Pengalaman organisasi yang dimilikinya mencakup posisi sebagai pengurus Kamar Dagang dan Industri (Kadin) di Jawa Barat serta di Kadin Kota Bandung. Ia juga menjabat sebagai Ketua APTISI Jawa Barat dan menjadi anggota Dewan Pembina Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di Jawa Barat.
Sejak tahun 1980-an, ia aktif di Lembaga Pengembangan Industri (LAPI) ITB, sebuah perusahaan konsultan yang menangani berbagai isu di Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Dari pengalaman ini, ia belajar secara langsung dalam mengatasi tantangan yang dihadapi oleh perusahaan besar seperti PT Pos dan Telkom, bahkan sejak era pemerintahan Presiden Habibie.
Pengalaman tersebut menjadi dasar yang kuat baginya untuk mendirikan konsultan sendiri pada tahun 1994, dengan fokus pada bidang ISO (International Standard Organization) untuk berbagai BUMN.
Selain itu, Prof. Budi juga berperan dalam pendirian perguruan tinggi Texmaco, sebuah perusahaan yang berorientasi pada produksi kendaraan niaga seperti truk dan bus, serta terlibat dalam proyek-proyek strategis seperti pembuatan tank baja dan mobil anti peluru dilakukan bersama PT Pindad.
Dari pengalaman di industri tersebut, ia bersama rekan-rekannya menyusun kurikulum pendidikan yang berfokus pada hasil nyata (outcome-based education), khususnya dalam bidang teknik dan vokasi.
Konsep ini kemudian diimplementasikan di STEMBI (Sekolah Tinggi Ekonomi Manajemen Bisnis Islam) serta berbagai perguruan tinggi lainnya, dengan pendekatan pembelajaran yang lebih praktis dan aplikatif, terinspirasi dari model Politeknik Swiss yang dipelajari dari Mr. Peset, pendiri Politeknik Swiss Bandung.
Bukan Cari Keuntungan
Budi menekankan bahwa keterlibatannya dalam dunia pendidikan tinggi bukanlah untuk meraih keuntungan finansial, melainkan sebagai bentuk amaliah atau pengabdian.
Ia secara aktif membantu perguruan tinggi yang menghadapi kesulitan tanpa mengharapkan imbalan, dengan tujuan untuk memperbaiki dan mengembangkan institusi tersebut.
Selain itu, ia juga menjalankan berbagai usaha di bidang konveksi, konstruksi, dan konsultan Teknologi Informasi sambil tetap berperan sebagai dosen di ITB dan Universitas Pasundan.
Pengalamannya yang panjang di dunia pendidikan tinggi swasta tercermin dalam keterlibatannya di Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI). Sejak tahun 1989, ia aktif dalam organisasi ini, yang pada awalnya dikenal sebagai Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (BMPTSI).
Dari posisi wakil sekretaris hingga akhirnya menjabat sebagai Ketua Umum sejak 2014, beliau telah mendedikasikan hampir tiga dekade untuk memperjuangkan dan membina perguruan tinggi swasta di Indonesia.
Prof. Budi juga membina lebih dari 60 yayasan perguruan tinggi di berbagai wilayah, termasuk Surabaya dan Samarinda. Yayasan yang dibinanya beragam, mulai dari yang berbasis pesantren hingga institusi yang menghadapi berbagai tantangan.
Perannya sebagai pembina yayasan mencerminkan komitmen yang kuat untuk meningkatkan kualitas dan keberlanjutan pendidikan tinggi swasta di tanah air.
Ia menekankan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, terdapat penurunan yang signifikan dalam jumlah mahasiswa baru di PTS, sebuah fenomena yang telah berlangsung selama sebelas tahun terakhir dengan penurunan yang sangat mencolok.
Pengurangan PTS
Walaupun jumlah perguruan tinggi swasta di Indonesia mencapai sekitar 4.500, dan terus bertambah, di sisi lain juga terjadi proses merger. Ini merupakan salah satu langkah untuk memperkuat dan mengonsolidasikan institusi pendidikan tinggi swasta yang tersebar di seluruh Indonesia.
Prof. Budi juga membahas pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo pada tahun 2016. Setelah kembali dari kunjungan ke Cina, Presiden Jokowi menanyakan tentang kemungkinan pengurangan jumlah perguruan tinggi di Indonesia.
Ia menjelaskan perbedaan signifikan antara Indonesia dan Cina, terutama dalam hal geografis dan infrastruktur. Indonesia, sebagai negara kepulauan yang luas,
berbeda dengan Cina yang merupakan negara daratan dengan jaringan kereta cepat terpanjang dan tercepat di dunia, yang memungkinkan mobilitas pelajar antar kota dengan sangat efisien.
Budi menekankan adanya kendala birokrasi yang sangat rumit dalam proses penggabungan perguruan tinggi di Indonesia. Ia menyatakan bahwa proses merger dapat memakan waktu antara dua hingga tiga tahun, sedangkan untuk mendirikan perguruan tinggi baru bisa memerlukan waktu empat hingga lima tahun.
Hal ini sangat berbeda dengan upaya pemerintah yang ingin mempercepat proses perizinan menjadi hanya dua hingga tiga minggu. Menurutnya, birokrasi yang berbelit-belit menjadi penghalang utama dan mencerminkan mentalitas yang tidak mendukung perkembangan perguruan tinggi swasta.
Prof. Budi mengkritik kebijakan yang tidak peka terhadap kebutuhan masyarakat, terutama terkait dengan program Diploma 3 (D3). Ia menyatakan bahwa minat masyarakat terhadap program D3 mengalami penurunan signifikan karena masyarakat lebih memilih gelar Sarjana (S1).
Oleh karena itu, ia merekomendasikan agar program D3 diubah menjadi D4 dengan persyaratan yang lebih sederhana agar lebih menarik dan sesuai dengan permintaan pasar kerja.
Ada masalah mendasar dalam pengelolaan perguruan tinggi swasta, yaitu kurangnya pengalaman dan pemahaman dari para pengambil keputusan di tingkat kementerian dan lembaga terkait.
Ia menekankan bahwa sekitar 90 persen pejabat di LLDikti yang mengawasi perguruan tinggi swasta tidak memiliki pengalaman langsung dalam mengelola PTS.
“Hal ini mengakibatkan kebijakan yang dihasilkan kurang tepat sasaran dan tidak mampu mengatasi tantangan yang dihadapi oleh perguruan tinggi swasta secara efektif.” katanya.
Perspektif PTN
Ia kemudian menegaskan bahwa sebagian besar pengambil keputusan di institusi pendidikan tinggi berasal dari latar belakang perguruan tinggi negeri (PTN), sehingga perspektif dan kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak mencerminkan kebutuhan serta karakter perguruan tinggi swasta.
Dalam sebuah contoh, Prof. Budi menjelaskan bahwa jika di sebuah lembaga pengelola pendidikan tinggi terdapat 100 orang, hampir semuanya berasal dari perguruan tinggi negeri, dan hanya satu orang dari perguruan tinggi swasta, maka akan sulit bagi suara dan kebutuhan PTS untuk didengar dan diperhatikan.
Mengenai kualitas pendidikan, Budi menekankan pentingnya otonomi yang kuat bagi perguruan tinggi serta penerapan pendidikan yang berbasis hasil (Outcome Based Education/OBE).
Ia mengkritik pendekatan pendidikan yang selama ini terlalu teoritis dan akademis, tanpa cukup mengaitkan dengan praktik nyata di dunia industri. Dosen sebaiknya tidak hanya menguasai teori saja tidak cukup; penting juga untuk memiliki pengalaman praktis dalam bidang yang diajarkan.
Misalnya, seorang dosen marketing seharusnya memiliki pengalaman langsung di dunia pemasaran, sementara dosen kewirausahaan perlu memiliki latar belakang dalam bisnis.
Pendekatan ini bertujuan agar lulusan perguruan tinggi benar-benar siap dan memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan pasar kerja. Ia juga memberikan contoh mengenai model perguruan tinggi yang didirikannya bersama Texmaco yang berlokasi di tengah-tengah industri sehingga mahasiswa dapat
langsung melakukan praktik kerja.
Jumlah Mahasiswa PTS Turun
Mengenai penurunan jumlah mahasiswa baru di PTS selama sepuluh tahun terakhir, Prof. Budi mengungkapkan bahwa faktor utama penyebabnya adalah kondisi ekonomi nasional yang stagnan dan cenderung menurun.
Ia menjelaskan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir berada di kisaran 5-6 persen, bahkan menurun, sehingga daya beli masyarakat terhadap pendidikan tinggi yang merupakan kebutuhan sekunder menjadi terbatas.
Dalam situasi ekonomi yang sulit, keluarga dengan beberapa anak cenderung mengutamakan pendidikan dasar dan menunda pendidikan tinggi anaknya. Hal
ini berdampak langsung pada penurunan jumlah mahasiswa baru di perguruan tinggi swasta.
Walaupun angka Angka Partisipasi Kasar (APK) pendidikan tinggi di Indonesia yang masih sangat rendah, yaitu sekitar 31 persen. Artinya, dari 100 lulusan
SMA dan SMK, hanya 31 persen yang melanjutkan ke perguruan tinggi.
Angka ini jauh tertinggal dibandingkan negara-negara seperti Singapura, Korea, Jepang, dan Malaysia yang memiliki APK di atas 50 persen bahkan mendekati 90 persen.
“Rendahnya tingkat pendidikan ini menjadi tantangan besar bagi kemajuan bangsa” tuturnya.