Prof. Brian Yuliarto, ST, M. Eng, Ph.D. (foto: Institut Teknologi Bandung)

Lima Catatan untuk Prof. Brian

Share

Pada Rabu, 19 Februari 2025 Presiden Prabowo Subianto melantik Prof. Brian Yuliarto, ST, M. Eng, Ph.D. menjadi Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendikti Saintek) berdasarkan Keputusan Guru Besar FTI ITB yang berasal dari Kelompok Keahlian (KK) Teknologi Nano dan Kuantum ini sebelum diangkat menjadi menteri sedang menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Riset dan Inovasi Institut Teknologi Bandung (ITB) periode 2025 – 2030.

Menilik situasi yang ada, Mendiktisaintek akan menghadapi pekerjaan rumah yang substantif dan sifatnya mendesak untuk dicarikan solusi terbaik, terutama jika merujuk Asta Cita Pembangunan yang dicanangkan pemerintahan Prabowo-Gibran menuju Indonesia emas 2045. Setidaknya ada lima catatan yang membutuhkan komitmen lima tahun ke depan.

Pertama, Anggaran Pendidikan Pro Publik

Salah satu keresahan mahasiswa yang diusung dalam berbagai demonstrasi adalah urgensi mengkaji ulang Instruksi Presiden tentang Efisiensi termasuk yang menyangkut kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan beasiswa.

Penurunan anggaran berpotensi tidak terbiayainya beasiswa dosen dan tendik yang sedang berjalan, juga beasiswa yang bisa menurunkan akses pendidikan tinggi bagi penduduk yang berada di wilayah terpencil dan perbatasan.

Efisiensi pendidikan juga berpengaruh signifikan pada kesejahteraan dosen dan terwujudnya tridharma perguruan tinggi, terutama bidang penelitian. Dana yang alokasinya untuk riset menjadi sangat kecil. Dana tersebut selama ini hanya bisa membiayai sekitar 7% dari proposal yang masuk.

Perspektif pemerintah, dalam hal ini harus pro publik ketika mengajukan anggaran pendidikan dan menyikapi efisiensi. Bagaimanapun pendidikan adalah landasan utama pengembangan sumber daya manusia.

Kedua, Pemenuhan Hak Tunjangan Kinerja

Dosen ASN Saat ini tercatat kurang lebih 81 ribu dosen ASN namun demikian, per tanggal 23 Januari 2025, Kemenkeu memberikan rekomendasi anggara 2,5 triliun rupiah untuk tunjangan kinerja (tukin) 33.957 dosen ASN.

Rekomendasi yang diambil kemudian memperlihatkan bagaimana komitmen pemerintah terhadap tenaga kependidikan dan dosen ASN. Padahal merujuk UU ASN, dosen ASN berhak mendapatkan tunjangan kinerja dan dasar hukum pemberian tukin kepada dosen ASN, yaitu Permendikbud Nomor 14 Tahun 2016 sebagaimana telah diubah dengan Permendikbud No 44 Tahun 2018 dan Permendikbud No 49 Tahun 2020.

Tukin dosen ASN tahun 2020-2024 tidak dapat diberikan karena di kurun waktu tersebut menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan tinggi (Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi) tidak menganggarkan tukin dosen ASN.

Tukin kemudian turun, namun hanya bisa untuk tahun 2025 dan terbatas pada sepertiga dosen saja. Brian Yuliarto semestinya punya misi yang sama dengan seluruh dosen ASN yakni memperjuangkan hak dosen ASN dan bukan justru mengamini kesalahan yang ada.

Ketiga, Pengembangan Universitas Unggulan

Hal yang juga mendesak adalah pengembangan universitas unggulan, dibutuhkan kebijakan strategis untuk meningkatkan kualitas pendidikan, riset, serta layanan yang diberikan

 

internasional dan menghasilkan lulusan yang berkualitas tinggi. Pengembangan ini melibatkan berbagai aspek, termasuk infrastruktur, kurikulum, pengajaran, riset, serta kerjasama dengan industri dan institusi internasional. Selama ini penilaian akreditasi cenderung kuantitatif sehingga mendorong adanya “manipulasi data” kualitas pendidikan, selain itu orientasi pemeringkatan membuat perguruan tinggi membangun kultur pendidikan seperti perusahaan.

Kelulusan tepat waktu menjadi standar utama, sehingga apapun kualitas tugas akhir menjadi “dimaklumi” demi nama baik institusi. Bahkan lulus lebih cepat dari waktu diglorifikasi sedemikian rupa. Ini menjadi preseden jika kita bicara soal kasus disertasi Bahlil Lahadalia yang masih menjadi polemik sampai sekarang. Lembaga pendidikan punya kepentingan untuk memudahkan proses pembelajaran pejabat negara, sebuah kebijakan yang kemudian justru menodai marwah institusi.

Kultur penelitian misalnya, tidak dibangun berdasarkan kebutuhan menyelesaikan masalah dan memberikan inovasi-inovasi, tapi lebih pada pabrik-pabrik data untuk kepentingan pemenuhan kinerja dan perlombaan adu tinggi di pemeringkatan, atau lebih ironis menggugurkan kewajiban tridharma. Penganugerahan gelar akademis tertinggi, yakni guru besar, bukan lagi sebuah penghormatan atas dedikasi dan komitmen pendidikan, tapi lebih pada prestise lembaga, sehingga apapun dihalalkan.

Berdasarkan riset terbaru Marepus Corner BRIN (2024), 8 dari 10 guru besar pernah menerbitkan publikasi di jurnal abal-abal sehingga kualitas kepakaran dan keilmuannya dipertanyakan. Penelitian ini dilakukan melalui penelusuran 4.742 artikel jurnal terindeksasi Scopus yang ditulis oleh guru besar di perguruan tinggi negeri di bawah Kemdikbudristek, Kementerian Agama, dan kementerian/lembaga lain dengan 158 sampel dari 18 perguruan tinggi. Sebagai contoh buruk kultur mafia publikasi ini adalah 11 guru besar di Universitas Lambung Mangkurat yang mengakibatkan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi menurunkan akreditasi institusi yang semula berkategori A menjadi C.

Menjadi penting bahwa pemerintah harus melakukan audit ulang terhadap proses penetapan guru besar di seluruh perguruan tinggi di Indonesia dan memberikan sanksi tegas berupa pencabutan status guru besar terhadap mereka yang secara sah dan meyakinkan terbukti menerbitkan seluruh artikel ilmiah internasionalnya di jurnal berkategori predator.

Keempat, Penguatan Ruang Dialog Publik

Harapan yang lain adalah penguatan ruang dialog publik. Selama ini proses birokrasi di dalam kementeriansaintek kurang transparan dan akuntabel. Perlu dibangun sistem digital yang lebih aksesibel, sehingga pihak berkepentingan dapat mudah memantau proses birokrasi, tanpa takut kehilangan banyak data/bukti-bukti tridharma jika akan mengajukan kenaikan pangkat dan jabatan.

Reformasi birokrasi dan komunikasi publik perlu terus dibenahi agar lebih efisien dan efektif. Prof Brian Yuliarto perlu membuka secara berkala dialog publik yang dapat menerima masukan-masukan dan rekomendasi publik terkait pendidikan, selain juga menjelaskan kebijakan-kebijakan strategis terkait isu pendidikan yang diambil sehingga tidak ada kesimpangsiuran informasi yang dapat menimbulkan keresahan di masyarakat. Kemendiktisaintek juga perlu berkolaborasi dengan banyak asosiasi profesi, baik di tingkat pusat maupun daerah, dalam menyerap aspirasi pengembangan pendidikan.

Kelima, Penguatan SDM Menuju Indonesia Emas 2045

Setiap kebijakan strategis sebaiknya diawali dengan riset dan diakhiri dengan riset, bukan kebijakan yang diambil reaksioner ketika sudah menjadi isu viral. Pemerintah seharusnya tegak lurus pada asta cita pembangunan yang sudah dicanangkan. Penguatan SDM di bidang saintek, sosial dan kesehatan menuju Indonesia Emas 2045. Hal ini mengingat saat ini saja berdasarkan Global Hunger Index (GHI) pada tahun 2024, Indonesia menempati peringkat ke-77 dari 127 negara dengan skor 16.9 dimana menempatkan Indonesia pada level moderat.

Sementara statistik dari Programme for International Student Assessment (PISA) yang diselenggarakan oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menilai kemampuan siswa pada kemampuan berhitung, membaca, dan sains, pada tahun 2022 Indonesia mendapat peringkat 69 dari 80 negara. Data tersebut diikuti fakta bahwa 70 persen kapasitas literasi, logika berpikir, dan kemampuan memecahkan masalah murid SMA di Indonesia masih berada di bawah kompetensi minimum.

Semestinya efisiensi tidak mengurangi banyak dana strategis pendidikan, atau Indonesia Emas hanya akan jadi angan-angan.

Artikel Terkait