Prof. Dr. Khairul Munadi, S.T., M.Eng. - Dirjen Pendidikan Tinggi Kemdiktisaintek

Dirjen Pendidikan Tinggi Kemdiktisaintek – Melahirkan Gagasan Kampus Berdampak

Share

Lahir dan besar di Aceh, Prof. Dr. Khairul Munadi, S.T., M.Eng tumbuh dalam lingkungan yang sarat nilai religius, kultural, dan historis. Ketika menempuh pendidikan tinggi, membawanya jauh menyeberangi laut ke Surabaya untuk masuk ke Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).

Pengalaman di ITS memberikan warna yang unik. Surabaya, sebagai kota pelabuhan dan pusat perdagangan di Jawa Timur, mempertemukan Khairul dengan berbagai latar belakang mahasiswa dari seluruh Nusantara.

Di ruang kuliah dan laboratorium, ia menyatu dengan budaya kerja keras khas kampus teknologi. Lingkungan ini mengasah pola pikirnya: analitis, sistematis, dan berorientasi pada solusi.

Setelah menyelesaikan studi sarjananya di ITS, Khairul Munadi melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi di luar negeri. Ia memperoleh kesempatan untuk menempuh pendidikan magister di Tokyo Metropolitan University (TMU), Jepang.

Di TMU, Khairul fokus pada bidang signal and image processing, cabang ilmu yang membutuhkan ketekunan, logika matematis, dan kreativitas dalam menerjemahkan teori ke aplikasi nyata.

Di sana, ia semakin memahami bahwa ilmu pengetahuan tidak mengenal batas negara—kolaborasi lintas budaya justru memperkaya inovasi.

Usai meraih gelar doktor di Jepang pada 2007, ia kembali mengabdi di kampus asalnya, Universitas Syiah Kuala (USK). Di USK, ia membentuk kelompok riset yang fokus pada pengolahan sinyal dan citra, menyelaraskan tradisi akademik Jepang dengan kebutuhan lokal Nusantara.

Spesialisasi Riset
Sejak awal menapaki jalur akademik, Khairul Munadi telah menunjukkan minat yang konsisten dalam penelitiannya. Ia fokus pada bidang spesifik seperti signal processing, image processing, dan multimedia processing.

Signal processing menjadi fondasi penting dalam teknologi komunikasi modern, mulai dari telekomunikasi, perangkat pintar, radar, hingga sistem medis berbasis sinyal, yang semuanya membutuhkan keahlian pengolahan sinyal untuk memastikan data dapat dikirim, diterima, dan diinterpretasikan dengan akurat.

Dalam bidang image processing, Khairul berfokus pada pengolahan citra digital untuk menghasilkan informasi yang bermakna. Di era banjir visual saat ini, teknologi pengolahan citra memiliki peran vital, seperti deteksi penyakit melalui citra medis, analisis satelit untuk mitigasi bencana, hingga sistem pengenalan wajah.

Konsistensinya terlihat dari produktivitasnya sebagai akademisi. Ia telah menerbitkan ratusan artikel di jurnal internasional bereputasi dan prosiding konferensi. Hasil risetnya diakui oleh komunitas akademik, baik nasional maupun internasional.

Kolaborasinya dengan peneliti lintas kampus dan negara menunjukkan bahwa spesialisasi mendalam dapat membuka akses ke jaringan global.

Ketekunan dan visi Khairul membentuk karakternya sebagai akademisi yang disiplin dan berdedikasi. Ia tidak hanya mengejar capaian sesaat, tetapi secara konsisten menanam, merawat, dan menuai hasil risetnya.

Inilah yang membuatnya dihormati, bukan hanya karena gelar profesornya, tetapi juga karena rekam jejak panjangnya dalam satu bidang.

Konflik & Tsunami
Ketika Aceh dilanda konflik berkepanjangan dan kemudian diterjang tsunami dahsyat pada 26 Desember 2004, provinsi ini menghadapi pukulan yang sangat berat. Khairul Munadi adalah saksi hidup dari peristiwa tersebut.

Ia berada di Banda Aceh saat gelombang besar itu datang dan melihat langsung bagaimana kota kelahirannya hancur. Namun, alih-alih meninggalkan daerah yang porak-poranda, Khairul memilih untuk tetap bertahan.

Di USK, peran Khairul melampaui tugas seorang dosen biasa. Ia memandang kampus bukan hanya sebagai ruang kuliah dan laboratorium, tetapi juga sebagai pusat kebangkitan Aceh pascabencana.

Dengan latar belakang akademiknya yang kuat di dalam dan luar negeri, ia menjadi bagian dari generasi baru yang membantu masyarakat Aceh bangkit kembali.

Ia aktif merancang riset dan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan daerah, serta menjalin hubungan antara USK dengan jejaring akademik nasional dan internasional.

Setelah tsunami, Aceh mendapat perhatian dunia. Banyak universitas asing, lembaga donor, dan NGO hadir dengan berbagai program. Khairul memainkan peran penting sebagai penghubung;

dengan pendidikan di ITS dan pengalaman riset internasional, ia mampu berdialog dengan mitra global sambil memahami konteks lokal Aceh. Dalam bidang riset, Khairul fokus pada isu-isu relevan dengan kondisi Aceh.

Ia mendalami pengembangan teknologi informasi untuk sistem peringatan dini bencana, pengolahan citra satelit untuk mitigasi tsunami, hingga multimedia untuk edukasi masyarakat.

Pendekatannya memastikan bahwa riset tidak hanya berhenti di menara gading, tetapi juga hadir nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kiprah Khairul di Aceh turut menyentuh ranah budaya.

Ia menjadi simbol generasi baru Aceh yang mampu bersanding dengan akademisi nasional maupun internasional tanpa kehilangan identitas lokal.

Konsistensinya untuk tetap bertahan dan berkontribusi di tanah kelahiran, saat banyak orang Aceh memilih merantau, memberikan inspirasi tersendiri bagi mahasiswa dan dosen muda.

Kampus Berdampak
Tidak semua profesor bersedia meninggalkan zona nyaman laboratorium untuk memasuki ruang kebijakan. Peralihan dari akademisi ke birokrat bukan hanya tentang jabatan,

tetapi juga perubahan peran yang mendasar: dari meneliti topik spesifik menjadi menyusun kebijakan yang berdampak pada jutaan mahasiswa dan ribuan perguruan tinggi.

Prof. Khairul Munadi adalah salah satu yang berhasil melintasi jembatan itu. Dari seorang peneliti di bidang sinyal dan citra yang terbiasa bekerja dengan data, kini ia memimpin Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) dengan mandat besar untuk menentukan arah pendidikan tinggi Indonesia.

Sebagai akademisi, Khairul memahami bahwa kampus bukan sekadar pabrik pencetak sarjana. Baginya, universitas harus menjadi pusat pengembangan talenta, tempat lahirnya ide-ide besar dan solusi nyata bagi masyarakat.

Dalam berbagai forum, ia konsisten menyampaikan bahwa perguruan tinggi perlu menjadi ekosistem yang mampu mengasah kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif.

Lulusan yang dihasilkan tidak hanya mencari pekerjaan, tetapi juga mampu menciptakan pekerjaan, membangun jejaring, dan memimpin perubahan.

Salah satu gagasan yang ia bawa ke meja birokrasi adalah pentingnya kepemimpinan berkelanjutan di perguruan tinggi. Menurutnya, perguruan tinggi tidak cukup hanya menghasilkan lulusan, tetapi juga pemimpin yang mampu menjaga kesinambungan transformasi sosial.

Dengan kepemimpinan berkelanjutan, kampus dapat menjadi motor pergerakan masyarakat, membimbing mahasiswa tidak hanya dalam aspek akademik, tetapi juga dalam etika, solidaritas, dan kesadaran kebangsaan.

Sebagai Dirjen Dikti, ia merumuskan visi “Perguruan Tinggi Berdampak.” Tridarma perguruan tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat—tidak boleh berhenti pada laporan administratif, tetapi harus memberikan nilai nyata.

Kurikulum harus relevan dengan kehidupan mahasiswa, penelitian kampus harus bermanfaat bagi masyarakat, industri harus mendapatkan mitra inovasi yang solutif, dan negara harus memiliki sumber daya manusia yang siap bersaing secara global.

Visi tersebut diwujudkan melalui beberapa fokus kebijakan utama. Pertama, menyediakan akses pendidikan berkualitas agar mahasiswa dari semua kalangan memiliki kesempatan yang sama.

Kedua, mengembangkan talenta melalui program beasiswa, pertukaran mahasiswa, dan percepatan riset unggulan.

Ketiga, mendorong hasil riset untuk tidak hanya berhenti di jurnal, tetapi juga dikembangkan menjadi produk, teknologi, atau kebijakan yang bermanfaat.

Dengan begitu, kampus tak lagi dianggap sebagai menara gading, melainkan pusat inovasi yang dekat dengan masyarakat.

Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi antara akademisi, industri, dan pemerintah sebagai kunci agar pendidikan tinggi tetap relevan dengan kebutuhan zaman.

Menurutnya, perguruan tinggi harus menjadi penghubung yang menghasilkan riset yang bisa diadaptasi oleh industri, mendukung kebijakan pemerintah dengan data dan analisis yang kuat,

serta membekali mahasiswa dengan keterampilan yang sesuai dunia kerja. Sinergi ini diyakini mampu mempercepat inovasi dan meningkatkan daya saing nasional.

Program Penguatan PTS Target Pendidikan Bermutu

Dalam kapasitasnya sebagai Dirjen Dikti, Prof. Khairul Munadi tidak hanya berhenti pada visi besar, tetapi juga menurunkannya dalam kebijakan konkret. Salah satunya adalah Program Penguatan Perguruan Tinggi Swasta (PPTS), khususnya untuk wilayah 3T (tertinggal, terdepan, terluar). Ia menyadari bahwa kualitas pendidikan tinggi Indonesia tidak akan pernah merata tanpa memperhatikan PTS di daerah pelosok.

Pada tahun 2025, Ditjen Dikti menargetkan 335 PTS menjadi penerima manfaat PPTS, lengkap dengan alokasi anggaran berupa bantuan dan hibah bagi yang memenuhi syarat.

Langkah ini menunjukkan keseriusan untuk memastikan pendidikan bermutu dapat menjangkau seluruh pelosok negeri. Khairul juga terus mendorong hilirisasi dan komersialisasi riset,

menekankan bahwa penelitian perguruan tinggi tidak boleh berhenti di meja jurnal internasional, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk produk, teknologi, atau kebijakan yang memberikan nilai tambah.

Contoh nyata telah ia lakukan di Universitas Syiah Kuala, di mana ia aktif menghubungkan hasil penelitian dengan kebutuhan industri dan masyarakat.

Kebijakan lain yang menonjol adalah otonomi kampus. Khairul percaya perguruan tinggi perlu diberi keleluasaan dalam pengelolaan sumber daya, tata kelola, dan kebebasan akademik.

Namun, ia menegaskan otonomi bukan berarti kebebasan tanpa batas; perguruan tinggi tetap harus mematuhi prinsip akuntabilitas, transparansi, dan kualitas.

Dalam berbagai forum ilmiah, Khairul sering menekankan pentingnya perguruan tinggi berperan aktif dalam mewujudkan Asta Cita menuju Indonesia Emas 2045.

Ia menyoroti perlunya penguatan akses, mutu, relevansi, serta dampak pendidikan tinggi terhadap pembangunan berkelanjutan. Dalam orasinya di Universitas Negeri Padang, ia mengingatkan bahwa perguruan tinggi harus mampu mencetak SDM unggul dan riset yang memberikan manfaat langsung bagi masyarakat.

Keterikatan Dengan ITS
Meskipun Prof. Khairul Munadi sebagian besar berkarier di Universitas Syiah Kuala (USK), ia tetap memiliki keterikatan kuat dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).

Baginya, ITS bukan hanya kampus tempat ia menimba ilmu, melainkan juga “rumah intelektual” yang membentuk jalan hidupnya. Keterikatan batin itu membuatnya selalu merasa memiliki kewajiban moral untuk kembali,

berbagi pengalaman, serta ikut merawat ekosistem akademik ITS agar tetap menjadi salah satu pilar utama pendidikan tinggi teknologi di Indonesia.

Dalam berbagai kesempatan, baik melalui seminar, webinar, maupun forum resmi, ia sering diundang ITS untuk memberikan pandangan strategis tentang pendidikan tinggi.

Kehadirannya bukan hanya sebagai alumni, tetapi sebagai tokoh yang mampu memberikan perspektif luar, khususnya tentang bagaimana kampus teknologi seperti ITS harus beradaptasi dengan perubahan zaman.

Ia kerap menekankan bahwa ITS tidak boleh puas hanya menjadi “pabrik insinyur”, melainkan juga harus melahirkan pemimpin dengan visi kebangsaan, kecakapan global, dan kepedulian sosial.

Prof. Khairul juga memanfaatkan posisinya di Ditjen Dikti untuk memperkuat jejaring ITS dengan berbagai lembaga, baik nasional maupun internasional.

Contohnya, ia mendorong program riset kolaboratif ITS agar lebih terhubung dengan kebutuhan industri dan mendukung keterlibatan ITS dalam konsorsium penelitian terkait isu energi terbarukan dan teknologi digital.

Ini membuktikan bahwa loyalitasnya sebagai alumni bukan sekadar retorika, tetapi diwujudkan dalam advokasi kebijakan nyata. Sebagai tokoh akademik dari Aceh, Prof. Khairul juga menjadi jembatan bagi ITS untuk memperluas pengaruhnya di luar Jawa.

Ia mengajak ITS membuka kolaborasi dengan perguruan tinggi di wilayah barat Indonesia, terutama Sumatra dan Aceh. Menurutnya, kehadiran ITS tidak boleh terbatas di kampus induknya di Surabaya,

tetapi harus menjadi motor penggerak teknologi dan inovasi di daerah-daerah yang berkembang. Sikap ini sesuai dengan visinya tentang pemerataan akses pendidikan tinggi berkualitas di Indonesia.

Di tingkat internal kampus, kehadiran Prof. Khairul di berbagai forum ITS sering dianggap sebagai “cermin inspirasi” bagi mahasiswa. Ia kerap berbagi kisah perjalanan kariernya.,

Dari seorang mahasiswa teknologi di ITS hingga menjadi guru besar di USK dan pejabat strategis di Ditjen Dikti, kisah ini menjadi inspirasi bagi generasi muda ITS bahwa alumni kampus teknologi juga bisa berkontribusi luas di dunia akademik, birokrasi pendidikan, dan pembangunan daerah.

Ia mengingatkan mahasiswa untuk tidak hanya mengejar gelar, tetapi juga membangun karakter kepemimpinan dan tanggung jawab sosial.

Hubungan Prof. Khairul dengan ITS adalah hubungan timbal balik yang saling menguatkan. ITS memberinya fondasi intelektual dan jaringan akademik yang luas, sementara ia memberi kembali melalui gagasan, dukungan kebijakan, dan inspirasi.

Bagi Prof. Khairul, almamater bukan sekadar kenangan masa lalu, tetapi ruang yang terus ia rawat sebagai bagian dari kontribusi panjangnya terhadap pendidikan tinggi Indonesia.

Salah satu momen penting keterlibatan Prof. Khairul Munadi dengan almamaternya, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), terjadi setelah ia dilantik sebagai Dirjen Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi.

Pada awal Januari 2025, ia hadir sebagai keynote speaker di Sekolah Kepemimpinan ITS 2025, forum internal untuk mengasah visi dan kapasitas kepemimpinan para pimpinan kampus.

Acara di Auditorium Gedung Research Center ITS pada 7-8 Januari itu menjadi panggung pertama bagi Prof. Khairul setelah menduduki jabatan baru, sekaligus menunjukkan hubungan eratnya dengan almamater.

Dalam forum tersebut, ia memaparkan delapan program prioritas pemerintah di bidang pendidikan tinggi. Isu yang dibahas tidak hanya soal administrasi atau regulasi, tetapi juga kebutuhan nyata perguruan tinggi dalam menghadapi era kompetisi global.

Ia menekankan pengembangan teknologi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan penguatan akses pendidikan bermutu yang semuanya diarahkan
pada visi besar Indonesia Emas 2045.

Jejak dan kiprah Prof. Khairul tidak terlepas dari perhatian ITS. Dalam artikel berjudul Jejak Emas Alumni FT-EIC ITS, ia disebut sebagai salah satu lulusan Teknik Elektro angkatan E-30 yang berhasil membangun karier hingga menjadi pemimpin kebijakan pendidikan tinggi nasional.

ITS bangga tidak hanya pada alumninya yang sukses di industri atau akademik, tetapi juga pada mereka yang mampu memberi pengaruh pada kebijakan negara.

Dengan menjadikan Khairul sebagai figur teladan, ITS menunjukkan bahwa kampus teknologi dapat melahirkan pemimpin strategis di berbagai bidang.

Keterlibatan Prof. Khairul di ITS tidak hanya sebatas penyampaian materi. Dalam forum, ia merespons visi besar ITS untuk bertransformasi menjadi Entrepreneurial University.

Ia mengapresiasi nilai-nilai ITS Emas — ekselen, mendunia, amanah, dan sumbangsih — serta menekankan pentingnya kompetensi kepemimpinan pejabat kampus dalam meningkatkan mutu pendidikan.

Dengan gaya komunikasi yang lugas, ia mengingatkan bahwa kepemimpinan bukan hanya posisi struktural, melainkan tanggung jawab untuk mengarahkan pengembangan SDM bangsa.

Hubungan Prof. Khairul dengan ITS juga terlihat dari bagaimana ia membawa perspektif kebijakan ke ruang akademik ITS. Dalam berbagai kesempatan, ia mengajak ITS untuk tidak hanya menjadi institusi pendidikan formal,

tetapi juga agen inovasi, pusat kepemimpinan pemikiran, dan laboratorium sosial yang dapat memberikan solusi bagi tantangan bangsa.

Ia menegaskan bahwa perguruan tinggi seperti ITS harus memberi dampak nyata bagi masyarakat dan industri, selain mencapai prestasi akademik.

Artikel Terkait