Selama di Departemen Keuangan, ia dipercaya menduduki berbagai posisi strategis. Pernah menjabat sebagai Direktur Pembinaan BUMN, Direktorat Jenderal Moneter, Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Pengembangan Pasar Modal, Deputi Ekonomi dan Keuangan di Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), Staf Ahli Dewan Moneter, hingga akhirnya diangkat sebagai Direktur Jenderal Pajak.
Sebagai Dirjen Pajak periode 1993–1998, Fuad dikenal aktif mendorong reformasi perpajakan. Ia terlibat langsung dalam pembentukan sepuluh undang-undang, baik revisi maupun regulasi baru. Salah satu langkah pentingnya adalah memperkenalkan sistem pajak final yang masih digunakan hingga kini.
Pada tahun 1998, di tengah krisis moneter yang melanda, dipercaya menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Pembangunan VII. Ia juga merangkap sebagai Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pemantapan dan Pemulihan Ekonomi Nasional serta anggota Dewan Moneter. Meski situasi ekonomi saat itu penuh tekanan, ia tetap optimistis Indonesia mampu melewati masa sulit tersebut.
“Saya bilang waktu itu, badai pasti berlalu. Tidak ada badai yang terus-menerus,” ujarnya.
Mengabdi Negara
Pada awal Era Reformasi, Fuad bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN). Dalam Pemilu 1999, ia terpilih sebagai anggota MPR RI periode 1999-2004. Pada Pemilu 2004, kembali dipercaya menjadi anggota DPR RI untuk periode 2004-2009.
Perjalanan politik Fuad terus berlanjut. Ia sempat memimpin Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), sebelum akhirnya bergabung dengan Partai Gerindra pada tahun 2015. Kiprahnya di tingkat nasional pun tak berhenti, dan saat ini ia dipercaya menempati posisi strategis sebagai Komisaris Utama MIND ID, holding BUMN yang bertugas mengelola sektor pertambangan strategis Indonesia.
Ia menyatakan, selama masih hidup, akan terus mengabdi kepada negara dan bertekad untuk menyuarakan kebenaran, tanpa ada kepentingan pribadi. Pengabdian kepada negara harus dilakukan dengan tulus, tanpa terikat pada kepentingan atau rezim tertentu.
“Saya mengabdi kepada negara, bukan pada rezimnya,” tegasnya.
Ia juga tetap aktif dalam kegiatan sosial, bahkan sudah dilakukannya sejak masih mahasiswa, dimulai dari membantu ibunya dalam kegiatan-kegiatan amal jariyah, dan terus berlanjut sampai sekarang. Sampai saat ini masih mengurus sekolah, rumah sakit di daerah, pesantren, termasuk menjadi Ketua Umum Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar (YPI Al-Azhar).
Memimpin Al-Azhar
Fuad menjelaskan, sebenarnya ia tidak tiba-tiba terlibat dengan Al Azhar. Ia sudah terlibat sejak tahun 90-an dan terus ikut mengembangkan yayasan tersebut. Hanya saja, saat itu ia tidak terlihat aktif karena tidak memegang jabatan tertentu.
Saat ini, sebagai Ketua Umum Yayasan Pesantren Islam Al-Azhar (YPI Al-Azhar), Fuad bertugas untuk membenahi dan memperluas yayasan, karena memang waktu dan kondisi saat ini sudah memungkinkan untuk itu.
Fuad menceritakan, Al Azhar awalnya hanya sebuah masjid, yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah yayasan untuk mendukung kegiatan masjid tersebut. Seiring berjalannya waktu, YPI Al Azhar berkembang pesat dan kini sudah mengelola lebih dari 200 sekolah di seluruh Indonesia.
Sebagai yayasan yang dikelola secara mandiri, YPI Al Azhar memiliki sekitar 25% sekolah yang dikelola sendiri, sementara sisanya melalui sistem franchise. Banyak pihak yang memiliki lahan strategis dan berniat membangun sekolah, tetapi belum memahami bagaimana cara mengelolanya.
Di sinilah peran sistem franchise yang disebut Yayasan Mitra. Sekolah-sekolah tersebut didirikan oleh mitra, namun YPI Al Azhar membantu dari sisi manajemen, mulai dari penempatan tenaga administrasi, guru, hingga proses pendampingan agar sekolah tersebut dapat berkembang secara bertahap hingga menjadi maju.
“Kita kembangkan di situ. Jadi, baik dengan sekolah yang dikelola sendiri maupun mitra kerja, semuanya bertujuan untuk maju dan terus berkembang,” katanya.
Standar Diseragamkan
Pengelolaan Yayasan Mitra sebisa mungkin diselaraskan dengan standar YPI Al Azhar. Brand, kurikulum, dan semua unsur lainnya diusahakan agar sama. Sekolah yang baru berdiri biasanya masih membutuhkan sedikit penyesuaian, namun pada akhirnya semuanya akan diseragamkan.
Hal ini penting karena sekolah- sekolah Al Azhar banyak diminati oleh keluarga pejabat yang sering berpindah tugas, seperti pegawai keuangan, polisi, dan tentara. Saat berpindah ke daerah baru, anak-anak mereka dapat langsung melanjutkan pendidikan di sekolah Al Azhar yang tersedia di wilayah tersebut.
Standar yang diterapkan di seluruh sekolah Al Azhar kurang lebih seragam. Oleh karena itu, perluasan jaringan sekolah terus dilakukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang memiliki mobilitas tinggi.
Untuk menjaga keselarasan dan peningkatan mutu, setiap tahun diadakan rapat koordinasi minimal satu kali. Selain itu, berbagai kegiatan bersama juga rutin dilaksanakan, seperti lomba matematika, olimpiade, dan ajang lainnya. Dalam rapat kerja tersebut, sekolah-sekolah baik yang dikelola langsung maupun melalui mitra didorong untuk berbagi ide dan temuan baru.
“Ide-ide pengembangan sering disampaikan dalam forum, misalnya terkait program yang sedang dirintis atau inisiatif yang perlu diperluas. Gagasan tersebut kemudian dikaji dan dapat diadopsi secara bersama,” ujarnya.
Jangan Anggap Pesaing
Fuad mengatakan, hubungan antara pemerintah dan swasta itu saling mendukung. Pemerintah membantu, dan swasta pun turut membantu pemerintah. Perlu diingat, jumlah sekolah swasta, termasuk perguruan tinggi di Indonesia, justru lebih banyak dibandingkan sekolah-sekolah negeri. Padahal, pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah. Namun kenyataannya, peran swasta jauh lebih besar. Karena itu, pemerintah perlu memiliki cara pandang yang tepat.
Pemerintah jangan sampai menganggap swasta sebagai pesaing. Bayangkan jika seluruh sekolah swasta di Indonesia tutup, maka tanggung jawab pendidikan akan sepenuhnya dibebankan kepada pemerintah. Artinya, pengeluaran pemerintah akan meningkat tajam. Justru saat ini pemerintah bisa menghemat karena banyak inisiatif datang dari swasta. Pemerintah tinggal mengurus lembaga pendidikannya sendiri, sementara swasta sudah membantu sebagian besar beban pendidikan nasional.
Dulu, banyak sekolah swasta yang mendapat bantuan guru dari pemerintah. Namun sekarang, tampaknya pemahaman itu mulai hilang. Banyak guru negeri ditarik kembali, seolah pemerintah lupa bahwa masih banyak sekolah swasta yang membutuhkan dukungan. Bahkan dalam hal pajak pun masih terjadi ketimpangan. Tanah milik sekolah swasta tetap harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sementara sekolah negeri tidak. Padahal fungsinya sama-sama untuk pendidikan.
“Pemerintah seharusnya memperlakukan secara adil dan setara, bukan seolah-olah memusuhi atau menyulitkan swasta,” katanya.
Dengan kondisi seperti ini, swasta bisa merasa dizalimi karena diperlakukan secara diskriminatif. Pemerintah seharusnya bersikap adil. Jangan pula terlalu genit, setiap menteri ingin meninggalkan jejak dengan membuat aturan baru, kebijakan baru, simbol baru, nama baru, dan seterusnya. Yang menjadi korban justru pihak swasta, yang harus terus menyesuaikan dengan perubahan-perubahan itu.
Harapan Fuad agar kebijakan tidak terus berubah-ubah, seperti di luar negeri, di mana perubahan sistem pendidikan dilakukan dengan stabil dan konsisten. Berbeda dengan di sini, di mana setiap menteri ingin tampil beda.
“Tantangan ini memang tidak hanya soal diskriminasi, tetapi juga soal kebijakan yang berubah-ubah. Alhamdulillah, Al-Azhar masih bisa bertahan. Tapi sekolah swasta lain, banyak yang kesulitan,” tambahnya.