Untuk menjadi seorang doktor pasti harus lolos dulu proposal penelitiannya. Dalam tahapan ini, setelah proposalnya dinyatakan siap dengan bimbingan promotor maupun co promotor, calon doktor (promovendus) sudah diuji secara tertutup. Kalau lolos proses dimulai. Bisa sangat lama, bisa juga singkat. Di Universitas Padjadjaran Bandung, pernah ada kasus promovendus sudah siap ujian terbuka. Harus menunggu, karena masa studinya belum smapai dua tahun. Inilah memag ritual untuk menjadi doktor resmi di Indonesia.
Kasus Bahlil menarik. Begitu dinyatakan lulus, banyak reaksi yang muncul. Mulai dari waktu studinya yang terlalu pendek. Penelitiannya yang tidak beres. Hubungannya yang khusus dengan promotor atau co promotornya. Dewan Wali Amanat, sampai turun tangan. Dewan Guru Besar bersidang.
Di satu sisi ini menggembirakan, betapa perguruan tinggi menjaga marwahnya. Jangan sampai gelar akademis kehilangan kredibilitasnya. Namun di sisi yang lain juga menampakkan bopeng-bopeng sistem, atau setidaknya kultur kualitas akademis yang jadi pertaruhan. Ada beberap hal yang menarik untuk dicermati dari kasus ini.
Pertama, karena subyeknya adalah figur publik, seorang Menteri dan ketua umum partai besar. Sehingga semua mata memandang kasus ini dengan perhatian. Bisa saja ada kasus-kasus serupa yang luput dari perhatian, baik terjadi di universitas ternama seperti UI, atau perguruan tinggi yang lain.
Kedua, yang menjadi obyek pembahasan adalah mahasiswa calon doktornya. Sementara sedikit sekali membahas tentang para promotor, penguji baik internal maupun eksternal, dalam ujian tertutup, maupun terbuka.
Ketiga, kalau kesalahan sudah terjadi sejak keberadaan promotor dan co promotor yang ada konflik kepentingan, pertanyaannya siapa yang punya otoritas untuk mengambil keputusan tersebut. Kalau terjadi pelanggaran etika dalam keputusan tersebut, siapa yang harus mengontrol dan mengawasinya.
Keempat, kalau dalam proses penelitian terjadi penyimpangan atau pelanggaran, di mana peran pembimbingan atau pendampingan salam proses tersebut. Kalau terjadi plagiasi, apakah sistem yang sudah bekerja puluhan tahun di lembaga pendidikan tinggi andalan, memang tidak mempu mendeteksinya.
Kelima, bagaimana otoritas promotor yang sudah menjamin, bahwa materi disertasi siap diujikan, secara tertutup maupun terbuka?
Keenam, apa peran para penguji yang memberi keputusan final, seseorang layak dinyatakan sebagai doktor atau tidak, sebuah gelar akademis tertinggi yang ada.
Wajah Kita
Ketika UI mengangkat kasus ini, sebenarnya harus mendapat apresiasi tinggi. Ada lembaga pendidikan tinggi yang secara sungguh-sungguh menjaga kredibilitas akademisnya. Karena bisa saja dalam kasus yang lain, atau di lembaga pendidikan tinggi yang berbeda, dalam kasus serupa diselesaikan dengan cara baik-baik saja.
Namun resikonya sekaligus juga menunjukkan bahwa sistem dan kultur yang terjadi di UI ternyata bisa kebobolan, dengan pelanggaran yang sampai harus mengundang campur tangan Wali Amanat dan Dewan Guru Besar. Taruhlah, ini satu-satunya kasus yang ada dan pertama kali terjadi, tetap saja menunjukkan bahwa ada sistem yang rapuh, dan ada akademisi yang
digelari amat sangat terpelajar, ternyata masih harus diragukan integritasnya.
Inilah mungkin wajah kita. Masih bagus ada orang yang untuk menyandang gelar doktor harus bersusah payah menpun jalur yang wajar, meski banyak tantangan, baik secara substansial maupun prosedural. Karena praktek pendidikan tinggi juga memungkinkan menganugerahkan gelar honoris causa, yang kelihatannya sama-sama membahagikan, baik bagi yang menerima maupun yang memberikan.
Apalagi karena gelar istimewa tersebut biasanya diberikan pada para tokoh yang hebat, dengan prestasi capaiannya yang juga hebat. Bahkan bukan hanya doktor, banyak perguruan tinggi yang mengangkat tokoh-tokah besar untuk menjadi profesor kehormatan. Namanya kehormatan, kemungkinan tidak disertai tanggungjawab akademis, mengajar, menulis, atau membimbing, seperti para guru besar biasa, yang tidak pakai kehormatan.
Kesibukan para tokoh dengan tugas dan jabatannya yang penting dan strategis, pasti membuat perguruan tinggi yag mengangkatnya maklum, kalau tidak bisa bepartisipasi maksimal.
Titik Pijak ke Depan
Bagaimanapun kasus “Doktor” Bahlil menarik untuk melihat kembali kinerja dunia pendidikan tinggi kita. Selain membantu evaluasi bagai lembaga pendidikan tinggi, juga bagi Kementerian Pendidikan Tinggi, Sain dna Teknologi yang punya otoritas untuk meluruskan kembali misinya. Beberapa hal layak direnungkan.
Pertama, apakah misi pemberian gelar akademis, di masyarakat yang sangat menghormati bahkan kadang berlebihan terhadap atribut yang dianggap mencerminkan tingkat kepakaran tertinggi di bidang tertentu. Jika sistem, budaya, dan etka tidak terjaga dengan baik, bukan hanya masyarakat di luar yang akan menyalahfahami proses cara mendapatkan gelar keilmuah tersebut. Bahkan di lingkungan internal pendidikan tinggi sendiri, juga terjumpai praktek yang tidak terhormat, termasuk plagiasi, ketika berusaha mendapat gelar yang prestius tersebut.
Praktek yang akan mengurangi kredibiltas dan trust terhadap lembaga pendidikan tinggi ini, akan terus berulang jika tidak dijaga dengan sungguh-sungguh dengan sistem yang kuat, kaultur dan etika yang ketat, serta keteladanan para pengambil kebijakan.
Tradisi baik memang sudah dimulai di beberapa tempat secara sporadis. Ada perguruan tinggi ternama yang menolak pemberian jabatan guru besar kehormatan.
Ada juga yang berempati, pada para pengajar perguruan tinggi, yang hampir seumur hidupnya berkarier sebagai dosen, dengan tertatih tatih untuk mencapai gelar doktor. Apalagi bagi mereka, yang sampai pensiun pun tidak berhasil mencapai kehormatan sebagai guru besar, karena berbagai keterbatasannya.
Sementara banyak tokoh yang datang ke perguruan tinggi, lebih banyak untuk acara seremonial, tiba-tiba bergelar doktor atau guru besar, dengan predikat kehormatan.
Inilah tantangan dunia pendidikan tinggi kita ke depan. Bukan sekadar menejar formalitas reputasi nasional maupun internasional, namun kebermanfaatan untuk masyarakat, bangsa, dan negara, itu yang lebih mulia.
Ke depan mungkin gelar akademis, harus diposisikan secara mulia, diperjuangkan dan dianugerahkan secara mulia pula. Apa yang dilakukan para pimpinan perguruan tinggi, akan terus menjadi rujukan untuk mendapatkan apresiasi dari masyarakat yang menghormati dan membanggakannya.