari Rektor UI dan yayasan pengelola UTP, saya menjalankan tugas tersebut selama satu periode, di mana seluruh rencana pendirian program studi berhasil terealisasi.

Bagaimana kelanjutan program studi yang dikembangkan Prof Tresna?

Setelah program studi Kedirgantaraan dan Smart Information System berhasil didirikan selama masa kepemimpinan saya di UTP Surakarta, muncul pertanyaan apakah program-program tersebut akan tetap berjalan dan berkembang setelah saya tinggalkan.

Jawaban saya adalah ya, karena sejak awal saya memastikan adanya sumber daya manusia yang tepat—individu bertalenta dan berkomitmen membangun kelembagaan.

Untuk program studi Dirgantara, saya menjalin kerja sama langsung dengan Prof. Dr. Ir. Tatacipta Dirgantara, M.T., akademisi ITB yang juga adik kelas saya, untuk merekrut lulusan terbaik yang berminat menjadi akademisi dan berkomitmen pada pengembangan institusi baru, khususnya di bidang kedirgantaraan.

Hasilnya, saya menemukan sosok-sosok muda yang sangat potensial. Kini, program studi Dirgantara di UTP berjalan dengan sangat baik dan perkembangannya terlihat nyata, bahkan melalui akun Instagram resmi prodi tersebut. Jadi, saya merasa cukup optimis. bahwa apa yang kami tanam akan terus tumbuh.

Anda melontarkan gagasan besar Indonesia Incorporated. Bisa dijelaskan ?

Berbicara tentang konsep besar yang sering saya sebut sebagai Indonesia Incorporated, ini adalah pandangan saya mengenai pentingnya negara ini menyusun semua potensi dan sumber daya, baik alam maupun manusia, secara terstruktur dan strategis untuk meningkatkan pendapatan nasional, salah satunya melalui industri bernilai tambah tinggi.

Namun, mengapa sektor industri kita justru mengalami penurunan kontribusi dalam beberapa dekade terakhir? Menurut saya, negara ini seperti entitas yang hidup.

Seperti falsafah Jawa mengatakan, urip iku kudu urup, hidup bukan hanya sekadar eksistensi biologis, tetapi harus memberi getaran, pengaruh, dan makna. Dalam konteks bernegara, kebijakan yang kurang baik akan memperburuk keadaan, sedangkan kebijakan yang semakin baik akan meningkatkan kualitas kehidupan berbangsa.

Selama 12 tahun, saya pernah menjadi anggota observer di OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development), sebuah lembaga ekonomi internasional untuk negara-negara maju.

Setiap tahun saya menghadiri pertemuan tahunan di markas besar mereka di Paris. Di pintu masuk gedung OECD, tertulis semboyan: “Better Policies for Better Lives.” Kalimat itu sederhana, tetapi memiliki makna yang sangat mendalam. Kemajuan suatu negara sangat bergantung pada kualitas kebijakan yang diterapkan.

Sayangnya, di negeri kita, politik sering kali terlalu mendominasi. Ketika politik berubah menjadi politicking yang tidak sehat, kebijakan yang dihasilkan menjadi buruk.

Kita pernah melewati masa ketika arah kebijakan cukup baik dan terstruktur, terutama di era Presiden Soeharto yang memiliki pandangan strategis. Saya berharap Presiden Prabowo dapat menempuh jalur serupa—dengan strategi yang komprehensif dan terukur, tidak sporadis atau terlalu fokus pada satu sektor saja (seperti infrastruktur) sambil mengabaikan sektor penting lainnya.

Untuk membangun negara, diperlukan kekuatan kelembagaan dan kebijakan publik yang tidak membingungkan, terutama dalam bidang pendidikan tinggi.

Tugas seorang menteri semestinya adalah merumuskan kebijakan yang sederhana, jelas, dan tidak terlalu mengatur secara teknis, agar para dosen bisa mengalihkan seluruh energinya untuk berkarya, melakukan riset, dan menciptakan hilirisasi hasil pengetahuan.

Faktanya, jika kita bertanya kepada para dosen di Indonesia, sebagian besar waktu mereka tersita untuk urusan administrasi. Ini sangat berbeda dengan pengalaman saya ketika menjalani post-doctoral research di sebuah universitas maju, di sana, dosen benar-benar digaji untuk berkarya.

Mereka memiliki waktu dan ruang yang sepenuhnya didedikasikan untuk riset tanpa beban administratif yang berlebihan. Sistem pendukungnya juga sangat kuat dan profesional. Inilah inti dari pentingnya kebijakan yang tepat—tidak perlu terlalu rumit atau canggih, tetapi harus konkret dan relevan.

Negara perlu memberikan otonomi yang sehat kepada individu, terutama akademisi, agar mereka dapat mengembangkan bakatnya dan menghasilkan karya yang membanggakan, bukan hanya untuk institusi mereka, tetapi juga untuk bangsa.

Bagaimana pandangan Anda tentang kualitas riset perguruan tinggi di Indonesia?

Salah satu masalah utama di perguruan tinggi kita saat ini adalah kecenderungan kegiatan riset, pengabdian kepada masyarakat, dan aktivitas akademik lainnya dilakukan semata-mata untuk memenuhi persyaratan administratif.

Banyak kegiatan yang menjadi formalitas sehingga sulit diimplementasikan atau tidak relevan dengan kebutuhan nyata di lapangan. Ini sangat memprihatinkan, terutama bagi saya yang pernah bekerja langsung di industri dan sektor riil.

Menurut saya, akar masalahnya adalah kelembagaan kita yang belum benar-benar mapan. Universitas sebagai institusi belum selesai dibangun secara substansial. Proses pembangunan dan penyempurnaan universitas seharusnya menjadi proses yang terus berlangsung.

Bahkan, negara maju pun tidak menyelesaikan pembangunan kelembagaan mereka dalam waktu singkat, tetapi terus memperbaikinya secara berkelanjutan. Sebagai contoh, seseorang ingin belajar di Harvard bukan karena akreditasinya A atau B. Tidak ada orang yang berkata, “Saya masuk Harvard karena akreditasinya bagus.”

Mereka memilih Harvard karena ingin belajar dari profesor tertentu atau bergabung dengan laboratorium unggulan. Jadi, orientasi mereka lebih pada kualitas nyata daripada simbol-simbol administratif. melainkan pada kualitas isi kepala, pada gagasan, karya, dan kompetensi ilmuwan di dalamnya.

Sayangnya, kita di Indonesia masih berada pada tahap “universitas kertas.” Banyak yang terlalu sibuk mengejar atribut administratif, akreditasi nasional dan internasional, dokumen-dokumen sertifikasi, dan indikator-indikator yang belum tentu menggambarkan mutu sesungguhnya.

Yang seharusnya kita kejar adalah pengakuan berdasarkan kualitas sejati, reputasi keilmuan, kekuatan laboratorium, dan kontribusi nyata kepada peradaban.

Impian saya, suatu saat nanti, orang dari berbagai belahan dunia akan berkata: “Kalau ingin belajar tentang multicultural systems atau community development, pergilah ke Universitas Indonesia.

” Bukan ke Harvard. Mengapa? Karena di UI ada profesor yang benar-benar ahli di bidang tersebut, ada laboratorium yang produktif dan berpengaruh. Jadi, bukan karena UI mendapat akreditasi dari LAM atau IABEE, melainkan karena kita memang unggul di bidang itu.

Saat ini, kita berada dalam tahapan di mana akreditasi menjadi bagian dari proses untuk naik kelas. Saya memahami dan menghargai hal itu. Namun, suatu saat nanti, akreditasi seharusnya menjadi sukarela, bukan kewajiban.

Sistem kita saat ini membuatnya seolah-olah menjadi keharusan administratif, bukan alat untuk merefleksikan kualitas. Hal ini menciptakan budaya kepatuhan (culture of compliance), bukan budaya keunggulan (culture of excellence).

Oleh karena itu, jika kita ingin hasil riset dari perguruan tinggi benar-benar berdampak dan diterapkan di dunia nyata, kita harus membenahi kelembagaannya terlebih dahulu.

Kita perlu membangun budaya yang berorientasi pada mutu dan relevansi, bukan hanya pada kelengkapan berkas dan formalitas birokrasi. Universitas bukan sekadar gedung megah seluas ratusan hektare, melainkan kumpulan pemikir hebat, laboratorium produktif, dan karya-karya yang mengguncang dunia.

Bagaimana cara meningkatkan mutu perguruan tinggi kita?

Saya memang terlibat langsung dalam pengembangan sistem akreditasi teknik di Indonesia, salah satunya melalui peran saya sebagai salah satu chairman di Indonesia Accreditation Board for Engineering Education (IABEE).

Dalam konteks ini, saya memahami bahwa saat ini kita tengah berada dalam masa transisi, dari sistem akreditasi nasional menuju sistem pengakuan internasional yang lebih luas dan integratif. Keinginan untuk mengejar akreditasi internasional

Muncul dari kebutuhan logis agar lulusan Indonesia diterima di pasar tenaga kerja global, terdapat perjanjian internasional dalam dunia teknik yang dikenal sebagai Washington Accord.

Kesepakatan global ini diikuti oleh sejumlah negara melalui badan akreditasi masing-masing. Dalam hal ini, Indonesia melalui IABEE telah berupaya memenuhi standar internasional yang sejajar dengan ABET (Amerika Serikat), JABEE (Jepang), dan lainnya.

Adopsi akreditasi internasional seperti ini merupakan langkah wajar dalam masa transisi. IABEE dikembangkan melalui bimbingan dan benchmarking terhadap ABET dan JABEE.

Hasilnya, program studi teknik di Indonesia yang terakreditasi IABEE kini diakui di negara-negara anggota Washington Accord, sehingga lulusannya otomatis diakui dan mampu bersaing secara global.

Namun, penting disadari bahwa tidak semua negara besar bergantung pada Washington Accord. Sebagai contoh, Jerman tidak menjadi bagian dari Washington Accord, tetapi tetap menjadi tujuan utama mahasiswa teknik dari seluruh dunia.

Hal ini berkat reputasi institusinya, kualitas pendidikannya, dan warisan keilmuannya yang kuat. Dengan kata lain, pengakuan internasional mereka bukan sekadar hasil akreditasi formal, melainkan kualitas substantif yang melekat pada sistem pendidikannya.

Jadi, meskipun akreditasi internasional itu baik, hal ini perlu diposisikan sebagai fase transisi menuju pengakuan berbasis reputasi sejati. Cita-cita kita seharusnya bukan hanya mengejar akreditasi formal, tetapi mencapai titik di mana institusi pendidikan kita tidak perlu lagi dikejar akreditasi karena sudah otomatis diakui dunia.

Kita harus bermimpi dan bekerja keras agar suatu saat Indonesia memiliki universitas yang sejajar dengan MIT, Harvard, atau Oxford—yang akreditasinya bersifat sukarela karena reputasinya sudah menjamin kualitasnya.

Dengan demikian, tugas kita bukan berhenti padamengejar akreditasi, tetapi melangkah lebih jauh: membangun keunggulan isi, membentuk karakter lulusan yang unggul, memperkuat laboratorium,

dan menghasilkan inovasi nyata yang diakui dunia. Inilah makna dari institutional maturity yang seharusnya kita tuju. Akreditasi adalah alat, bukan tujuan akhir.

Kalau akreditasi tidak lagi menjadi syarat utama, bagaimana cara mengukur reputasi sebuah perguruan tinggi?

Jawabannya sederhana namun mendalam: melalui proses dan hasil nyata, baik kualitas alumni maupun kontribusi ilmiah para profesor dan institusinya. Pengembangan sumber daya manusia adalah proses panjang yang dipengaruhi banyak faktor, salah satunya adalah iklim pembelajaran yang diciptakan institusi, termasuk kualitas proses belajar, fasilitas, dosen, infrastruktur, dan regulasi internal.

Aspek kelembagaan dan kebijakan juga penting. Universitas tidak bisa lepas dari kebijakan publik, namun sering kali kebijakan justru menambah beban administratif yang tidak relevan dengan tridharma perguruan tinggi.

Idealnya Kebijakan yang tepat seharusnya mendukung para akademisi muda, khususnya doktor, untuk berkembang menjadi profesor unggul yang produktif secara akademik dan kontributif bagi masyarakat dan negara. Disinilah relevansi Prinsip yang saya pegang adalah: Better policy for better life.

Dengan demikian, reputasi universitas tidak dibangun dari sertifikat akreditasi, tetapi dari kualitas proses dan dampak nyata lulusan serta sivitas akademiknya.

Kepemimpinan universitas memegang peran penting dalam merealisasikan visi dan kebijakan ke dalam program-program strategis
yang konsisten dan mendukung pengembangan keunggulan institusi secara holistik.

Akhirnya, keunggulan sebuah universitas yang sejati adalah ketika keberadaannya memberikan dampak (impactful), bukan hanya pada skala lokal, tetapi juga regional dan bahkan global. Universitas harus menjadi mata air pengetahuan dan kebijakan, bukan sekadar gedung dengan label “unggul”.

Bagaimana Bapak melihat arah pembangunan negara kita saat ini?

Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan Presiden Prabowo sebesar 8% adalah cita-cita besar yang sangat mungkin tercapai jika didukung pendekatan menyeluruh dan berbasis keunggulan domestik.

Saya mendukung kebijakan yang fokus pada sektor pertanian, pangan, energi, dan hilirisasi karena hal ini memaksimalkan potensi sumber daya, baik terbarukan maupun tidak.

Sebagai negara tropis, Indonesia memiliki kekayaan pangan melimpah. Namun ironisnya, kita masih mengimpor dalam jumlah besar. Padahal, dengan teknologi dan sistem produksi yang tepat, kita bisa swasembada bahkan ekspor.

Hal serupa terjadi di sektor energi, di mana kita memiliki potensi besar dari energi air, matahari, angin, hingga biomassa, tetapi tetap bergantung pada impor bahan bakar termasuk crude oil. Ini menunjukkan bahwa kemandirian energi belum sepenuhnya terwujud.

Karena itu, kebijakan komprehensif dan berkelanjutan sangat penting. Kita perlu membangun ketahanan pangan, energi, air bersih, udara bersih, bahkan tanah subur. Elemen-elemen dasar ini sangat penting untuk kehidupan sehat dan produktif.

Tanpa itu, pertumbuhan ekonomi tinggi hanya menjadi angka semu. Kebijakan yang baik harus multidisiplin, multisektor, dan multifaset untuk mendorong industri dan jasa bernilai tambah tinggi.

Tidak hanya manufaktur, sektor jasa seperti pariwisata juga harus diperkuat. Lihatlah Prancis, sebagian besar pendapatannya berasal dari jasa pariwisata bernilai tinggi.

Bahkan Bali, dengan minim intervensi kebijakan, mampu menjadi magnet pariwisata dunia. Ini membuktikan bahwa jasa berkualitas dan bernilai tambah dapat memberi kontribusi signifikan.

Demikian juga, universitas di Indonesia harus mulai membangun reputasi global. Suatu hari nanti, kita berharap mahasiswa dari berbagai negara datang ke Indonesia bukan karena promosi, tetapi karena kualitas ilmu dan dosen-dosen kita.

Untuk mencapainya, pembangunan kelembagaan harus dilakukan secara bertahap dan konsisten. Saya menyebutnya empat tahap fundamental dalam pembangunan institusi.

Pertama, institutional building, yaitu pondasi awal. Dalam konteks negara, ini meliputi pembuatan konstitusi, undang-undang, peraturan pemerintah, dan kebijakan menteri. Sedangkan dalam universitas, ini mencakup regulasi internal untuk tata kelola kelembagaan.

Kedua, organizational building. Setelah kerangka kebijakan terbentuk, organisasi yang efektif perlu dibangun untuk menjalankan kebijakan tersebut. Di negara, ini berupa kementerian, lembaga yudikatif, dan lainnya. Di universitas, ini berarti tata kelola fakultas, departemen, unit riset, dan layanan akademik yang saling mendukung.

Ketiga, capacity building, tahap paling menantang. Di sini, kita mengembangkan kapasitas sumber daya manusia—dosen, peneliti, tenaga kependidikan—agar mampu melaksanakan mandat kelembagaan dengan optimal dan berdaya saing tinggi.

Keempat, incorporated, yaitu tahap di mana kelembagaan telah terinternalisasi dan berjalan secara sistematis serta berkelanjutan. Pada tahap ini, diperlukan inovasi dan perbaikan terus-menerus (continuous improvement) untuk menjaga relevansi dan keberlanjutan.

Model empat tahap ini tidak hanya berlaku untuk institusi negara atau universitas, tetapi juga untuk pengembangan individu. Jika kita ingin menjadi “pribadi yang incorporated,” kita harus melalui tahapan itu:

membangun prinsip dasar (institusi nilai diri), struktur kebiasaan (organisasi diri), kapasitas (skill dan kompetensi), hingga menjadi manusia yang terintegrasi secara utuh.

Artikel Terkait