Dies Natalis ke-75 dan Lustrum ke-15 UGM
Dies Natalis ke-75 dan Lustrum ke-15 UGM

Hindari Jebakan Komersialisasi, UGM Berusaha “Kiyak-Kiyuk”

Share

Sebagai salah satu kampus besar di Indonesia yang menyandang status sebagai perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTN BH), Universitas Gadjah Mada (UGM) tetap merasa perlu dukungan pemerintah. Dukungan tersebut menjadi wujud keberpihakan pemerintah dalam menjadikan kampus sebagai sumber inovasi, selain sebagai upaya menghindari tinggi risiko jebakan komersialisasi dari status tersebut.

Menapaki usia ke-75, UGM menerapkan sejumlah strategi sebagai kampus PTN BH dengan melakukan sejumlah langkah, terutama dalam meningkatkan pendapatan universitas sembari tetap menjaga kualitas pendidikan.

“Selama ini kami sudah melakukan kiyak-kiyuk (bersiasat). Kita bekerja sama dengan banyak pihak, mulai dari industri sampai pihak asing, serta terus menciptakan berbagai inovasi,” ujar Rektor UGM Ova Emilia khusus kepada Kampus Indonesia usai memberikan pidato di peringatan Dies Natalis ke-75 dan Lustrum ke-15 UGM, di gedung Graha Sabha Pramana UGM, Sleman, DIY, Kamis (19/12/2024).

PTNBH merupakan kampus dengan badan hukum publik yang otonom. Sebelum menyandang status ini, pemerintah menetapkan sejumlah universitas sebagai PTN berstatus Badan Hukum Milik Negara (BHMN), yakni IPB, ITB, UGM, dan UI. Pada 2012, nama BHMN berubah menjadi PTN BH yang memiliki kewenangan untuk secara mandiri mengembangkan sumber daya. Sejak itu, selama 12 tahun ini, terdapat 24 PTNBH di Indonesia.

“Harapan ke PTNBH tinggi, perlu dukungan, tapi kadang dukungan itu belum optimal. Itu yang membuat kami struggling (berjuang) betul-betul untuk mencapai harapan itu, tetapi dengan modal yang tidak optimal,” kata Ova.

Genjot Penerimaan

Dengan kondisi seperti sekarang ini, Ova menyatakan UGM terus mencari dan membuka kesempatan demi menggenjot penerimaan.

“Kita create peluang-peluang untuk mendatangkan revenue bagi universitas supaya mandiri,” ujar mantan Dekan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM ini.

Salah satu cara itu adalah menggandeng berbagai mitra dari dalam dan luar negeri di berbagai sektor, dari BUMN hingga korporat swasta.

Kendati demikian, ia berharap pemerintah tetap perlu mendukung keberadaan kampus-kampus PTNBH, terutama universitas yang mampu berkompetisi di dunia.

“Kami harap ada subsidi dari pemerintah. Bagaimanapun Indonesia harus diwakili di tingkat global. Kalau tidak didesain dan distrategikan oleh pemerintah, siapa yang mau? Karena ini butuh dana yang luar biasa,” ujarnya.

Kiprah Internasional

Kiprah di skala internasional itu contohnya melalui kerja sama dengan kampus-kampus mancanegara di program Kuliah Kerja Nyata – Pengabdian Masyarakat (KKN-PPM) Internasional. Seperti disampaikan Ova saat pidato tahunan Rektor UGM di peringatan Dies Natalis kali ini, terdapat 111 mahasiswa asing dari 9 negara dengan total 21 universitas mitra yang mengikuti KKN.

Selain itu, Ova juga menuntut adanya keberpihakan dari pemerintah terhadap kampus-kampus unggulan, kendati telah berstatus PTNBH. Keberpihakan itu dapat berupa perluasan jejaring ke berbagai pihak yang dapat bersinergi dengan perguruan tinggi.

“Universitas harus di-create menjadi pusat riset dan development, sehingga network dengan industri betul-betul dikawal oleh pemerintah. Jangan dibiarkan kami sendiri mencari dan mengais-ais peluang,” katanya.

Sebagai contoh, UGM mengembangkan inovasi yang bisa dikolaborasikan dengan dunia industri medis melalui pengembangan alat kesehatan digital Microscope untuk mendeteksi penggunaan gula asli dan mengubah perilaku konsumsi gula di masyarakat. Pemerintah, menurut Ova, harus tetap menjadi pemandu arah bagi kampus-kampus dalam mewujudkan misi pendidikan perguruan tinggi.

“Inovasi kami ini mau ke mana supaya tak jadi sekadar paper. Itu butuh dukungan. Core bisnis kami bukan mencari dana) Jadi tetap butuh uluran tangan dari pemerintah supaya bisa berlari lebih kencang,””paparnya.

Dana Pemerintah

Wakil Rektor UGM Arie Sujito juga senada. Menurutnya, status PTN BH ini memang terus berproses. Di satu sisi, status ini membuat kampus memiliki keleluasaan untuk mengembangkan sumber daya. Namun di sisi lain ada konsekuensi dari pengurangan alokasi dana pemerintah terhadap kampus.

“Ini membuat pendidikan perguruan tinggi memiliki tantangan dalam komitmennya untuk mencapai pendidikan berkualitas dan upaya mencerdaskan bangsa. Nilai-nilai yang diadaptasi untuk survive ini tidak mudah,” tuturnya.

Dosen sosiologi ini menyatakan status PTN BH ini membuat “Kampus Kerakyatan” ini menghadapi risiko untuk menjadi entitas semata dan mengabaikan misi pendidikan. “Jebakan komersialisasinya cukup tinggi,” kata mantan aktivis dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM ini.

Untuk itu, Arie berharap pemerintah tetap harus bertanggung jawab terhadap kampus-kampus PTN BH dengan tetap menjaga porsi anggaran. “Negara harus bertanggung jawab, jangan mengurangi alokasi. Sebab alokasi 20% untuk pendidikan itu mayoritas justru diberikan pada sekolah kedinasan,” ujarnya.

Ia menekankan UGM tetap berpegang pada semangat kampus kerakyatan dan menghindari jebakan dari status PTN BH. Universitas tak menjadikan uang kuliah tunggal (UKT) sebagai sumber pemasukan utama. Apalagi kebijakan ini sempat menuai protes dari mahasiswa beberapa waktu lalu.

“Strategi UGM mengembangkan mitra-mitra untuk pembiayaan. UKT juga tidak menjadi tumpuan. Kemitraan dan unit-unit ekonomi ini yang menopang. Selain itu yang tidak kalah penting, kami juga memerlukan kontrol dari publik agar kami tidak terjebak pada komersialisasi,” tuturnya. /AKH

Artikel Terkait