Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Si. - Direktur Dewan Eksekutif BAN-PT

Direktur Dewan Eksekutif BAN-PT – Akreditasi Unggul Institusi Persyaratannya Lebih Ketat

Share

Awal September 2025, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan No. 39 Tahun 2025, menggantikan Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023. Aturan ini menjadi landasan baru bagi penjaminan mutu pendidikan tinggi di Indonesia.

Direktur Dewan Eksekutif Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Si., menjelaskan bahwa terdapat banyak perubahan signifikan dalam regulasi yang membutuhkan pemahaman dan perhatian serius dari seluruh perguruan tinggi agar implementasinya berjalan efektif.

Ia menegaskan bahwa revisi ini diharapkan dapat lebih mengakomodasi berbagai kepentingan terkait penjaminan mutu perguruan tinggi, sekaligus mendukung peningkatan kualitas pendidikan di setiap program studi di Indonesia.

“Harapannya, aturan baru ini mempermudah proses akreditasi. Aturan tersebut memberikan keleluasaan bagi lembaga akreditasi seperti BAN-PT dan Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM) dalam melaksanakan akreditasi,” ujarnya.

Diserahkan BAN-PT & LAM
Dalam aturan baru, proses akreditasi diserahkan kepada lembaga akreditasi seperti BAN-PT dan LAM, berbeda dengan Permendikbudristek lama yang mengatur hingga aspek teknis secara rigid. Salah satu contohnya adalah terkait perpanjangan akreditasi,

yang sebelumnya mengandalkan automasi melalui pemantauan dan evaluasi data di Pangkalan Data (PD) Dikti, namun kini pengaturan teknisnya diserahkan langsung kepada BAN-PT dan LAM.

Pemantauan BAN-PT dalam proses peninjauan mutu perguruan tinggi maupun program studi tidak disebutkan berlaku untuk perpanjangan.

Meskipun sebenarnya, pemantauan dengan memanfaatkan data PD Dikti bisa digunakan untuk mekanisme perpanjangan, aturan baru hanya menyebutnya sebagai mekanisme pemantauan.

“Sedangkan penggunaannya, apakah untuk perpanjangan atau hanya untuk memantau bahwa perguruan tinggi itu aman saja dalam pelaksanaan Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI)-nya, itu diserahkan langsung ke BAN- atau ke LAM,” jelasnya.

Perubahan lain terkait status akreditasi. Sebelumnya, akreditasi perguruan tinggi dibagi menjadi tiga kategori: Terakreditasi Sementara, Terakreditasi, dan

Tidak Terakreditasi, sementara akreditasi unggul hanya berlaku untuk program studi. Dalam aturan baru, kategori akreditasi untuk institusi menjadi Tidak Terakreditasi, Terakreditasi, dan Akreditasi Unggul.

Unggul Tetap Ada
Pasal 77 menyebutkan bahwa perguruan tinggi dan program studi dengan status terakreditasi pertama wajib mengajukan permohonan akreditasi kepada BAN-PT atau LAM sesuai kewenangannya untuk memperoleh status Terakreditasi atau Terakreditasi Unggul, paling lambat dua tahun setelah beroperasi.

Ari Purbayanto menjelaskan bahwa pengajuan terakreditasi dan terakreditasi pertama sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah, baik melalui LAM maupun BAN-PT.

Sedangkan akreditasi unggul, karena sifatnya sukarela, dibiayai oleh masing-masing perguruan tinggi, dengan standar biaya yang akan ditetapkan oleh kementerian.

“Itu poin-poin penting yang perlu diketahui masyarakat. Jadi masyarakat tidak perlu cemas karena akreditasi unggul tetap ada, meskipun mekanisme pelaksanaannya berbeda,” tegasnya.

Penjelasan ini sekaligus menanggapi spekulasi bahwa akreditasi unggul akan berakhir pada 2025. Akreditasi unggul tetap ada, hanya saja mekanisme baru untuk mencapainya lebih ketat dibanding sebelumnya.

Rasio Akreditasi Unggul
Proses akreditasi perguruan tinggi memiliki persyaratan yang tidak mudah. Jika sebelumnya menggunakan sembilan kriteria, aturan baru menambahkan beberapa syarat lagi yang harus dipenuhi.

Untuk instrumen unggul, BAN-PT masih menyelesaikan draft instrumen berdasarkan peraturan baru. Salah satu indikator penting adalah persentase akreditasi unggul program studi.

Dalam diskusi, angka 60% menjadi pertimbangan, tetapi perlu didalami justifikasinya berdasarkan data dari perguruan tinggi yang telah memperoleh akreditasi unggul.

Pada mekanisme lama, rasio akreditasi program studi unggul adalah 3,25. Artinya, jika semua program studi mendapat nilai “baik sekali” dan satu program studi unggul, rasio 3,25 sudah terpenuhi.

Namun, sekarang syaratnya lebih berat, yaitu 60% program studi harus terakreditasi unggul. Angka ini belum tercantum resmi dalam Permen, sehingga masih akan dipelajari angka realistisnya. Data perguruan tinggi yang terakreditasi unggul akan dianalisis, dan nilai rata-rata digunakan sebagai acuan.

“Jadi Mekanisme tersebut harus proporsional agar adil. Ini menjadi pekerjaan rumah untuk memastikan justifikasi benar-benar didasarkan pada data akurat, sehingga tidak ada keluhan terkait tingkat kesulitannya.” tandasnya.

Tidak Dikonversi
Di sisi lain, banyak perguruan tinggi mengejar akreditasi internasional meskipun belum terakreditasi secara nasional. Menurut Ari Purbayanto, akreditasi internasional tidak memengaruhi akreditasi nasional.

Artinya, akreditasi internasional tidak dapat dikonversikan untuk memperoleh akreditasi unggul karena sistemnya terpisah. Meski begitu, program studi tetap diperbolehkan mengikuti akreditasi internasional.

Lembaga akreditasi internasional yang digunakan harus sudah diakui oleh kementerian. Saat ini, ada 13 lembaga akreditasi internasional yang diakui sesuai Permendikbudristek Nomor 236 Tahun 2024,

seperti Foundation for International Business Administration Accreditation (FIBAA), Akkreditierungsagentur für Studiengänge der Ingenieurwissenschaften, der Informatik, der Naturwissenschaften und der Mathematik (ASIIN), dan Indonesian Accreditation Board for Engineering Education (IABEE).

Dalam aturan baru, akreditasi internasional tetap tidak dapat dikonversi menjadi akreditasi nasional. Permendikbud Nomor 39 Tahun 2025 menyebutkan bahwa akreditasi internasional hanya bisa diajukan oleh program studi yang sudah terakreditasi atau terakreditasi unggul.

Hasil akreditasi internasional tidak disetarakan dengan akreditasi nasional. Artinya, program studi bisa memiliki tiga status sekaligus: terakreditasi, unggul, dan internasional.

“Akreditasi internasional menjadi capaian plus. Jadi bisa disebut terakreditasi, unggul, dan internasional sekaligus, yang juga menjadi nilai jual bagi institusi,” ujarnya.

Belum Ada Perankingan Untuk Lingkup Nasional

Ari Purbayanto mengatakan, saat ini Kemendikti Saintek tidak mengeluarkan ranking perguruan tinggi. Namun sebenarnya, dengan mengacu pada instrumen lama, hal itu sudah tercermin dalam status akreditasi unggul.

Akreditasi unggul diberikan kepada perguruan tinggi atau program studi yang memenuhi kriteria tertentu, yaitu dengan skor minimal 361. Hal ini menunjukkan pelampauan standar nasional pendidikan tinggi, dengan skor yang bisa mencapai 361 atau bahkan mendekati 400.

Namun, istilah “unggul” sering dianggap kurang jelas karena tidak ada istilah “unggul plus.” Masyarakat perlu memahami bahwa perguruan tinggi dengan akreditasi unggul sudah melampaui standar nasional.

Penilaian lebih lanjut dapat dilihat dari jumlah akreditasi internasional yang diperoleh atau apakah institusi tersebut termasuk kategori World Class University (WCU).

Ke depannya, jika Dikti Saintek melakukan evaluasi kinerja perguruan tinggi, mungkin akan ada sistem peringkat, bukan sekadar perankingan. Peringkat ini bisa mencakup “unggul plus internasional” atau “unggul plus WCU,” yang menunjukkan level lebih tinggi dari sekadar unggul.

Meskipun pemerintah tidak membuat sistem pemeringkatan, Ari Purbayanto menyarankan adanya lembaga perankingan independen dengan kriteria jelas.

Contohnya, berdasarkan hasil akreditasi BAN-PT, LAM, akreditasi internasional, WCU, atau sertifikasi ISO internasional. Jika data tersebut digabungkan, dapat menjadi parameter untuk menunjukkan level perguruan tinggi.

Hal ini juga dapat melengkapi sistem pemeringkatan internasional seperti Webometrics, yang berbasis pada kinerja website, atau Green Campus, yang fokus pada keberlanjutan dan lingkungan sesuai dengan konsep UI GreenMetric World University Rankings.

“Jika ada lembaga baru yang melakukan pemeringkatan perguruan tinggi Indonesia, itu sangat luar biasa. Saya mendukungnya, asalkan penilaiannya independen dan lembaga tersebut tidak memiliki afiliasi politik,” tambahnya.

Gotong-Royong
Menurut Ari Purbayanto, banyak perguruan tinggi swasta, terutama di luar Jawa, mengeluhkan proses akreditasi unggul. Namun, hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan prinsip gotong-royong, seperti bekerja sama dalam meningkatkan modul.

Pemerintah melalui Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDikti) tidak mungkin melayani semua perguruan tinggi di Indonesia.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar perguruan tinggi di wilayah timur, barat, atau tengah yang telah memiliki akreditasi unggul dapat membina perguruan tinggi yang belum unggul.

Permasalahan utama bukan hanya dana, tetapi juga kemampuan SDM, pemahaman cara mencapai unggul, upaya yang dilakukan, serta komitmen pimpinan, termasuk ketua yayasan.

Sering kali ketua yayasan tidak memberikan dukungan, sehingga proses menjadi sulit, terutama bagi perguruan tinggi swasta yang dikelola keluarga dan belum profesional.

Padahal, meskipun dimiliki keluarga, pengelolaannya seharusnya dilakukan secara profesional. Konflik kepemilikan, seperti sengketa hak waris, sering kali menghambat kemajuan institusi.

Jika terjadi konflik warisan, biasanya mahasiswa yang menjadi korban. Berbeda dengan perguruan tinggi swasta yang dikelola organisasi atau syarikat, mereka cenderung lebih kuat.

Banyak contoh pengelolaan oleh lembaga gereja, Muhammadiyah, atau NU, yang dilakukan secara organisatoris. “Jadi bukan milik perseorangan, melainkan milik serikat. Itu memang lebih cepat majunya,” ungkapnya.

Tetap Semangat
Sekalipun aturan berubah, proses akreditasi yang sedang berlangsung tetap akan diselesaikan. Kementerian telah menganggarkan dana untuk mendukung kebutuhan tersebut.

Sebagai patokan, akreditasi perguruan tinggi dan program studi yang telah diajukan diharapkan sebagian besar selesai pada 31 Desember 2025. Dengan begitu, pada 2026 hanya sedikit akreditasi yang perlu diselesaikan dengan instrumen lama sebelum beralih ke instrumen baru.

Ia menyebutkan bahwa proses akreditasi dengan instrumen baru memang lebih menantang dan membutuhkan kesiapan ekstra. Namun, bagi perguruan tinggi yang baru saja memperoleh status unggul, tantangan ini tidak terlalu berat karena akreditasi mereka berlaku hingga 2030.

Sebaliknya, perguruan tinggi yang masa akreditasi unggulnya telah habis, seperti Universitas Negeri Jakarta dan Universitas Widyatama Bandung, harus mengikuti akreditasi dengan instrumen baru.

“Untuk perguruan tinggi yang baru ingin meraih status unggul atau akreditasinya habis, proses ini cukup berat karena harus mengikuti akreditasi baru. Namun, semoga mereka tetap semangat dalam melaksanakan penjaminan mutu terbaik,” tambahnya.

 

Tonton Video Selengkapnya

Artikel Terkait