Perubahan regulasi dan tenggat waktu yang semakin dekat membuat isu akreditasi unggul menjadi sorotan. Masih akan ada berapa perguruan tinggi yang bisa mendapatkan akreditasi unggul sebelum batas akhir 31 Desember 2025.
“Karena kita telah menjalani transformasi, terutama dengan terbitnya Permendikbud Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, maka proses dan kriteria akreditasi ikut berubah drastis,” jelas Prof. Ari.
Ia menyebut bahwa sistem lama dengan sembilan kriteria kini sedang ditinggalkan, termasuk penggunaan instrumen Instrumen Akreditasi Perguruan Tinggi (IAPT) 3.0 untuk institusi dan Instrumen Akreditasi Ptogram Studi (IAPS ) 4.0 untuk program studi.
Dalam masa transisi selama dua tahun ini, perguruan tinggi masih diberi kesempatan untuk mengajukan reakreditasi, baik untuk naik peringkat dari “baik” ke “baik sekali”, maupun dari “baik sekali” ke “unggul”. Namun, semua pengajuan itu dibatasi hingga 31 Desember 2024.
“Yang masuk di akhir akhir ini jumlahnya ribuan,” ungkap Prof. Ari sambil menyebut bahwa sistem akreditasi daring BAN-PT (SAPTO – Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi Online) masih mencatat sekitar 905 ajuan yang belum diproses. Dari jumlah tersebut, sekitar 200 sudah selesai dan telah terbit sertifikatnya. Sisanya menunggu.
Keterbatasan Anggaran
Tantangan lain yang tak kalah pelik dalam proses akreditasi adalah soal anggaran. Sejak adanya kebijakan efisiensi, BAN-PT hanya menerima 50 persen dari anggaran sebelumnya. Dalam kondisi normal saja, proses akreditasi kerap menyisakan ratusan berkas yang belum sempat diproses. Kini, dengan setengah anggaran, tantangan itu makin besar.
“Saya enggak yakin bisa selesai semua sampai Desember. Mungkin akan tersisa 500-an lagi,” kata Prof. Ari.
Jumlah perguruan tinggi yang memperoleh akreditasi unggul terus mengalami peningkatan signifikan. Berdasarkan data terbaru dari sistem BAN PT, sampai 20 Mei 2025, sudah terdapat 171 perguruan tinggi yang berstatus unggul, naik dari 161 pada bulan sebelumnya.
Terkait target penyelesaian akreditasi hingga akhir tahun, Prof. Ari memperkirakan jumlah perguruan tinggi yang bisa diproses akan bergantung pada ketersediaan anggaran. Tahun lalu, dengan anggaran penuh sekitar 40 miliar rupiah, BAN PT mampu memproses sekitar 500 perguruan tinggi
“Dengan anggaran yang terbatas, kami mungkin hanya mampu menyelesaikan antara 250 hingga 300 saja,” jelasnya.
Ia menambahkan, saat ini baru sekitar 100 proses yang berjalan, dan berharap masih ada penambahan anggaran agar target dapat tercapai.
“Kalau ada tambahan anggaran, kita bisa menambah kapasitas proses hingga 200 atau 300 perguruan tinggi lagi,” katanya.
Jumlah perguruan tinggi yang mengajukan akreditasi tidak hanya ditujukan untuk memperoleh predikat unggul saja. Reakreditasi memberikan kesempatan bagi perguruan tinggi untuk naik peringkat, misalnya dari peringkat baik ke baik sekali, atau dari baik sekali ke unggul. Namun, tidak mungkin langsung loncat dari baik ke unggul tanpa melewati tahap baik sekali terlebih dahulu.
200 Akreditasi Unggul
Mengenai target jumlah perguruan tinggi yang akan mendapatkan akreditasi unggul sampai akhir tahun 2025, Prof. Ari memperkirakan angkanya tidak akan jauh dari 200. Jika dihitung dari total sekitar 4.417 perguruan tinggi di Indonesia, maka hanya sekitar 4 sampai 5 persen yang telah meraih predikat unggul.
“Artinya, baru sebagian kecil perguruan tinggi yang benar-benar matang dalam sistem penjaminan mutu,” ujarnya.
Mulai tahun 2026, akreditasi unggul akan diterapkan khusus untuk program studi, bukan lagi untuk perguruan tinggi secara keseluruhan. Hal ini sesuai dengan konsep akreditasi baru yang diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023.
Menurut Ari Purbayanto, akreditasi yang wajib bagi perguruan tinggi dan program studi adalah memenuhi Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti). Perguruan tinggi dan program studi yang memenuhi standar tersebut akan mendapat status terakreditasi, yang pembiayaannya ditanggung oleh pemerintah.
“Untuk program studi, ada kesempatan mendapatkan akreditasi unggul, tapi melalui Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) atau BAN PT bagi program studi yang belum memiliki LAM. Namun, pengajuan akreditasi unggul ini bersifat sukarela, bukan kewajiban,” ujarnya. Prof. Ari.
Dalam konsep akreditasi ini, perguruan tinggi tidak lagi mendapatkan predikat unggul atau baik sekali, melainkan hanya berstatus terakreditasi. Namun, Permendikbudristek ini saat ini masih dalam proses revisi.
Regulasi Berubah
Menurut Prof. Ari, banyak masukan telah diterima, terutama terkait ketidaksesuaian antara akreditasi perguruan tinggi dan program studi. Ia mencontohkan, bagaimana mungkin program studi bisa secara sukarela mendapatkan unggul, sementara perguruan tinggi tidak memiliki opsi tersebut.
“Ini berarti tidak ada insentif untuk peningkatan kualitas berkelanjutan (continuous quality improvement),” katanya.
Prof. Ari menjelaskan bahwa revisi tersebut akan memberikan peluang bagi perguruan tinggi untuk memperoleh akreditasi unggul, tetapi dengan syarat ketat.
“Misalny hanya perguruan tinggi yang sudah memenuhi kriteria tertentu, misalnya setidaknya 50% program studinya sudah unggul, yang boleh mengajukan. Ini agar tidak memboroskan anggaran negara,” tegasnya.
Ketimpangan peluang dalam perolehan akreditasi unggul bagi perguruan tinggi menjadi salah satu perhatian utama dalam diskusi seputar sistem akreditasi terbaru. Menurut Prof. Dr. Ir. Ari, secara prinsip, akreditasi bukanlah bentuk pemeringkatan.
“Akreditasi bukan tentang siapa lebih tinggi. Akreditasi itu adalah penjaminan mutu, bukan kompetisi peringkat,” ujarnya.
Namun, ia menyadari kenyataan di lapangan. Dalam kondisi masyarakat Indonesia yang sangat majemuk dan belum sepenuhnya memahami makna akreditasi, penanda mutu seperti peringkat unggul masih sangat diperlukan.
“Masalahnya, kalau masyarakat tidak diberi informasi yang jelas, mereka tidak tahu mana perguruan tinggi yang benar-benar bermutu,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa dalam situasi ideal, masyarakat memang diharapkan bisa menilai sendiri kualitas suatu perguruan tinggi melalui riset, kunjungan, atau diskusi. Namun, kenyataannya belum semua lapisan masyarakat memiliki kemampuan atau sumber daya untuk menelusuri informasi secara mandiri.
Prof. Ari juga berharap agar Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi dapat memberikan opsi agar perguruan tinggi yang belum sempat mengajukan akreditasi unggul tetap bisa memperoleh kesempatan di masa mendatang.
Pemeringkatan
Internasional
Di tengah keterbatasan opsi akreditasi unggul untuk institusi dalam kebijakan nasional saat ini, sejumlah perguruan tinggi yang telah meraih akreditasi unggul mulai mengalihkan perhatian ke level internasional. Upaya memperoleh pengakuan global melalui akreditasi atau pemeringkatan internasional pun semakin intensif dilakukan.
Prof. Ari menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada badan akreditasi internasional khusus untuk institusi perguruan tinggi secara menyeluruh. Yang ada adalah akreditasi internasional untuk program studi, bukan untuk institusi perguruan tinggi secara keseluruhan.
Sementara itu, pengakuan internasional di tingkat institusi lebih banyak datang dari lembaga-lembaga pemeringkat dunia seperti Webometrics, Times Higher Education (THE), QS World University Rankings, University 21, atau bahkan GreenMetric Ranking yang digagas Universitas Indonesia.
Kebutuhan pada pemeringkatan internasional bergantung pada visi dan kebutuhan masing-masing perguruan tinggi. Kalau merasa butuh pengakuan global, silakan saja. Itu kan tergantung dari target dan kepentingan perguruan tinggi. Ia juga mengingatkan bahwa mengikuti proses pemeringkatan global bukan tanpa konsekuensi.
“Itu semua prosesnya memerlukan biaya,” tambahnya.
Menurut Ari, pemetaan itu semestinya menjadi tanggung jawab negara melalui Kementerian Pendidikan Tinggi. Pemerintah seharusnya bisa mengelompokkan perguruan tinggi berdasarkan kinerjanya: mandiri, semi mandiri, atau masih berkembang. Dengan begitu, strategi pengembangan bisa diarahkan secara lebih tepat.
Prof. Ari mencontohkan pengalaman Malaysia, yang menurutnya berhasil mengangkat posisi universitas-universitasnya secara strategis. Mereka hanya memilih lima universitas riset terbaik lalu diberi dukungan penuh. Universitas-universitas tersebut dikucuri dana besar, untuk benar-benar bisa bersaing di tingkat global.
“Sekarang sudah masuk 50 besar dunia. Di Indonesia, belum ada. Disuruh bersaing global, tapi tidak diberi bensin,” tambahnya.
Biaya Akreditasi Program Studi Dikeluhkan Perguruan Tinggi
Menurut Prof. Ari Purbayanto, masalah lain yang tak kalah pelik adalah persoalan akreditasi program stud, khususnya yang berkaitan dengan biaya. Saat ini, program studi di perguruan tinggi memiliki dua jalur untuk mengajukan akreditasi: melalui Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) untuk bidang-bidang tertentu, dan melalui Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) bagi bidang-bidang yang belum memiliki LAM.
Dalam praktiknya, muncul perbedaan mendasar antara dua jalur tersebut, terutama dari sisi pembiayaan. Kalau lewat BAN-PT, itu gratis. Pemerintah membiayai. Tapi kalau ke LAM, terutama kalau ingin dapat akreditasi unggul, harus siap biaya sendiri.
Ia menyebutkan bahwa sejumlah bidang studi seperti pertanian, perikanan, kelautan, hukum, seni, dan pariwisata masih berada di bawah kewenangan BAN-PT. Artinya, selama belum terbentuk LAM untuk bidang-bidang tersebut, akreditasi dilakukan tanpa pungutan biaya.
potensi ketimpangan baru. Perguruan tinggi dengan kualitas akademik yang baik tetapi memiliki keterbatasan dana, berisiko tidak bisa mengejar akreditasi unggul karena tak mampu menanggung biaya yang dibutuhkan. Padahal, status akreditasi unggul sering kali menjadi prasyarat penting untuk mendapatkan kepercayaan publik, mitra industri, hingga hibah penelitian.
Prof. Ari juga mengingatkan, situasi ini menimbulkan kecemburuan antarperguruan tinggi. Ada kesan bahwa yang melalui BAN-PT lebih diuntungkan karena tidak dikenai biaya, sementara yang masuk ke skema LAM harus merogoh kocek sendiri.
Keterbatasan SDM
Keterbatasan anggaran Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) ternyata tidak hanya berdampak pada proses akreditasi secara teknis, tapi juga berkorelasi langsung dengan jumlah dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang tersedia. Namun di tengah tantangan itu, lembaga ini justru berbenah lewat efisiensi dan pemanfaatan teknologi.
Sekarang SDM di BAN-PT ada 34 sampai 35 orang. Sebelumnya sempat lebih dari 40 orang, tapi kemudian berkurang. Sebagian besar dari tenaga tersebut sebelumnya adalah tenaga kontrak yang digaji dari anggaran internal BAN-PT. Kini, mereka telah diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), sehingga gaji mereka menjadi tanggungan pemerintah pusat.
“Dengan begitu, anggaran BAN-PT kini murni digunakan untuk mendukung proses akreditasi, bukan lagi untuk membayar gaji staf,” jelasnya.
Jumlah staf yang terbatas membuat BAN-PT harus memutar otak agar layanan akreditasi tidak terhambat. Solusinya adalah digitalisasi penuh lewat sistem akreditasi daring yang disebut SAPTO (Sistem Akreditasi Perguruan Tinggi Online). Saat ini, BAN-PT sudah mengembangkan sistem terbaru bernama SAPTO 2.0, yang disesuaikan dengan aturan terbaru Permendikbud Ristek Nomor 53.
“Kalau sebelumnya kita pakai SAPTO versi 0.0, sekarang kita pakai SAPTO 2.0. Untuk instrumen, kita juga sudah menyesuaikan. Perguruan tinggi akademik dan vokasi itu instrumennya beda. PTKL juga beda. Kita juga sedang siapkan instrumen baru untuk akreditasi unggul, baik untuk program studi maupun institusi,” jelas Prof. Ari.
Tak hanya itu, instrumen evaluasi juga telah diperbarui. Jika sebelumnya menggunakan IAPT 3.0, kini BAN-PT telah siap menggunakan IAPT 4.0. Sementara untuk program studi, instrumen IAPS 5.0 juga telah tersedia.
Digitalisasi Akreditasi
Upaya efisiensi di Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) terus dilakukan, terutama dalam hal pembiayaan. Salah satu langkah signifikan adalah pemanfaatan teknologi digital untuk proses akreditasi, termasuk mengganti kunjungan lapangan (visiting) dengan penilaian daring. Namun, langkah ini ternyata masih menyisakan tantangan besar di lapangan.
“Sebelumnya anggaran BAN-PT itu sekitar Rp170 miliar, sekarang hanya Rp30–40 miliar. Jadi kita memang sudah mengoptimalkan sistem akreditasi online,” ujar Prof. Ari.
Dalam kondisi anggaran terbatas itu, visitasi langsung ke kampus-kampus hanya dilakukan untuk Akreditasi Perguruan Tinggi (APT) saja. Sedangkan akreditasi program studi—yang jumlahnya jauh lebih banyak—sepenuhnya dilakukan secara daring. Di satu sisi, langkah ini tentu sangat menghemat biaya. Tapi di sisi lain, muncul pertanyaan soal keandalan hasil akreditasi tanpa kunjungan fisik. Menurutnya, dalam konteks budaya mutu di Indonesia yang masih belum mapan, ketergantungan penuh pada data daring bisa berisiko menyesatkan.
Prof. Ari menilai bahwa ketika kesadaran mutu dan akreditasi sudah menjadi bagian dari budaya institusi pendidikan, sistem akreditasi online bisa berjalan dengan baik. Namun, saat ini kondisi tersebut belum sepenuhnya tercapai.
Kalau Dikabulkan MK LAM-LAM Bisa Bubar
Setelah bertahun-tahun mengawal proses akreditasi, Prof. Ari Purbayanto tentu menyimpan banyak catatan. Dalam pandangannya, akreditasi bukan semata soal memenuhi standar, tetapi juga membangun budaya mutu.
Menurut Prof. Ari, akar dari kompleksitas biaya akreditasi hari ini justru berasal dari regulasi. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang memisahkan otoritas akreditasi ke dalam dua lembaga— BAN-PT untuk institusi, dan Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) untuk program studi—menyebabkan lonjakan pembiayaan yang harus ditanggung oleh perguruan tinggi.
“Kalau satu LAM pasang tarif Rp 50 juta, dan program studinya ada 300, tinggal dikalikan saja. Itu jelas jadi beban berat,” ujarnya.
Prof. Ari menyarankan agar pemerintah merevisi UU tersebut, dengan mempertimbangkan agar akreditasi cukup difokuskan di tingkat institusi, seperti di Jepang dan Taiwan. Akreditasi program studi bisa jadi opsional, hanya untuk bidang-bidang strategis atau ketika kampus ingin meraih pengakuan internasional.
“Akreditasi institusi dibiayai pemerintah, titik. Sedangkan prodi, cukup jadi tanggung jawab internal kampus. Itu lebih efisien,” tegasnya.
Menurut Prof.Ari, ketentuan biaya akreditasi untuk LAM, yang diatur dalam undang-undang sedang digugat di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jika gugatan itu dikabulkan, LAM-LAM tersebut bisa bubar,” katanya.
Kepada kalangan kampus, Prof. Ari berpesan agar jangan terjebak pada keinginan semata untuk meraih status “unggul” demi branding. Kalau memang tidak perlu branding, cukup saja akreditasi minimal. Yang penting terakreditasi. Soal lulusannya bisa bersaing atau tidak, masyarakat yang akan menilai.
Ia juga mengingatkan bahwa semua panduan akreditasi sudah tersedia di situs resmi BAN-PT (www.banpt.or.id). Sayangnya, banyak tim penjaminan mutu kampus yang tidak membaca secara mendalam. Akibatnya, mereka terjebak pada kesalahan yang seharusnya bisa dihindari.
Waspadai Penipuan
Sementara itu, kepada masyarakat luas, terutama orang tua calon mahasiswa, Prof. Ari berpesan agar jangan mudah tertipu oleh informasi palsu atau manipulatif. Ia bahkan mengungkap pernah mengalami kasus pemalsuan tanda tangan dirinya, yang dimanfaatkan untuk menipu universitas dengan janji percepatan akreditasi berbayar.
“Kami sudah umumkan di media sosial, tapi banyak yang tetap tertipu karena kurang hati-hati. Satu-satunya sumber valid itu hanya banpt.or.id. Kalau ragu, hubungi langsung kami,” katanya.
Ia menyayangkan masih rendahnya budaya literasi masyarakat, terutama dalam memanfaatkan informasi digital. Zaman sekarang bukan cuma harus pintar main HP, tapi juga cerdas membaca dan memahami informasi yang tersedia.
BAN-PT sendiri telah beradaptasi dengan era digital melalui berbagai platform, mulai dari situs resmi, Instagram (@banpt_official), hingga kanal YouTube yang menayangkan penjelasan langsung dari para pimpinan BAN-PT. Namun, semua itu akan sia-sia bila tidak ada kemauan untuk membaca dan memahami secara utuh.
Pada akhirnya, kata Prof. Ari, akreditasi hanyalah alat. Yang terpenting adalah kesadaran kolektif—pemerintah sebagai pembuat kebijakan, perguruan tinggi sebagai pelaksana mutu, dan masyarakat sebagai pengguna layanan pendidikan—untuk bersama-sama menegakkan budaya mutu.
“Kalau semua melakukan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik, saya yakin sistem ini bisa lebih efektif, efisien, dan berintegritas,” tambahnya.