Wawancara Satryo Soemantri Brodjonegoro
Prof Satryo Soemantri Brodjonegoro, MENDIKTI.

Prof. Satryo, Pendidikan Tinggi Harus Jadi Penjaga Moral Bangsa

Share

Majalah Kampus Indonesia (KI) beruntung mendapat kesempatan untuk mewawancarai Prof. Satryo Soemantri Brodjonegoro di kantornya hampir sekitar dua jam. Banyak hal didiskusikan mulai soal gelar, LPDP, akreditasi, PTNBH, hilirisasi riset, kepada pemimpin redaksi KI Bambang Sadono, dan redaktur senior Herutjahjo Soewardojo.

Bagaimana Pak Satryo memandang kekritisan kampus, khususnya mahasiswa?

Saya setuju bahwa mahasiswa bisa mengkritik pemerintah, tidak boleh dibatasi. Kampus harus menjadi tempat untuk bebas berpikir dan berpendapat. Jika kita pasung academic freedom—nya, kampus hanya akan menjadi kantor, bukan kampus lagi. Namun kritik harus tetap bisa dilakukan dengan santun, bukan dengan cara yang kasar dan memaksa.

Jika kritik disampaikan dengan kata-kata yang tidak baik, itu bisa merusak reputasi perguruan tinggi yang bersangkutan. Apalagi kalau itu datang dari kampus besar. Kritik boleh, tapi harus ada etika dalam menyampaikannya. Kalau tetap ngotot dengan bahasa yang buruk, ya lebih baik jangan dipublikasikan.

Akhir-akhir ini banyak kontroversi penggunaan dan pencapaian gelar akademis, apa pendapat Bapak?

Banyak orang yang mengutamakan status sosial dan menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan gelar akademis hanya untuk menambah status sosial. Mereka sering merasa bahwa tanpa gelar mereka kurang dihormati atau dianggap. Padahal, yang seharusnya kita perhatikan adalah pengetahuan, keahlian, dan kontribusi kita terhadap masyarakat. Di luar negeri, orang tidak terlalu peduli gelar yang dipakai seseorang. Yang penting adalah apa yang mereka lakukan dan kontribusinya terhadap bidangnya.

Bagaimana jika kampus sendiri yang berinisiatif memberikan gelar tanpa pendekatan akademis?

Itu jelas melanggar etika. Kampus adalah lembaga yang seharusnya menjaga moralitas. Etika itu nomor satu. Meskipun mungkin secara hukum tidak ada yang salah, karena hukum dibuat untuk kepentingan tertentu dan terkadang nilai moralnya belum ada. Jadi, menurut saya di atas hukum ada moralitas.

Dalam dunia politik, legislatif, eksekutif, dan yudikatif sudah banyak dipengaruhi kepentingan. Sehingga perguruan tinggi harus hadir sebagai moral force, harus tetap menjaga moralitas dan kebenaran. Kalau kampus tidak memegang teguh prinsip moral, lalu siapa lagi yang akan menjadi teladan dalam masyarakat.

Publik banyak membicarakan beasiswa dari LPDP. Bagaimana pandangan bapak?

LPDP (Lembaga Pengelola Dana Pendidikan) setiap tahun memang mendapatkan anggaran Rp. 9 triliun dari dana abadi. Dana abadi ini digunakan untuk berbagai macam program, termasuk LPDP, beasiswa, juga riset penelitian. Jadi memang dananya cukup besar, tapi masih banyak kasus para pendaftar yang tidak lulus seleksi.

Dulu saya pernah mengusulkan untuk langsung meloloskan mereka yang sudah memiliki LOA (Letter of Acceptance) dari universitas luar negeri, karena dianggap mutunya sudah baik sehingga tidak perlu tes lagi. Tapi kemudian ada dugaan bahwa LOA bisa didapatkan dengan cara yang sangat mudah. Ada agen- agen yang mempermudah hal itu dengan biaya tertentu. Oleh karenanya, pengadaan tes sebelum mendapatkan LOA itu cukup komprehensif.

Bagaimana pandangan bapak mengenai akreditasi perguruan tinggi?

Akreditasi ini memang masalah penting yang harus kita luruskan. Pertama, akreditasi itu tidak boleh wajib. Kedua, akreditasi tidak boleh diserahkan kepada pemerintah, harus lembaga independen. Ketiga, akreditasi tidak boleh menggunakan peringkat, hanya boleh dengan status sudah terakreditasi atau belum.

Jadi pada UU Sisdiknas (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional) tahun 2003, akreditasi itu bersifat wajib. Padahal kewajiban itu juga akan menyulitkan lembaga akreditasi, apalagi kalau kita melihat jumlah perguruan tinggi yang sangat banyak, lebih dari 4.000, dengan puluhan ribu program studi. Maka, mereka yang belum sempat diakreditasi akan menuntut, kapan bisa diakreditasi. Padahal akreditasi membutuhkan biaya dan tenaga. Memang pemerintah mendanai, namun dengan SDM yang ada pun mustahil bisa mengakreditasi puluhan ribu dalam setahun, harus bertahap tapi akhirnya akan menumpuk.

Menurut saya, yang perlu akreditasi hanyalah program studi yang terkait dengan keselamatan publik, seperti kedokteran, psikologi, teknik, akuntansi, atau IT. Tidak semua program studi perlu, misalnya seni, yang memang tidak berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat. Di luar undang-undang tersebut, akreditasi telah berkembang menjadi suatu kebutuhan. Alasan perguruan tinggi membutuhkan akreditasi tentunya sebagai pembuktian kualitas instansi tersebut. Oleh karenanya, mengubah aturan ini bisa menimbulkan masalah, sebab orang-orang terbiasa dengan reputasi.

Kemudian sekarang kan akreditasi berjenjang, setelah nasional, perguruan tinggi berlomba- lomba untuk akreditasi internasional. Menurut saya, akreditasi internasional itu digunakan untuk lulusan agar bisa bekerja di luar negeri. Jadi lebih pada kebutuhan pasar kerja, bukan gengsi. Tapi ini opsional, tidak wajib.

Bagaimana dengan konsep PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum)?

Dilihat dari filosofi, status badan hukum memang harus dimiliki oleh semua perguruan tinggi. Tidak hanya negeri, tapi juga swasta. Namun, swasta cenderung lebih lambat dalam hal ini karena yayasannya masih menjadi badan hukum, bukan perguruan tinggi itu sendiri. Kalau swasta bisa berubah menjadi badan hukum perguruan tinggi, maka yayasan itu akan masuk ke dalamnya sebagai bagian dari struktur hukum yang lebih kuat. Hanya saja banyak yayasan yang tidak mau, karena perubahan ini menyangkut otonomi.

Ada juga kampus yang tidak memiliki badan hukum, ibaratnya sama dengan Kantor Wilayah, jadi kepalanya bukan rektor melainkan Kakanwil. Jika berstatus badan hukum, mereka akan memiliki otonomi yang lebih besar dalam mengelola dana, menentukan kebijakan, dan menjalankan inovasi. Dengan ini, perguruan tinggi tidak bisa diintervensi langsung oleh pemerintah, tapi tetap ada mekanisme pengawasan melalui jalur lain. Jadi kebijakan itu sudah on the track, namun di kementerian terkadang ada kebijakan yang dipelintir karena menyangkut prestasi sebuah perguruan tinggi.

Perguruan tinggi kini mencari berbagai cara untuk mengelola dana, termasuk menciptakan dana abadi. Bagaimana kebijakan pemerintah ke depannya?

Dana abadi itu penting. Sistemnya mirip dengan yang ada di universitas besar seperti Harvard, di mana uang yang disumbangkan tidak hilang begitu saja. Uang itu dikelola, dan bunga yang dihasilkan digunakan untuk kepentingan kampus. Di ITS sudah cukup maju dalam hal ini, tetapi memang banyak perguruan tinggi yang alumninya belum terbiasa menyumbang untuk kampusnya.

Bagi perguruan tinggi negeri yang berstatus PTN- BH, pemerintah tetap mendanai kebutuhan dasar mereka, terutama jika memiliki performa yang baik, misalnya dalam hal riset. Namun sebagai lembaga hukum independen, perguruan tinggi ini juga dapat mengelola dana abadi sendiri.

Dana abadi itu tetap milik penyumbang, tetapi dikelola oleh perguruan tinggi dan disepakati berapa lama uang itu akan ditahan di dana abadi. Biasanya, dana ini tidak diambil dalam waktu dekat, karena tujuannya memang untuk kepentingan jangka panjang kampus. Jika dibandingkan dengan uang yang disimpan di bank di mana bunganya digunakan untuk keuntungan bank, dana abadi perguruan tinggi ini lebih bermanfaat untuk pengembangan kampus.

Ada keluhan dari perguruan tinggi swasta, karena perguruan tinggi negeri, terutama yang berstatus PTNBH, sangat agresif dalam penerimaan mahasiswa, ini menyebabkan yang masuk ke swasta berkurang?

Ini memang isu yang menarik. Waktu saya jadi Dirjen, saya punya konsep pembagian tugas antara PTN dan PTS. Swasta seharusnya fokus pada program studi yang lebih spesifik dan memiliki pasar besar, misalnya bidang ekonomi atau desain. Sedangkan PTN bisa fokus pada program studi yang lebih membutuhkan investasi besar, seperti kedokteran, teknik, atau arkeologi, yang tidak selalu bisa dijalankan oleh swasta. Hanya saja, hingga saat ini pemerintah masih terbatas dalam hal pendanaan untuk PTN. Sehingga, PTN dituntut untuk tumbuh dan mengembangkan diri dengan dana yang terbatas. Maka cara yang paling mudah adalah menarik mahasiswa sebanyak-banyaknya.

Ada pendapat bahwa pendidikan tinggi itu adalah kebutuhan sekunder, yang bukan menjadi kewajiban pemerintah untuk membiayainya.

Sebenarnya, saya memahami pernyataan itu. Memang dalam konteks kewajiban pendidikan, pemerintah sudah menetapkan bahwa pendidikan dasar hingga SMP itu wajib, dan rencananya akan diperpanjang sampai SMA, bahkan PAUD. Jadi, pendidikan tinggi memang bukan kewajiban negara untuk membiayai. Itu adalah pilihan, seseorang boleh melanjutkan ke perguruan tinggi atau langsung bekerja setelah lulus SMA. Namun, yang perlu dipahami adalah, bagi yang ingin melanjutkan studi di perguruan tinggi, negara tetap memiliki kewajiban membantu dalam memberikan akses bagi mereka yang serius belajar tetapi tidak mampu secara finansial. Itu sebabnya kita punya beasiswa, terutama bagi mereka yang berpotensi tetapi terbatas secara ekonomi.

Bagi perguruan tinggi negeri yang berstatus PTN-BH, pemerintah tetap mendanai kebutuhan dasar mereka, terutama jika memiliki performa yang baik, misalnya dalam hal riset. Namun sebagai lembaga hukum independen, perguruan tinggi ini juga dapat mengelola dana abadi sendiri.

Banyak keluhan tentang hubungan antara riset di perguruan tinggi dan aplikasinya di industri berjarak?

Betul, memang ada gap. Masalahnya bukan hanya modal, banyak peneliti kita yang lebih memilih topik yang mereka sukai, tanpa memperhatikan apakah riset itu relevan dengan kebutuhan masyarakat atau industri. Mereka puas dengan hasilnya, tapi kalau itu tidak dibutuhkan oleh masyarakat, ya tidak akan berguna. Untuk menjembatani jarak tersebut, peneliti harus mulai dari topik yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Riset itu harus bisa diaplikasikan menjadi produk yang bermanfaat. Ini memang memerlukan proses panjang, yang disebut hilirisasi atau transfer teknologi hasil riset.

Hilirisasi itu proses mengubah hasil riset menjadi produk komersial yang bisa dipasarkan. Itu banyak tahapannya, mulai dari membuat business plan, melakukan survei pasar, memodifikasi produk berdasarkan kebutuhan konsumen, penentuan harga yang tepat, dan masih banyak lagi. Di negara maju, mereka sudah memiliki lembaga seperti TTO (Technology Transfer Office), yang menangani hal ini dengan lebih sistematis. Pada masa Pak Habibie, sebenarnya kita sudah punya BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) yang berfungsi untuk hal serupa, tapi sayangnya, lembaga ini tidak difungsikan dengan maksimal sehingga akhirnya hanya menjadi lembaga riset saja.

Persoalan utamanya ada kepentingan impor yang tidak ingin riset-riset lokal berkembang, karena mereka lebih suka mengimpor barang dari luar negeri. Padahal, kita punya kemampuan dan pemerintah pasi mau membantu mendanai untuk menciptakan produk-produk lokal.

Jadi jika ingin maju, stop impor!

Terkait dengan program Presiden, seperti kemandirian pangan, energi, dan teknologi, bagaimana peran pendidikan tinggi?

Pendidikan tinggi memang berkewajiban untuk memastikan program itu tercapai. Salah satunya dengan memastikan bahwa perguruan tinggi dapat menghasilkan SDM dan riset yang siap mendukung program-program tersebut. Misalnya, saat Pak Amran Sulaiman, Menteri Pertanian, mengundang saya untuk berbicara dengan 30 rektor perguruan tinggi se-Indonesia, beliau mengatakan bahwa ada dana yang disiapkan untuk mengembangkan pertanian, mencakup pembelian benih, produksi pupuk, dan inovasi mesin pertanian, yang nantinya akan dikelola oleh masyarakat. Ini adalah kesempatan bagi perguruan tinggi untuk terlibat langsung dalam mendukung program ketahanan pangan.

Saya rasa, perguruan tinggi harus mulai mengubah pola riset mereka. Jangan terlalu terfokus pada publikasi internasional hanya untuk mengejar gelar guru besar. Kita harus menciptakan inovasi yang benar-benar relevan dan bisa diterapkan untuk membantu masyarakat. Harapan saya, teman-teman rektor jangan hanya mengejar angka atau jumlah. Kalau ada yang benar-benar ingin belajar, silakan, beri kesempatan untuk mereka yang sungguh-sungguh ingin menuntut ilmu. Tapi yang hanya mengejar sertifikat atau gelar, jangan dilayani.

***

Stasiun LRT Jakarta

Ikut Mengembangkan LRT, Hilirasi dan Mobil Listrik

Setelah menjadi Dirjen Dikti apa kegiatan Bapak?
Saya selesai sebagai Dirjen Dikti pada tahun 2007, kemudian pada 2008 saya mengajar Teknik Mesin di Toyohashi University of Technology, Jepang selama tiga tahun. Memang sempat diberi tawaran untuk memperpanjang masa mengajar, tetapi pada 2010 saya memutuskan kembali ke Indonesia. Begitu pulang, di tahun 2011 saya mulai aktif bekerja sebagai konsultan pendidikan tinggi dan juga konsultan pembangunan Asia, seperti di USAID (U.S. Agency for International Development), JICA (Japan International Cooperation Agency), dan sebagainya.

Saya bergabung dengan JICA, sebagai advisor untuk program pendidikan tinggi. Saya menjembatani bantuan dana pendidikan dari lembaga Amerika dan Jepang untuk perguruan tinggi di Indonesia. Mungkin karena itu mendapatkan penghargaan dari Kaisar Jepang pada tahun 2016. Selain itu, saya juga tetap mengajar di ITB hingga 2020.

Aktif juga membantu pemerintah juga?

Pada 2018, saya juga diminta Pak Luhut (Luhut Binsar Panjaitan), Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, untuk menjadi penasihat khusus di bidang inovasi dan daya saing industri. Salah satu kontribusi saya adalah terwujudnya proyek LRT (Light Rail Transit) Jabodebek (Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi).

Kami menghadapi banyak tantangan saat menyiapkan LRT, terutama terkait dengan kesiapan teknologi dalam negeri. Pada awalnya, kami mencoba bekerjasama dengan Korea yang memiliki teknologi lebih maju. Namun, karena satu dan lain hal kami akhirnya memutuskan untuk hanya bekerja bersama INKA (Industri Kereta Api) untuk mengembangkan LRT, dengan bantuan dana sebesar Rp. 4 triliun rupiah dari pemerintah. Ini adalah langkah besar untuk menunjukkan sendiri, bukan hanya bergantung bahwa kita bisa membuat teknologi pada negara lain.

Saya juga membantu dalam proyek hilirisasi nikel di Morowali, Sulawesi Tengah. Seperti yang kita tahu, Morowali merupakan pusat pengolahan nikel di Indonesia, dan banyak pihak yang khawatir kalau proses hilirisasi ini akan dikuasai oleh pihak asing. Tapi saya berusaha memastikan bahwa proyek ini bisa disetujui oleh pihak China dengan dipegang oleh Indonesia. Lalu hal itu syarat mengirimkan orang terbaik kami untuk dilatih, dan dikirimlah 30 orang setiap tahun untuk sekolah di China dan magang langsung di pabriknya.

Dari kerjasama itulah kita akhirnya punya laboratorium tercanggih di ITB, didanai oleh pihak China senilai Rp. 500 miliar. Kemudian dapat mengembangkan teknologi untuk pembangunan smelter, pembuatan bahan baku baterai mobil listrik, dan bahkan teknologi recycling. Tambang itu limbahnya sangat banyak, termasuk di Morowali banyak keluhan terkait limbah. Namun pabrik recycling bisa mengatasi hal itu. Jadi logam jenis apapun, mulai dari mobil hingga traktor, bisa didaur ulang menjadi bentuk logam yang bisa dipakai lagi.

Setelah itu, saya juga fokus pada pengembangan teknologi mobil listrik. Presiden Jokowi meminta kami untuk mengembangkan m listrik, dan saya melihat ini sebaga peluang emas untuk memajukan Indonesia. Selama ini, kita selal tertinggal dalam pengembangan mesinnya sangat rumit dan belum mobil bensin karena teknologi mendapatkan kesempatan untuk itu. Namun, dengan mobil listrik mempelajari dan menguasai bida kita hanya perlu menghubungkan baterai, motor listrik, dan pengatur penggerak. Prosesnya jauh lebih sederhana, dan Indonesia bisa berkembang pesat di bidang ini.

Ada kontroversi dalam pengembangan mobil listrik, mengapa?

Kalau saya boleh mengkritik, banyak BUMN yang lebih peduli pada aspek bisnis, bukan pada pengembangan teknologi atau industri yang berkelanjutan. Ketika saya mengusulkan kepada BUMN untuk membuat mobil listrik, banya yang khawatir tentang kerugian yang mungkin timbul. Mereka lebih memilih untuk membeli daripada memproduksinya sendiri. Padahal, jika kita tidak memulai pengembangan teknologi ini sekarang, kita akan selalu tertinggal.

Salah satu penyakit besar di Indonesia adalah ketergantungan kita terhadap impor. Itu terjadi di hampir semua sektor, mulai dari pertanian, industri, dan sebagainya. Impor memang menguntungkan bagi pihak importir, tetapi jangka panjangnya kita akan semakin tergantung pada negara lain. Apalagi dengan situasi dunia yang semakin tidak menentu, seperti perang yang terjadi di berbagai negara. Jika kita tidak mandiri, kita akan semakin sulit bertahan./FAA

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait