Prof. Dr.Ing Misri Gozan, M.Tech., IPU, ASEAN.Eng. - Ketua Badan LAM Teknik

Ketua Badan LAM Teknik – Setuju Ada Peringkat Nasional Akreditasi Internasional Mahal

Share

Pria asal Cirebon ini sejatinya sangat menyukai dunia riset. Namun sekembalinya dari menempuh program S3 di Jerman, ia ditugasi untuk mengurus akreditasi di kampus. Sesuatu hal yang lumrah bagi dosen muda ditugasi untuk menyiapkan akreditasi. Dunia yang sebenarnya, tidak ia sukai. Tapi pada akhirnya ia tenggelam dalam seluk beluk akreditas yang semula dianggap menjemukan.

Pada tahun 2007, ia bergabung sebagai asesor Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) dan mulai memahami berbagai instrumen akreditasi.

Prof. Dr. Ing. Misri Gozan, M.Tech., IPU, ASEAN. Eng., kemudian dipercaya mengurus pendirian International Accreditation Board for Engineering Education (IABEE) pada tahun 2013, hingga akhirnya menjadi ketua IABEE pada tahun 2018.

Pembentukan IABEE dipicu oleh UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Nasional, yang membuka peluang kelahiran lembaga akreditasi mandiri untuk program studi.

Lembaga ini dapat dibentuk oleh asosiasi profesi atau asosiasi prodi penyelenggara pendidikan tinggi. “Persatuan Insinyur Indonesia (PII), tempat saya menjadi pengurus pusat sejak 2004, meminta kami mendirikan IABEE,” ujarnya.

UU No. 12 Tahun 2012 ini disambut baik oleh PII, karena sebelumnya hanya ada satu lembaga akreditasi, yaitu Badan Akreditasi Nasional, dengan instrumen yang sama untuk semua program studi seperti kedokteran, sosial, hukum, teknik, hingga komputer.

Setelah 2012, peluang untuk lembaga akreditasi yang lebih spesifik terbuka, sehingga PII segera membentuk IABEE untuk internasional, diikuti oleh LAM Teknik untuk nasional.

Akreditasi internasional menjadi sangat penting dalam era globalisasi, karena mobilitas insinyur semakin meningkat. Di tingkat internasional, International Engineering Alliance (IEA) memprakarsai Washington Accord untuk pendidikan keinsinyuran,

Sydney Accord untuk bidang vokasi, dan Dublin Accord untuk teknologi, yang semuanya diikuti oleh PII. “IABEE sangat disambut positif oleh PII dan menjadi keharusan untuk masuk dalam mobilitas global,” jelasnya.

Akreditasi Internasional Mahal
Prof Misri Gozan menyadari bahwa program studi teknik sangat luas. Pada awal berdirinya IABEE, ia menghitung bahwa pada periode 2013-2015 terdapat sekitar 2.500 program studi terkait teknik.

Saat itu, berdasarkan akreditasi BAN-PT, hanya sekitar 5-7% yang dapat diarahkan untuk mengikuti akreditasi internasional. Saat ini, jumlahnya telah mencapai 3.500 program studi.

Sebagian besar kampus ternama di Indonesia berafiliasi atau mengakreditasikan diri melalui Accreditation Board for Engineering and Technology (ABET) yang berbasis di Amerika Serikat. Biaya formulirnya saja minimal Rp 300 juta, dan rata-rata satu program studi bisa menghabiskan Rp 900 juta hingga Rp 1,3 miliar.

“Sehingga kita berhitung, wah ini bahaya betul, kalau kita begini terus, gimana kita mau ke internasional,” katanya.

Di satu sisi, semua perguruan tinggi dan program studi didorong untuk akreditasi internasional, tetapi di sisi lain, akreditasi internasional tidak diperhitungkan dalam kebijakan nasional.

Terlebih lagi, ketika kementerian pendidikan di masa lalu menerapkan kebijakan Indikator Kinerja Utama (IKU), banyak perguruan tinggi terdorong mengejar akreditasi internasional sebagai indikator tambahan.

Ia bersyukur kebijakan itu kini dihapus, karena sebagian besar negara seperti Amerika Serikat tidak mewajibkan akreditasi internasional, meskipun Cina dan Filipina mewajibkannya. Dunia industri tetap menghendaki adanya akreditasi internasional karena itu menjadi tren global.

Menurut Prof Misri Mizan, akreditasi internasional idealnya didorong oleh keinginan kampus untuk menjamin mutu, bukan sebagai kewajiban.

“IKU yang terkait dengan akreditasi internasional sudah dihapus. Artinya, orang tidak lagi berlomba-lomba asal dapat stempel internasional,” ujarnya.

Meski begitu, ia bersyukur bahwa beberapa kampus secara sadar tetap mencari akreditasi internasional. Data IABEE peminat membludak mencapai 130 permohonan. Padahal tahuntahun sebelumnya rata-rata per tahun 100 permohonan. Begitu juga LAM teknik mencapai 750 sampai 800 per tahun.

Saat ini dari sekitar 3.500 prodi, yang terakreditasi mencapai 2.174. Itu hasil sampai batch 2. Saat ini sedang berjalan batch 3, sekitar 70 %. Kalau batch 3 selesai (tahun keempat), diharapkan persis 80 persen. Pada tahun ke lima, diharapkan mencapai 3.500.

Tak Perlu Dilayani
Dari program studi yang sudah terakreditasi, sekitar 30 persen berstatus unggul. Mayoritas berstatus baik sekali, dan hanya sedikit yang berstatus baik. Namun, ada juga yang masih TMSP atau tidak memenuhi standar peringkat dan belum terakreditasi.

Soal biaya akreditasi, dia mengungkapkan bahwa pemerintah yang menentukan. Misalnya, akreditasi di LAM Teknik dipatok sekitar Rp 53 juta, menjadi yang kedua termurah.

Ada lembaga lain yang biayanya mencapai Rp 80 juta hingga Rp 90 juta. Di LAM Teknik, biaya tersebut sudah mencakup akomodasi dan transportasi asesor.

“Kami melarang program studi untuk menghibur asesor. Bagi beberapa program studi atau kampus tertentu, itu sangat memberatkan,” katanya.

Dia menambahkan bahwa LAM Teknik sangat ketat menerapkan aturan ini. Asesor tidak diperbolehkan menerima jamuan makan malam atau kotak makan malam.

Pada prinsipnya, asesor dilarang menerima gratifikasi uang. Bahkan, penjemputan dari stasiun, terminal, atau bandara ke hotel juga tidak diperkenankan karena lembaga sudah menyediakan dana yang cukup bagi asesor atau evaluator.

Sebenarnya, biaya akreditasi tidak mahal. Dia menghitung, misalnya biaya akreditasi Rp 60 juta berlaku untuk lima tahun, jadi satu tahun hanya Rp 12 juta.

Dengan jumlah mahasiswa, misalnya satu angkatan terdiri dari 20 mahasiswa, empat angkatan total 80 mahasiswa. Maka, Rp 12 juta dibagi 80 mahasiswa, hasilnya Rp 180.000 per tahun atau Rp 90.000 per semester.

Bentuk Kompromi
Permen No 39 tahun 2025, menurutnya, merupakan hasil kompromi berbagai pihak. Artinya, fungsi penjaminan mutu tetap ada, dan LAM tidak terlibat langsung dalam hal itu.

Pihaknya hanya diminta sebagai anggota tim review dan pelaksana aturan tersebut. Namun, dia merasa bahwa menyesuaikan diri dengan aturan baru ini cukup memberatkan, tidak hanya bagi prodi dan kampus, tetapi juga bagi LAM.

Hal ini karena status “baik” atau “baik sekali” dihapus, hanya menyisakan kategori “terakreditasi”, “tidak terakreditasi”, dan “unggul”.

Untuk mengantisipasi, syarat “unggul” bisa diubah. Kampus atau prodi yang sebelumnya masuk kategori “baik sekali” mendekati “unggul” atau “baik sekali” tetapi jauh dari “unggul” dapat diberikan status “unggul”,

meskipun hanya untuk tiga tahun, bukan lima tahun penuh. Ini memberikan kesempatan bagi prodi atau kampus untuk memperbaiki diri.

Dia juga mengakui bahwa banyak perguruan tinggi setelah meraih status unggul mulai mengejar akreditasi internasional. Permen 39 menyatakan bahwa akreditasi adalah bentuk penjaminan terlaksananya standar nasional pendidikan tinggi.

Namun, memperoleh akreditasi internasional tidak secara otomatis menjadikan suatu institusi unggul. Akreditasi internasional seperti IABEE, misalnya, tidak terlalu memperhatikan aspek penelitian, pengabdian masyarakat, dan tridarma.

Selain itu, akreditasi internasional umumnya tidak fokus pada pengembangan karir dosen, hanya memastikan kecukupan atau kelayakan, seperti yang dilakukan Washington Accord, IABEE, dan lainnya.

Oleh karena itu, untuk menjawab hal ini, LAM Teknik dan IABEE sepakat tidak melarang kampus atau prodi mengambil akreditasi internasional lain, meskipun biayanya lebih mahal.

LAM Teknik menawarkan instrumen yang lebih sederhana, hanya mencakup aspek yang belum dijangkau oleh akreditasi internasional, dan biayanya lebih terjangkau. Tujuan prodi-prodi yang mengejar akreditasi internasional, mereka tetaplah ingin unggul.

Peringkat Nasional
Prof. Misri mengamati fenomena pemerintah yang mendorong perguruan tinggi, terutama yang berstatus PTN-BH, untuk masuk peringkat internasional 400-500. Namun, di dalam negeri tidak ada peringkat nasional yang dikeluarkan.

Meskipun merasa agak dilematis, ia menganalogikan dengan bermain bola, di mana yang penting adalah olahraganya, bukan menjadi juara dunia.

Baginya, bermain tarkam, liga nasional, atau menjadi pemain piala dunia atau Asia sama-sama tidak masalah. Hal ini karena pemerintah memiliki keterbatasan finansial.

Ia mengakui memang tidak ada pemeringkatan nasional untuk perguruan tinggi. Meski begitu, pemerintah mendorong beberapa kompetisi seperti pemeringkatan jurnal Sinta, dosen, hingga 500 peneliti nasional terbaik.

Prof. Misri mendukung dan senang jika ada lembaga independen yang berinisiatif memberikan peringkat perguruan tinggi secara nasional. Namun, ia menyadari bahwa meskipun banyak faktor dan instrumen telah dimasukkan, tetap akan ada kelemahan.

Oleh karena itu, beberapa hal penting perlu dimasukkan dalam penilaian, seperti faktor kekhasan, keterlibatan dalam pembangunan, keberlanjutan, dan kekhasan berbasis daerah.

Menurutnya, akan sangat aneh jika kampus dibangun dan diperbaiki tetapi tidak mampu menjawab tantangan di daerah masing-masing.

Ada pendapat bahwa kampus dianggap bagus karena banyak lulusannya menjadi menteri. Namun, baginya banyak hal harus dipertimbangkan. “Saya lebih cenderung pada dampak terhadap perubahan masyarakat, itu yang menjadi ukuran,” sarannya.

Kebutuhan Masyarakat
Masyarakat memang memerlukan akreditasi perguruan tinggi sebagai acuan untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Perusahaan juga menjadikannya kriteria awal dalam menyeleksi calon pekerja. Prof. Misri menegaskan bahwa akreditasi tidak boleh dilakukan sembarangan.

Akreditasi harus dapat dipertanggungjawabkan, transparan, dan diawasi oleh berbagai pihak. LAM Teknik memiliki badan audit internal sebagai bagian dari sistem penjaminan mutu internal.

Akreditasi ini adalah bentuk transparansi publik sesuai UU No. 12 Tahun 2012 tentang akreditasi, yang merupakan penilaian kelayakan program studi dan perguruan tinggi berdasarkan Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

Pasal 55 dengan jelas mengatur transparansi publik, dan LAM Teknik berpedoman pada aturan tersebut, sehingga prosesnya harus transparan.

Sebelum melakukan akreditasi, LAM Teknik juga diaudit mutu dengan ISO, diaudit oleh PII sebagai induk, serta secara internasional.

Prof. Misri Gozan menyebutkan bahwa setiap tahun mereka diawasi, dan selama tiga tahun berturut-turut LAM Teknik mendapatkan penilaian wajar tanpa pengecualian

. “Keberadaan kami memang diawasi oleh banyak pihak,” katanya.

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait